Zizek dan Kebebasan Pancasilais

Zizek dan Kebebasan Pancasilais

  Oleh : Bakhrul Amal Dua topik determinasi dari tingkah laku toleransi kaum liberal hari ini, kata Zizek, menuntun manusia untuk: pertama, menghormati orang lain. Kedua, adalah ketakutan dianggap mengganggu atau mengusik. Intinya, semua aman, asalkan tidak mengganggu, asalkan tidak terlalu berbeda-beda sekali dengan apa yang umum. KETAKUTAN MELAKUKAN KRITIK Saya mulai dari kenyataan yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini, utamanya masyakarat dalam dunia globalisasi. Budaya kritik dewasa ini, harus kita akui, sudah dianggap seperti sebuah ancaman yang tidak kalah mengerikannya dengan sebuah serangan teroris. Akibatnya, redaksi daripada koreksi dan saran seringkali keluar dari substansi. Para kritikus umumnya terpenjara oleh ungkapan ‘kebebasan’ yang abstrak dan takut akan penghakiman macam “kamu kok nyinyir aja sih” atau “terserah orang dong, HAM kan menjamin kebebasan”. Sebagai contohnya adalah fenomena Menteri Susi. Kita tentu tidak bisa menampik bahwasanya memang Menteri Susi telah melakukan banyak hal baik dalam bidangnya. Oleh karena track record yang apik itu pula, dia didaulat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Dan seperti sudah menjadi kewajiban umum, media kemudian mengeksploitasi berita secara cuma-cuma tentang perjuangan dan bagaimana beliau menapaki karir. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, soal, bagaimana nantinya produk kebijakan itu bisa objektif dalam suasana di mana seseorang pemilik kebijakan itu adalah bagian yang nantinya terkena kebijakan tersebut? Ada setidaknya dua asumsi dari mengapa pertanyaan seperti itu tak kunjung muncul. Yang paling awal tentu, seseorang yang mengritik utamanya akan dihinggapi suatu ketakutan teramat sangat karena bisa saja dianggap sebagai kubu kontra presiden terpilih. Kemudian seseorang yang hendak mengungkapkan kegelisahannya itu, terisolasi pada ketakutan oleh stigma yang muncul mengenai “orang yang jahat” karena telah mengusik kebebasan orang lain. Contoh yang lain adalah apa yang dialami oleh salah satu anak dari Presiden Jokowi. Dia mendaftar menjadi seorang PNS. Seluruh wartawan meliputnya dan kemudian opini berhamburan memenuhi media cetak dan elektronik. Sebagai tanggapannya, anak daripada presiden ke-7 Indonesia itu menuliskan tweet yang menurut saya cukup berkesan. Kurang lebih, beginilah isi kicauannya itu, “Saya berada dalam posisi di mana andaikata saya diterima saya akan disangka nepotisme (jelaslah anak presiden), dan apabila saya gagal maka saya akan dicaci maki serta dibodoh-bodohi (anak presiden kok bodoh daftar PNS aja gak diterima)”. PARADOKS HAM Selanjutnya, setiap pegiat HAM memiliki suatu jargon yang sama, yaitu “kebebasan jangan sampai mengganggu kebebasan orang lain.” Secara tersirat, artinya, setiap orang memang memiliki kebebasan tetapi janganlah menyalahgunakan kebebasan itu untuk menikam orang lain. Kedengarannya apa yang diucapkan di atas cukup manis dan begitu masuk akal ketika kita mendengarnya hanya dengan sepintas saja. Padahal, entahlah, antara dua hal tersebut, kebebasan yang mana yang harus ditangguhkan. Masih dalam The Structure Of Domination Today : A Lacanian View, Zizek menangkap kerancuan dalam argumentasi itu. Contoh sederhananya, ‘Hak Privasi’ (bagi orang dewasa) sama dengan hak untuk selingkuh dan melakukan hubungan intim secara bebas. ‘Hak untuk bahagia dan memiliki bisnis perumahan’ berarti pula hak untuk mengeksploitasi orang lain dan menggusur tanah milik yang lainnya. ‘Hak kebebasan berpendapat’ juga secara tidak langsung adalah hak untuk berbohong. ‘Hak bagi warga negara untuk memiliki senjata’ pun pula hak untuk membunuh orang lain. Lebih ekstrem lagi, kata Zizek, atas dasar kebebasan HAM yang tidak membedakan antara agama dan lainnya, setiap orang berhak untuk merevisi ayat-ayat Tuhan yang sudah usang. Bahkan, jika memang sudah tidak sepaham, orang-orang yang merevisi ayat itu pun punya kebebasan hak untuk mendirikan agama baru atas dasar pendapatnya itu, tanpa larangan dari pihak lainnya. Pertanyaannya, di antara yang berlawan itu, mana yang dianggap mengganggu satu dengan lainnya? Tidak jelas! Berdasarkan fakta di atas, mungkinkah kemudian apa yang diucapkan Sartre perihal other people is hell itu adalah benar? Atau bisakah kemudian cogito ergo es yang dikampanyekan Levinas sebagai solusinya? Bagaimana pula apabila konsep Maslow tentang Keutuhan Manusia kita berdirikan kembali? Rasanya tidak perlu sejauh itu. KEBEBASAN YANG BERLANDASKAN PANCASILA Ketersediaan kebebasan HAM itu nyatanya menghadirkan ruang abu-abu (grey zone) yang antara satu dengan lainnya bisa saling menggugat. Oleh karena itu, perlu rasanya ada titik pijak baru yang menggembosi keabsolutan dan abstraknya kebebasan yang masih abu-abu itu. Sebagai solusinya, setiap negara tentunya memiliki suatu landasan hidup atau weltenschaung yang menjadi corong perilaku warga negaranya. Dalam hal Indonesia, memiliki apa yang kita kenal dengan Pancasila. Pancasila itulah alat yang kemudian menuntun setiap masyarakat Indonesia dalam mengkahayati ‘makna’ kebebasan yang benar. Dengan dasar Pancasila itu artinya satu, kebebasan dalam lingkup Indonesia haruslah berkeTuhanan. Kedua, warga negara Indonesia dalam memakai kebebasannya itu perlu berprikemanusiaan. Ketiga, kebebasan warga negara Indonesia itu tidak lebih penting daripada mementingkan persatuan. Keempat, setiap kebebasannya harus bisa ditakar dalam bermusyarah untuk mufakat. Dan, tentunya, terakhir, kebebasan dalam pagar keindonesiaan jangan sampai tidak menjunjung tinggi keadilan. Output dari prinsip paragraf di atas adalah, setiap orang nantinya akan berani melakukan kritik tanpa harus takut dianggap melakukan kekerasan. Tentu pula, kritiknya itu guna kepentingan meluruskan yang belum baik bukan untuk hal-hal yang justeru melecehkan. ‘Hak untuk bahagia dan memiliki usaha’ yang dipunyai masing-masing orang, juga, nantinya berkeadilan serta menghilangkan nafsu untuk serakah yang merampas kebahagiaan orang lain. ‘Hak untuk kepemilikan senjata’ digunakan untuk membela dari kejahatan bukan untuk melakukan kejahatan yang tidak berkeprimanusiaan. Begitu pun hak kebebasan berpendapat–setiap orang tidak bisa lagi menggunakannya semena-mena–seperti dengan kebebasannya itu–dia melakukan kebohongan dan fitnah yang dilarang oleh agama maupun kehidupan berkebudayaan. PENUTUP Mencermati fenomena yang mulai berkembang, memang, rasanya kebebasan yang kebablasan itu sudah saatnya dipasung dan diarahkan ke tujuan yang lebih riil humanis. Mempertimbangkan pula bahwa setiap suku dan bangsa memiliki pandangan yang berbeda-beda, maka, kebebasan itu pun disesuaikan dengan ciri khas masing-masing. Yang pasti, kebebasan itu bukan hal “yang boleh digunakan dengan tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain.” Akan tetapi “kebebasan itu adalah hal yang dilakukan dengan tidak merugikan orang lain atas dasar pandangan hidup kebersamaan.” *) Penulis adalah peneliti di Satjipto Rahardjo Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: