IAIN Syeikh Nurjati Mau (Dibawa) ke Mana?

IAIN Syeikh Nurjati Mau (Dibawa) ke Mana?

Uum Heroyati SpdI: Penulis adalah alumni IAIN SNJ angkatan 2004, penulis buku Menuju Indonesia yang Beradab, pengajar di SDIT Sabilul Huda Cirebon   SELAIN masalah korupsi (termasuk yang menimpa Rektor Institut Agama Islam Negeri Syeikh Nurjati-IAIN SNJ) dan pemilihan Rektor baru, hal lain yang cukup mendapat perhatian serius berbagai kalangan (termasuk alumni) kepada IAIN SNJ adalah seputar wacana transformasi IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) seperti belasan UIN lain di seluruh Indonesia. Terhitung beberapa kali para dosen dan alumni serta pegiat keilmuan lainnya yang mewacanakan beberapa hal terkait kehendak dan peluang sekaligus tantangan IAIN SNJ menghadapi era barunya. MEMANG, IAIN MAU KE MANA? Bagi sebagian orang pertanyaan tersebut mungkin tak penting, namun dalam konteks transformasi IAIN ke UIN pertanyaan semacam itu menjadi sangat penting. Sebab dalam beberapa kasus, transformasi tanpa kesiapan yang matang justru hanya menimbulkan efek negatif yang membahayakan. Bahkan justru adanya tranformasi nama tidak diikuti oleh kesiapan sistem, manajemen dan infrastruktur kampus, termasuk munculnya berbagai problem kultural yang sangat jauh dari niat awal pembentukan IAIN itu sendiri. Sekadar mengingatkan, pada tahun 1960, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 11 tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dalam perpres tersebut dicantumkan pertimbangan pertama, “Bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut, untuk memperbaiki dan memadjukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan pemerintah dan masjarakat dipandang perlu untuk mengadakan Institut Agama Islam Negeri.” Dari sini dapat dipahami bahwa niat awal tujuan pembentukan IAIN sangatlah mulia. Dengan begitu, IAIN diharapkan mampu melahirkan para ilmuwan yang ikhlas dan tangguh dalam mengajarkan serta mengamalkan ilmunya, bukan melahirkan  para pelanggar hukum: korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pada sisi lain, IAIN tidak didirikan untuk melahirkan para cendekiawan yang “netral” agama (apalagi yang anti Islam), tapi justru melahirkan para pejuang agama; membela dan mendakwahnnya. PROBLEM DAN TANTANGAN IAIN Adalah DR Adian Husaini (2009) telah mengingatkan bahwa dalam tranformasi kampus Islam (dari STAIN ke IAIN, dari IAIN ke UIN) ada banyak sisi yang mesti mendapat perhatian serius kalangan umat Islam, seperti kualitas mahasiswa atau lulusan kampus yang masih jauh dari harapan, jual-beli gelar yang jauh dari nilai luhur ilmu dan adab berilmu, metodologi yang “serampangan”,  kajian dan penelitian keilmuan yang belum menjadi tradisi akademik kalangan kampus. Apa yang disinggung oleh Peneliti INSISTS tersebut tentu bukan “asal bunyi”, dan karena itu perlu mendapat perhatian serius kalangan IAIN. Mendalami apa yang disinggung Adian, saya mencatat bahwa kampus berlabel agama (terutama IAIN) masih memiliki problema yang patut mendapat perhatian serius. Pertama, soal kualitas mahasiswa. Harus diakui bahwa sampai saat ini tak sedikit lulusan kampus  berlabel agama yang justru tidak memahami studi yang dibidanginya. Sederhana saja, adakah lulusan IAIN SNJ yang sudah menjadi pakar tafsir, atau menjadi ahli dalam bidangnya, minimal ditandai dengan karya ilmiyah yang fenomenal dan menjadi referensi kajian keilmuan dan keislaman negeri ini? Jika pun ada, kita masih patut bertanya: ke mana arah dan hasil pendidikan serta transformasi kelimuan IAIN selama ini? Dalam konteks menjaga “marwah” IAIN, sudah bukan saatnya mengejar (bahkan “memanen” dan “mencangkok”) gelar (sarjana, master, doktor bahkan profesor) tapi nihil kualitas dan miskin karya ilmiyah yang “memasyarakat”: bermanfaat bagi kemaslahatan umat. Kedua, nilai pragmatisme mewarnai studi Islam di IAIN. Hal ini mungkin sangat sobjektif, namun justru dalam konteks itulah justru yang menjadi patut diklarifikasi. Sederhana saja, tak sedikit mahasiswa yang mendapatkan gelar akademik, namun kadar ilmu dan pengetahuan (terutama bidang yang digelutinya) masih jauh dari harapan. Kampus pun kerap dijadikan sebagai institusi legal hanya untuk mendapatkan ijazah dengan cara yang tidak patut. Bahkan tak sedikit yang menganggap institusi pendidikan sebagai sumber ekonomi individu atau kelompok tertentu. Dominasi fenomena seperti ini telah melahirkan patologi psiko-sosial—apa yang disebut oleh Prof SM. Al-Attas (2008)—“sebagai ‘penyakit diploma’, yaitu usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan bukan karena kepentingan pendidikan itu sendiri, melainkan karena nilai-nilai ekonomi.” Lagi-lagi, di sini ruang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) terbuka lebar. Bahkan perendahan terhadap nilai dan adab berilmu semakin menjadi-jadi. Padahal, bukan kah KH. Hasyim Asy’ari (sang tokoh kharismatik NU) telah mengingatkan pentingnya adab berilmu? Ketiga, framework dan metodologi studi Islam yang belum terumuskan dengan matang di semua bidang studi keislaman. Karena problem ini kemudian para petinggi kampus akan begitu mudah menggunakan metodologi lain (baca: hermeneutika) yang kerap “mencampuri” bahkan “merongrongi” studi keilmuan Islam. Fenomena semacam itu ditengarai kemudian menimbulkan pemahaman keilmuan yang dikotomis, yaitu  pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). Dikotomi ilmu muncul bersamaan dengan pergolakan peradaban Barat. Dampak dikotomi ilmu adalah munculnya ilmuan-ilmuan atheis semisal Ludwig Feurbach dan Charles Darwin, dan dualisme pendidikan yang kemudian menjelma dalam peribadi peserta didik yang mendua (split personality). Dalam kajian historis, dikotomi ilmu mulai muncul bersamaan dengan masa renaissance di Barat. Berawal dari perlawanan masyarakat intelektual Barat terhadap dominasi gereja terhadap sosio-relegius dan sosio-intelektual di Eropa. Gereja kala itu melembagakan ajaran-ajaran Kristen dan menjadikannya sebagai penentu kebenaran ilmiah. Akibatnya, temuan-temuan ilmiah yang bertentangan dengan doktrin-doktrin tersebut harus dibatalkan demi supremasi gereja. Copernicus dan Galileo Galilei yang dituduh murtad, bid‘ah dan atheis karena berpendapat bahwa bumi mengelilingi matahari yang bertentangan dengan doktrin agama. Maka keduannya terkena hukum Inquisisi dengan dibunuh (Muahammad Saad, 2010). Karena arus modernisasi yang tak terbendung, maka teolog Barat begitu “gagah” menafsirkan Bibel dengan tafsiran baru (baca: hermeneutika) yang kelak dijadikan sebagai penunjang agenda sekularisasi—termasuk seperti yang merebak di berbagai kampus, lebih kusus lagi yang berlabel agama. Tafsiran baru ini menolak adanya alam agamis yang lebih bagus dari pada alam ini. Kesimpulannya, gagasan sekularisasi muncul karena ketidaksanggupan doktrin dan dogma gereja Keristen untuk berhadapan dengan peradaban Barat yang terbentuk dari bebrapa unsur. Inti dari sekulerisasi adalah proses pemisahan aktifitas dunia dengan agama. Satu konsep yang sangat berbeda dengan konsep dan framework Islam. Keempat, dualisme pendidikan. Dualisme pendidikan adalah konsekwensi logis dari dikotomi ilmu Barat. Dalam kaitannya dengan pendidikan, dualisme merupakan konsep yang berhubungan dengan wujudnya dua sistem pendidikan umum dan sistem pendidikan agama yang tidak terintegrasi dan kerap dibeda-bedakan. Secara operasional, persoalan dualisme pendidikan tersebut membawa dampak berupa pengelolaan pendidikan nasional yang tidak punya dasar pijakan yang jelas. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaannya pemerintah Indonesia menganut pola kolonialisme Belanda, juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan nasionalisme, yang sejak awal kemerdekaan tidak bisa dielakkan. Kelima, sarana dan prasarana pendidikan, terutama perpustakaan yang jauh dari mumpuni. Pertanyaannya sederhana, bagaimana kesiapan kampus dalam menghadirkan laboratorium keilmuan (baca: perpustakaan) dimana berbagai referensi keilmuan didapatkan? Bagaimana pula kesiapan kampus dalam membentuk lingkungan akademik yang menghargai dan mencintai turats keislaman? Kesiapan dan kemampuan IAIN untuk memberikan klarifikasi dan jawaban secara akademik dan kultural terhadap berbagai problem di atas sangat menentukan apakah orientasi transformasi kampus IAIN ke UIN benar-benar ingin mewujudkan niat awal pembentukan IAIN (baca: UIN), atau sekadar ganti nama dan berbagai tujuan pragmatis lainnya. Belajar dari yang sudah-sudah, jangan sampai sibuk dan hiruk pikuk mengganti nama namun nihil tradisi dan kelayakan; bahkan lebih banyak menimbulkan konflik (keilmuan, sosial, politik dan ekonomi) di internal institusi kampus itu sendiri. Semoga di saat “bencana” kasus korupsi yang menimpa sang Rektor dan hiruk pikuk pemilihan Rektor akhir-akhir ini, para petinggi IAIN dan pengambil kebijakan di Kementrian Agama lebih banyak mengambil hikmah dan pelajaran. Agar  masyarakat (termasuk para alumni) tidak dihantui pertanyaan sederhana namun tajam: IAIN mau (dibawa) ke mana? (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: