Jokowi Ngaku Belum Dilapori
Kementerian Keuangan: Optimalisasi Aset Bisa Tanpa Harus Menjual JAKARTA - Rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menjual gedung Kementerian BUMN menuai reaksi berbagai pihak. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku belum mendapat laporan terkait rencana tersebut. Jokowi hanya mengatakan jika dirinya memerintahkan agar seluruh jajaran pemerintah melakukan efisiensi, namun tidak secara spesifik menyebut penjualan gedung Kementerian BUMN. “Ini memang dalam rangka efisiensi, tapi saya belum dapat usulan itu,” ujarnya usai membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2014 di Jakarta kemarin (18/12). Gedung Kementerian BUMN dulunya adalah gedung milik Garuda Indonesia. Karena kesulitan keuangan, Garuda lantas menjual gedung tersebut kepada pemerintah dan selanjutnya digunakan oleh Kementerian BUMN. Namun, Menteri BUMN Rini Suwandi menilai jika gedung 22 lantai di Jalan Merdeka Selatan itu terlalu luas untuk kementeriannya yang hanya memiliki pegawai 260 orang, sehingga dia berencana menjualnya untuk efisiensi. Menurut Jokowi, perintah efisiensi memang harus dijalankan. Adapun, mekanisme efisiensinya diserahkan ke masing-masing kementerian atau BUMN. Bagaimana jika Rini tetap ingin menjual gedung Kementerian BUMN? “Mesti ada kalkulasi, mesti ada hitungannya dulu,” katanya. Kementerian Keuangan selaku bendahara negara juga mulai buka suara. Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto mengatakan, optimalisasi aset berupa gedung kementerian bisa dilakukan tanpa harus menjual. “Bisa dialistatuskan ke kementerian lain, atau digunakan bersama,” ucapnya. Apalagi, kata Hadiyanto, gedung Kementerian BUMN juga digunakan oleh instansi lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, masih banyak kementerian lain yang belum punya ruangan memadai, sehingga perlu tempat. “Di tempat saya banyak permohonan K/L (kementerian/lembaga) yang perlu gedung (untuk kantor),” ujarnya. Bagaimana mekanisme penjualan barang milik negara? Berdasarkan Pasal 42 ayat (1) UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pengelolaan barang milik negara ada di tangan menteri keuangan. Artinya, menteri keuangan lah yang memiliki wilayah terkait status kantor BUMN. Mengacu pada ayat berikutnya, Menteri Rini hanya bertindak sebagai pengguna. Lebih lanjut, ada sejumlah ketentuan lain kalaupun akhirnya nanti diputuskan harus menjual atau memindahtangankan kantor BUMN. Pemindahtanganan harus melalui persetujuan DPR. Di Pasal 46 ayat (1) UU yang sama, persetujuan dari para wakil rakyat itu diperlukan untuk pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan. Mengacu ketentuan berikutnya, persetujuan baru kemudian tidak diperlukan jika obyek yang akan dipindahtangankan sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah. Atau pengecualian lainnya, bahwa memang sudah harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran. Selain itu, ada sejumlah pengecualian lainnya terkait tidak dibutuhkannya persetujuan DPR untuk pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan. Yaitu, pemindahtanganan diperuntukkan bagi pegawai negeri atau diperuntukkan bagi kepentingan umum. Atau, ada juga pengecualian lain yang sekilas selaras dengan alasan yang selama ini disampaikan Rini. Yaitu, jika status kepemilikan tanah dan/atau bangunan dipertahankan tidak layak secara ekonomis berdasar ketentuan perundang-undangan. “Untuk alasan penghematan anggaran itu harus hati-hati, jangan hanya akal-akalan saja,” kata politisi Partai Golkar Tantowi Yahya. Dia kemudian menganalogikan dengan alasan kepala negara menggunakan mobil yang baik dan anti peluru yang harganya tentu mahal. Hal itu, menurut dia, bukan semata-mata soal kemewahan. Melainkan, juga menyangkut penghargaan kepada simbol negara dan upaya menjaga keselamatan. “Jadi tidak sekadar citra di mata masyarakat supaya kelihatan baik, ini dunia internasional juga akan melihat,” katanya. Tidak diperlukannya persetujuan DPR, masih berdasar ketentuan di UU Perbendaharaan Negara, hanya jika pemindahtanganan barang milik negara selain berupa tanah dan/atau bangunan. Itupun, jika nilainya mencapai lebih dari Rp100 miliar, persetujuan DPR kembali diperlukan. (owi/dyn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: