Revolusi Pakaian Kebesaran Bangsa

Revolusi Pakaian Kebesaran Bangsa

Oleh: Akhmad Faozi Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Pengelola Peduli Puisi; sebuah lahan dokumentasi puisi di Sosmed. Bergiat dalam LDSA (Lingkar Diskusi Sosiologi Agama) UIN Sunan Kalijaga angkatan 2012 BERANGKAT menuju perubahan yang positif. Bergaung dengan langkah nyata yang tidak berbelit-belit. Seyogyanya hal itulah yang nampak saat menyerukan tentang revolusi. Maka perbedaan yang tegas antara evolusi dan revolusi dapat terbaca.   Revolusi mental katanya. Revolusi cara pikir dan cara pandang mungkin maksudnya. Secara pribadi, sorak sorai slogan revolusi mental yang dekat-dekat ini terdengar nyaring kurang begitu memahamkan adanya. Simak saja, kurikulum baru dari Anies yang mnghapus K13 (kurikulum 2013) dengan Kurikulum Baru. Inikah sebentuk revolusi tersebut? Marilah ditunggu bersama-sama jawabnya. Ada perbedaan mendasar antara revolusi dan evolusi. Baik itu masa atau bentuk pratisnya. Jadi jika slogan revolusi mental merupakan “garapan utama” kabinet kerja Jokowi, langkah-langkah konstruksi menuju ke arah itu tidak bisa dibiarkan terbengkalai terlalu lama. Lebih penting lagi, tidak cukup dengan berubah “baju” lalu kemudian perubahan terjadi. Namun perubahan sebenarnya terbentuk dari mengubah “isi”. Secara biologis, manusia dengan binatang mempunyai kemiripan dalam struktur dan cara kerja tubuhnya. Gerak motorik, pencernaan, regenerasi, pola berkelompok, dan lain ihwal ada kemiripan tertentu. Di salah satu pelajaran MTs di kampung penulis  dulu, ada kaidah “al-insan huwa hayawan an-nathiq” manusia adalah hewan yang bertutur cakap. Di sini, perbedaan tidak hanya terhenti pada cara cakap atau bicara saja, karena seperti kita tahu dalam ilmu gramatikal, yang dinamakan kalimat adalah kata-kata yang tersusun dengan kesadaran dan maksud tertentu. Jika kalimat yang terucap bukan berasal dari kesadaran, namanya “igauan”. Supaya tidak menjadi igauan semata, membutuhkan penggunaan pikiran untuk mempertimbangkan imbas-imbas dari terucapnya tutur kata. Inilah perbedaan sebenarnya, nilai berfikir dan nilai kesadaran. Berangkat dari sini, perubahan secara revolutif merupakan perubahan yang lebih mendasarkan pada orientasi inner, dari pada sekedar berbeda di luaran. Kaitannya dengan kebijakan politis, perubahan yang digadang sebagai “gerak revolusi” harusnya lebih mempertimbangkan kualitas dari pada kuantitas. Misalnya tentang penghapusan K13 yang digulirkan Anies, perlu dipertimbangkan lagi imbasnya bagi masyarakat kecil. Karena entitas politik demokrasi adalah kemanfaatan rakyat, bukan kemanfaatan elitis. Maka, perubahan K13 lebih memberatkan orang tua murid secara ekonomi karena harus membeli buku-buku pelajaran pokok dari pangkasan uang belanja keluarga. Padahal BBM baru saja dinaikkan. Wajarlah kalau BBM dinaikkan mengingat APBN merupakan material utama dalam menjalankan program kerja. Maka dengan meringankan beban anggaran, mengkonversi pengalokasian “dana macet” kepada yang lebih produktif, bisa diterima publik. Mengangkat Menteri bukan dari standar akademis, melainkan dari standar kompetensi seperti Susi Pujdiastuti, bisa didukung. Namun selain itu belum terdengar lagi program kerja-program kerja pemerintah yang konstruktif secara mentality. Husnu dzon-nya mungkin masih dalam meja godok. Revolusi mental kalau dibaratkan pakaian adalah mengganti bahan yang akan dijahit. Bukan sekedar pengalihan motif jahitan dari yang sudah tidak digemari dengan motif baru yang “mungkin” akan lebih digemari. Masyarakat membutuhkan pencerdasan secara -ing madyo mangun karso- pihak berwenang sebagai garda terdepan dalam pembangunan. Bukan mengkondisikan rakyat dalam –tut wuri handayani- diam, patuh dan percaya pada regulasi pemerintah semata tanpa butuh bersikap kritis-konstruktif secara aktif. Biarlah Ki Hajar tersenyum dalam peristirahatannya karena ketiga filosofinya berjalan harmonis. Ada pemimpin sebagai ing ngarso sung tulodho, ada pejabat pemerintah dan semua jajaran yang punya wewenang sebagai ing madyo mangun karso, baru opsi terlemah tut wuri handayani hadir. Terlepas dari semua yang sudah bergulir, kondisi sadar sepenuhnya akan potensi kemanusiaan yang ada pada Bangsa ini, menjadi metodologi dasar untuk merajut pakaian “revolusi mental”. Setelah itu pemilihan bahan-bahan yang akan dijahit-pasangkan pada rakyat banyak, harus benar-benar jeli dan substantif. Lanskap Nusantara ibaratnya ladang subur nilai-nilai keluhuran. Ada nilai local wisdom, ada nilai religious, ada nilai edukatif, ada nilai harga diri, yang dapat dipilih satu di antaranya atau menggabungkan beberapa untuk dirajut sebagai “pakaian kebesaran” bangsa. Supaya bangsa Indonesia tidak menjadi sekedar sekawanan binatang bertubuh manusia yang tak bernalar dan tak berkesadaran namun dengan bangganya berlenggok ke sana kemari cukup dengan “berpakaian tampilan”.  (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: