Mentari yang terapung

Mentari yang terapung

Oleh: Yusuf Ilyas. NH         “MENTARI, kamu jaga adikmu dan barang-barang ini, ibu akan turun mencari bantuan,” ucap seorang ibu kepada anaknya. Anak perempuan yang dipanggil Mentari itu mengangguk. Ia hanya melihat punggung ibunya yang berjingkat-jingkat menuruni genting atap rumah. Permukaan tanah telah rata menjadi lautan air keruh oleh banjir. Rumah-rumah yang berada di bantaran tak lolos dari banjir, tinggal atapnya saja yang tampak merah di tengah-tengah kepungan air keruh dan riwis-riwis gerimis yang masih menitik: seperti jamur-jamur raksasa terapung di tengah telaga. Mentari tak sendirian, tetangga-tetangga lainnya melakukan yang sama seperti dirinya. Orang-orang kota kabarnya akan mengirimkan bantuan segera. Meski mungkin kata ‘segera’ yang mereka maksudkan berbeda dengan segera yang diharapkan orang-orang kampung. Mereka sadar di kota ini waktu terkadang menjadi singkat dengan segepok amplop. Dan terkadang menjadi sangat lama karena si waktu yang memiliki amplop lebih berhak untuk ‘disegerakan’. Banjir semakin tinggi, rumah yang tak jauh dari tempat Mentari duduk semakin tenggelam. Orang yang duduk di atapnya menjerit histeris. Sebagiannya lagi berdoa, entah meminta apa? Mungkin meminta keselamatan. Mentari duduk memeluk kedua lututnya menahan dingin. Ibunya yang berada di atap bagian bawah sana melambai-lambaikan tangan, memanggil-manggil, meminta pertolongan entah kepada siapa. Karena yang ada di hadapan mereka hanya lautan air keruh. Sampai sore harinya bantuan yang dijanjikan ‘segera dan secepatnya’ orang kota tak kunjung datang. Orang-orang mulai membuat tenda plastik sederhana dengan tali-tali terpancang di atas atap. Sesekali dari kejauhan  teriakan, sekadar penanda bahwa mereka masih hidup juga tidak sendirian. “Hwoooi!” “Whoi!” Ibu Mentari berteriak memberikan tanda. “Hwoi!” Teriakan dari arah lainnya menyahut. Mendengar jawaban itu Mentari jingkrak-jingkrak kegirangan. Mentari duduk sambil memeluk adiknya yang masih kecil. Mereka sudah mengganti baju kering untuk menjaga tubuh tetap hangat. Ibunya menahan kayu yang menyangga plastik agar tetap bisa dijadikan tempat teduh. Langit angkasa sepi, gelap tak ada cahaya bintang. Sesekali ada cahaya menyambar, tapi bukan bintang petanda langit sedang baik. Melainkan cambukan api kilat yang menyambar dan menimbulkan halilintar yang menggelegar. Perahu-perahu karet baru datang menjelang malam. Mereka mengangkut orang-orang kampung menuju tempat yang lebih aman. Perahu-perahu itu tak muat, karena telah mengangkut penduduk-penduduk kampung lainnya. Mentari harus rela mengalah untuk menunggu perahu-perahu itu datang menjemput lagi dengan membiarkan ibu bersama adik kecilnya diangkut terlebih dahulu. “Aku akan menjemputmu Nak, tunggu ibu ya,” ucap ibunya sebelum pergi. Mentari cuma mengangguk dan mengulas senyum. Ibunya dan rombongan yang membawa perahu karet itu berjalan menjauh dari tempatnya. Ia hanya bisa melihat lampu senter perahu itu yang semakin lama semakin jauh, kecil dan akhirnya lenyap menyisakan gelap. Ia merapatkan pelukannya pada lutut dengan selimut. Sunyi dan senyap. Tenang tak ada tanda-tanda kehidupan, ia bahkan bisa mendengar dengus napasnya sendiri yang keluar lambat-lambat, karena menahan rasa takut. Ia melongok keluar dari tenda plastik buatan ibunya, memandang sekelilingnya yang gelap tak bercahaya. “Hwoi!” teriaknya lantang seperti yang dilakukan ibunya. “Hwoi,” suara sahutan agak jauh dari seberang, namun masih terdengar di telinganya. Mentari berjingkrak-jingkrak lagi, kegirangan. Malam semakin jauh. Mentari tak sekejappun memejamkan mata. Setiap matanya hendak terpejam ia dikagetkan suara gemuruh banjir yang menderu. Ia sadar tubuh mungilnya sedang diincar banjir mematikan yang siap menelannya kapan saja. Atap rumah yang ia jadikan duduk ini tak akan lama sanggup menahan banjir yang sedikit demi sedikit merayap semakin tinggi. Mentari duduk sambil memeluk lututnya semakin erat. Dari jauh cahaya lampu senter seperti yang tadi membawa ibunya tampak mendekat. Mentari berdiri menanti cahaya itu penuh harap. Ia yakin ini saatnya ia diangkut menuju pengungsian menyusul ibu dan adiknya. Lampu senter itu berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri, berputar-putar sebentar kemudian menjauh. Merasa ada yang tidak beres, Mentari teriak hiseteris. “Hwoi!” Teriakannya bersahut-sahutan dengan halilintar di langit yang mengejek. “Hwoi!!” ucapnya lagi. Cahaya lampu senter berhenti sejenak. “Jlegeher.” Suara halilintar bersahut-sahutan di langit. Tak berselang lama setelah suara itu berhenti, cahaya lampu senter itu lenyap di tengah pekat malam. Mentari duduk lemas tak berdaya. Cahaya lampu senter itu benar-benar telah jauh. “Hwoi!” teriak Mentari kacau. “Hwoi!” teriaknya sekali lagi meyakinkan. Tak ada sahutan, ia hanya mendengar suaranya lenyap ditelan angin dan gemuruh banjir. “Hiks...hiks...hiks,” tangisnya parau. ** SAAT aku tengah asyik menjadi banjir dan menjarah perkampungan. Saat malam semakin dingin dan kaku. Saat kilat dan halilintar masih sering terdengar. Dan saat air-air lain menuju ke laut, sesuatu menarik perhatianku; Dari balik banjir yang menghanyutkan, aku melihat anak perempuan kecil duduk di salah salah satu atap rumah sambil memeluk lutut. Samar sekali aku mendengar ia bersenandung. Lagu itulah yang membuatku merandeg. Aku menyembul di permukaan banjir dan berenang di sekitar anak itu. “Hai,” ucapku ramah. Anak itu mengangkat kepalanya dan menatapku heran. “Kenapa menangis?” tanyaku. “Aku ditinggal ibu dan adikku yang pergi dengan perahu karet,” jawabnya. Aku berenang semakin dekat dengan anak itu, hampir menyentuh kakinya. “Maukah kamu berenang bersamaku?” “Aku menunggu ibuku datang,” jawabnya. Aku telah berhasil menyentuh kakinya, terus berenang semakin naik sampai ke betisnya. “Nanti ibu akan datang dan menjemputmu, sekarang kita bermain-main dulu,” ucapku. Anak perempuan itu menatapku, seolah ingin menyakinkan ucapanku. Aku telah menjangkau perutnya, kemudian lehernya. Senandungnya terdengar semakin nyaring dan mempesonaku. Aku memeluk seluruh tubuhnya dan membawanya berenang,hanyut bersama yang lainnya menuju laut. Suara senandungnya yang tadi terdengar nyaring kini tak terdengar lagi, berganti tawanya yang riang kegirangan berenang bersamaku. ** ESOKNYA, aku membawa Mentari ke rumahnya. Tempat awal di mana aku bertemu dengannya. Semalam kami telah sampai ke laut. Aku melatihnya cara menyelam yang baik dan cara terapung di atas air. Ia sangat cepat mengerti apa yang aku ajarkan, bahkan ia bisa terapung sangat lama melebihi aku. Setelah puas bermain di laut, aku mengajaknya kembali ke rumah untuk menemui ibunya. Ibunya pasti telah datang menjemput, seperti yang  dijanjikan. Aku menggendong Mentari agar lekas sampai rumah. Ia kegirangan bukan main kubawa melesat cepat di antara banjir yang masih menggenang. Sampai di rumah, banyak orang-orang berkumpul, ramai  tak seperti biasanya. Ibunya ada di antara orang-orang itu. Mereka berdiri di atap rumah memanggil-manggil namanya. Ibunya tampak tengah duduk menangis tersedu dengan beberapa orang berusaha menenangkannya. “Nyanyian yang disenandungkan ibumu indah ya,” ucapku. “Itu bukan nyanyian, itu tangisan kematian,” ucap Mentari menjelaskan kepadaku. Kami melihat tingkah mereka dari dalam banjir yang masih belum surut. Orang-orang itu menyeru nama Mentari berulang-ulang dari atas atap rumah. “Kasihan ibumu mencari, pulanglah,” ucapku. “Tapi aku masih ingin bermain denganmu,” jawabnya. Mentari sudah terbiasa dengan alam barunya. Ia sudah pandai menyelam dan terapung. Ia bisa tertawa riang jika kubawa berenang bersamaku. Aku menyadari hal itu. Tapi aku tidak mau merebut Mentari dari ibunya. “Kita telah menjadi teman, kalau kau ingin bertemu denganku mainlah ke laut,”ucapku membujuk. Mentari masih tak mau pergi dari punggungku. Ia masih merengek dan memintaku untuk membawanya berenang lagi. Ia menagih janjiku untuk melihat laut-laut lain yang lebih besar dan indah. “Aku ingin berteman dengan anak-anak seusiaku yang ada di lautan sana,” ucap Mentari polos. “Kau harus pamitan dulu dengan ibumu. Setelah itu kita bisa menghabiskan banyak waktu bersama.” Mentari bimbang, sepasang matanya yang sejak semalam tertutup itu seperti tengah merengek kepadaku agar tetap membawanya kembali ke laut. Orang-orang yang berada di atap rumah teriak memanggil nama Mentari. Namun Mentari masih enggan turun dari punggungku. “Temuilah ibumu sebentar saja, aku akan menunggu disini,” ucapku berbohong. Aku pelan-pelan merayunya untuk turun dari punggungku. Aku melepaskan pegangannya. Sepasang matanya masih tertutup, namun aku tahu ia mendengar dan mengerti ucapanku. Mentari mulai berenang lucu di hadapanku memperagakan apa yang telah aku ajarkan, sebelum akhirnya berenang ke permukaan menemuinya ibunya. Dari kejauhan aku melihat Mentari terapung di permukaan air. Ia tersangkut di antara kayu-kayu rumah. Tak berselang lama beberapa orang berkerumun mengelilingi Mentari yang masih terapung dengan riang. Nyanyian mereka yang kata Mentari sebagai nyanyian kematian semakin nyaring. Mereka berusaha menggendong Mentari untuk keluar dari air dan mengganti pakaiannya yang basah kuyup. Entah apa yang terjadi setelah itu, aku berenang menuju laut. Meninggalkan mereka yang masih berduka.   Griya Damai, 2014 Nama asli penulis adalah Yusuf Purnomo, sering menggunakan nama pena Yusuf Ilyas. NH. Lahir di Barito Timur 16 September 1989 Kalimantan Tengah. Lulusan sarjana pendidikan Bahasa Arab di UIN Semarang. Pernah menjadi ketua komunitas sastra saat masa-masa kuliah, menerbitkan majalah sastra dan menjadi pengisi sekolah sastra di Institut Ibn Rusyd Lampung. Sesekali membacakan puisi dan cerpen di komunitas beranda sastra Semarang dan teater Beta. Saat ini tinggal dan mengikuti program khusus Kaderisasi Ulama di Kempek. Email: [email protected].

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: