Mengurai Benang Kusut Masalah Rokok

Mengurai Benang Kusut Masalah Rokok

SAYA merasa senang, karena tidak ikut-ikutan teman, membiasakan merokok. Padahal, saya hidup di tengah masyarakat yang banyak merokok. Apalagi hingga saat ini menetap di pesantren, para kiai dan santri, merokok plus ‘ngopi’ adalah dua ritual harian yang setiap hari bisa kita lihat dengan mudah. Asap-asap itu mengepul di mana-mana. Mungkin karena itulah, yang mengakibatkan para pelajar, yang nota bene masih anak-anak belia, terinfeksi virus merokok. Saya juga tidak ingin menjelaskan apa saja seabrek bahaya merokok. Sudah terlampau banyak orang yang tahu bagaimana akibatnya jika kecanduan merokok. Peringatan demi peringatan yang semengerikan itu pun tak dihiraukan. Acuh begitu saja. Iklan rokok diperketat, harganya perlahan semakin mahal, peringatan bahaya merokok pun semakin diperjelas. Alih-alih berkurang, para perokok semakin marak dan berat. Apalagi tidak ada satu dalil agama pun yang dapat mengharamkan aktivitas merokok. Lagi-lagi, alih-alih mendapatkan ‘palu’ haram dari ulama, para ulama (kiai-kiai) dalam ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan pesantren, malah menjadi penyumbang perokok berat paling banyak. Ya, memang sulit—untuk enggan mengatakan tak akan—menemukan kiai NU dan pesantren yang tidak merokok. Dalam kondisi serba sulit seperti itu, saya dilema, bagaimana saya harus bersikap. Antara mengampanyekan bahaya rokok dan menolaknya atau bersebrangan dengan kebiasaan merokok para kiai, semantara di saat yang sama saya juga tak rela, ada banyak para pelajar yang ‘rusak’ karena merokok dini. Bingung memang. Jelas ini bukan permasalahan yang mudah. Diperlukan pikiran dan nurani yang jernih, disertai dengan semangat kebersamaan yang kuat untuk bisa keluar dari benang kusut masalah rokok ini. Tidak hanya sampai di situ, belum lama ini salah seorang budayawan Indonesia, bernama Mohamad Sobary menulis sebuah esai menohok bertitel ‘Ideologi di Balik Rokokku’. Berdasarkan pengakuannya, mana bisa seorang lelaki berusia 58 tahun, yang sejak lama tidak merokok, tetiba menjadi perokok berat. Melalui esainya, Sobary tampak ingin ‘melawan’ para pembenci rokok selama ini. Yang menarik, kita tentu tahu kapasitas Sobary sebagai budayawan tersohor di negeri ini, mana mungkin ia menulis esai tanpa pikir panjang. Kaget, betapa kaget. Sobary, sambil mengutip para peneliti dan profesor dalam negeri, sebut saja Prof. Sutiman, ahli biologi,  dari Universitas Brawijaya, Malang, Dr. Gretha Zahar salah seorang ahli fisika, menyatakan bahwa rokok (kretek) itu menyehatkan dan bisa menyembuhkan penyakit keras setara kanker sekali pun. Tak hanya di situ, Sobary juga meyakinkan, kampanye anti-rokok dibantah oleh buku karya Wanda Hamilton, salah seorang peneliti dari Bowling Green State University, Ohio, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Nicotine War: Perang Nikotin dan para Pedagang Obat”. Karena itulah, ia yakin menyimpulkan bahwa merokok sebagaimana ideologi yang dianutnya justru menyehatkan. Benang kusut ini jelas akan semakin membuat banyak orang mengerutkan dahi. Tetapi memang itulah nyatanya. Kenyataan bahwa fenomena rokok bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Ia bertaut erat dengan hal-hal lain yang melingkupinya. Pernahkah kita berpikir bahwa di balik pelarangan rokok banyak terjadi ‘kong kali kong’ dengan para pejabat pemerintah?, ada kepentingan jahat dari para kapitalis asing yang hendak menguasai bisnis global di bidang kretek?, lalu para petani kretek di desa-desa dipaksa melakukan alih fungsi lahan, untuk bertani lain selain tembakau?, apalagi kretek Indonesia terkenal kekhasannya, sedikit buktinya ketika pabrik rokok terbesar di Indonesia, Djie Sam Soe Sampoerna sudah dikuasai Philip Morris, sebuah perusahaan rokok terbesar di dunia. Kalau sudah begini kita mau apa? Sekali lagi, fenomena rokok bukanlah hal yang sederhana. Perlu waktu untuk mendiskusikan dan mencari solusinya dengan serius. Tentu saja dengan melibatkan banyak pihak; pemerintah pusat dan daerah, perusahaan rokok, praktisi kesehatan, peneliti, para petani rokok, dan pihak-pihak ahli lainnya yang berkepentingan. Saya sangat bersyukur event loma menulis ini telah menjadi moment penting bagi kita semua untuk terus berpikir dan berbuat demi kebaikan bersama. Moment ini tidak cukup hanya di sini, perlu diskusi ulang, penelitian ulang, dan segala bentuk usaha untuk bisa mengursai benang kusut masalah rokok. Di satu sisi kita tidak ingin segala bahaya rokok meracuni jiwa-raga masyarakat, tetapi di sisi lain juga kita tidak bisa diam, melihat kenyataan ada kepentingan jahat para kapitalis asing, yang akan mengeruk kekayaan kretek bangsa kita. Begitulah, saya berharap kita serius mendiskusikan masalah ini. Tidak hanya sebatas seremonial, yang sarat kepentingan, yang nanti hasilnya seperti angin lalu. Saya memang tidak merokok, dan sama sekali tidak berminat untuk merokok. Tetapi bukan berarti saya akan membenci secara membabi buta melawan dan memusuhi para perokok. Karena kita tahu, para perokok berat itu adalah saudara kita sendiri. Kalau kita serius ingin mengurai benang kusut fenomena rokok ini, tidak akan cukup hanya dengan doktrin-doktrin dangkal. Kita harus duduk bersama meski dengan tempo yang tidak singkat untuk serius menemukan solusi yang dapat memberikan keadilan kepada semua pihak. Merokok itu soal kebiasaan yang turun temurun. Yakin, tidak dapat diselesaikan hanya dengan modal pelarangan. Lebih daripada itu di sana ada banyak petani desa yang hidup bergantung pada hasil dari bercocok tanam kretek di desa-desa. Mereka tak tahu apa-apa, mereka mungkin sampai rela dianggap bodoh, yang penting setiap hari mereka harus makan dan minum untuk menghidupi sanak keluarga. Para petani tembakau hanya berpikir, mereka harus menghasilkan tembakau dengan kualitas terbaik, barang kali saja ada sedikit penghasilan yang berlebih. Petani, desa, dan tembakau (kretek) itu kekayaan alam bangsa Indonesia. Sepenuhnya menjadi tanggungjawab kita bersama. Kekayaan alam bangsa Indonesia wajib kita syukuri. Ini merupakan salah satu bagian penting dari kita dalam rangka merawat kebhinekaan (keberagaman). Apalagi bangsa kita menganut ideologi Pancasila. Di mana Ketuhanan Yang Maha Esa berada di urutan pertama. Bahwa dalam melakukan apapun, termasuk berbisnis di dalamnya, semata-mata karena Tuhan, bukan untuk mengejar materi sepenuhnya. Khusus untuk agama Islam, bahwa memang ada sabda Nabi yang menyatakan; “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kau akan hidup selamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah kau akan mati besok.” Sabda ini harus dimaknai sebagai motivasi bagi kita agar senantiasa semangat dalam bekerja. Semangat dalam bekerja seolah-olah akan hidup selamanya bukan berarti menghalalkan segala cara. Membuat orang lain tertindas dan menderita. Lagi pula, sabda Nabi mengisyaratkan sebuah redaksi yang seimbang; ada dunia dan akhirat. Bahwa sesemangat dan sekeras apapun bekerja itu tiada artinya jika tidak didasari dengan niat yang tulis karena Tuhan. Pekerjaan dan harta tak bisa menjamin keselamatan kita nanti di akhirat. Masalah rokok menjadi masalah kita bersama, menyangkut hajat hidup orang banyak, menyangkut banyak hal, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, politik, dann lainnya. Sejatinya, fenomena rokok dapat ditinjau dari berbagai aspek tersebut. Agar carapandang kita tidak sempit dan simplifikatif. Sebagai penutup artikel ini, saya juga ingin menyampaikan betapa pentingnya meminimalisir dampak buruk dari kebiasaan merokok para regenerasi bangsa; pelajar dan mahasiswa. Mereka, para pelajar dan mahasiswa, yang seharusnya produktif berkarya dan belajar malah terinfeksi virus merokok, pergaulan mereka pun cenderung tak karuan. Semua pihak punya peran penting dalam hal ini. Para orang tua, guru, dosen, pemerintah, dan masyarakat pada umumnya, untuk bersama-sama peduli akan masa depan regenerasi bangsa. Maraknya pergaulan bebas, termasuk di dalamnya maraknya budaya merokok di usia dini, salah satu akibat dari lengahnya proteksi kita bersama. Para regenerasi bangsa menjadi liar dan tak terkendali. Padahal sejatinya, masa muda adalah masa emas untuk mengeksplor potensi dan kualitas diri. Aktivitas membaca, menulis, dan kajian ilmiah pada akhirnya menjadi budaya yang hampir atau memang sudah punah. Nau’zubillah. Itu saja. Wallahua’lam bis-Shawab. (*) *) Penulis adalah kandidat Master Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: