Jangan Serahkan Nasib Kita di Tangan Orang Lain
UNGKAPAN ini sepertinya klasik. Sering kita dengarkan. Banyak yang latah mengungkapkan, dari orang kecil sampai pembesar. Dari yang serius hingga hanya untuk kelakaran. Bahkan tak sedikit yang dijadikan jargon basa-basi politik, motto bisnis sampai menjadi santapan empuk para motivator. “Jangan serahkan nasib kita di tangan orang lain”. Begitu bunyi ungkapan itu. Sepertinya kalimat ini biasa saja. Kalau dihayati, maknanya sangat dalam. Pengamalannya pun saya kira sangat sulit. Ungkapan itu juga baru akan “hidup” kalau memang sudah mulai dilaksankan. Walaupun kecil, sederhana, tak perlu yang rumit-rumit dan tidak harus muluk-muluk. Mari kita instrospeksi. Dalam keseharian kita, sadar atau tidak sadar, kita sering menyerahkan nasib kita kepada orang lain. Bahkan dalam hal-hal yang sangat pokok. Kita lupa kalau belum melakukan apa-apa. Kita menganggap banyak yang akan menyelesaikan urusan kita ini. Ada contoh yang sederhana, dalam hal kesehatan. Semuanya diserahkan ke dokter, obat, rumah sakit, paramedis, bahkan paranormal hingga ahli pengobatan alternatif. Ada pertanyaan: sudah melakukan apa terhadap hal menjaga kesehatan kita? Kita sudah berbuat apa untuk kesehatan kita? Bagaimana pula pola makan kita, apakah masih asal-asalan? Masihkah kita merokok? Apakah kita sudah berolahraga secara rutin? Dan sebagainya. Sederat pertanyaan itu dengan enteng kita jawab: “Kan ada dokter. Ada obat dan ada banyak hal yang bisa membantu kesehatan kita. Dengan semua itu urusan kita dianggap beres. Padahal belum tentu.” Kita sadar butuh pertolongan dari pihak lain. Tetapi tidaklah bijak kalau menyerahkan nasib kita semuanya kepada orang lain. Ya, memang sebaiknya nasib kita serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi semua agama menganjurkan kita untuk berikhtiar atau berusaha terlebih dahulu. Artinya Tuhan memerintahkan kita untuk berusaha, sebelum menerima kenyataan atau hasil. Soal hasil, semua kita percaya, campur Tangan Tuhan segala-galanya. Nah, dalam rangka ulang tahun ke-15 Radar Cirebon, perlu juga kita introspeksi diri, bagi semua yang terlibat di dalamnya. Memang perusahaan ini maju pesat. Saya pribadi pun tidak percaya kalau bisa semaju ini. Tetapi tantangan ke depan juga sangatlah berat. Selain kondisi eksternal, faktor internal pun bakal jadi “sesuatu” yang harus dihadapi. Saya pikir ungakapan “Jangan serahkan nasib kita di tangan orang lain” ini patut dijadikan acuan dan evaluasi bagi pimpinan, karyawan dan para pihak yang terlibat di perusahaan ini. Coba renungkan semua beberapa pertanyaan ini. Berapa jauh andil kita dalam memajukan Radar Cirebon? Kita telah melakukan apa untuk perusahaan ini? Kalau kita merasa punya andil, berapa nilainya? Sebanding tidak dengan apa yang kita tuntut dan terima? Tahun depan kemandirian dari tangan-tangan karyawan Radar Cirebon sangat dibutuhkan. Ketergantungan hal-hal yang penting kepada pihak lain, harus mulai kita pangkas. Kita akan lebih maju pesat jika bisa menghindari ketergantungan. Dalam hal pengembangan pemasaran koran, misalnya, seberapa jauh peran serta kita. Apakah kita masih menyerahkan pengembangan koran hanya kepada agen, lapak, penyalur dan pengecer? Seberapa jauh peran manajer pemasaran, bagian langganan, bagian ecereran dan semua karyawan? Apakah sebagai penonton atau bahkan hanya penikmat? Atau memang kita sudah terlibat, walaupun belum optimal. Begitu juga soal iklan. Apakah semuanya masih kita serahkan kepada marketing, tenaga jasa penjualan dan agen-agen iklan? Di mana peran karyawan, manajer iklan, bagian iklan kolom, dan bagian iklan baris? Apa yang telah kita perbuat? Jawaban dan penyelesaian masalahnya sangat penting jika ingin iklan tetap tumbuh tanpa tergantung kepada pihak lain sepenuhnya. Pertanyaan yang sama juga dalam hal konten berita. Sebagai jualan utama sebuah media, apakah para wartawan, redaktur, tata wajah hingga pimpanannya sudah optimal dalam mencari, mengedit, dan menyajikannya? Apakah kita masih bangga kalau wartawan disetir narasumber. Apakah wartawan kita tetap menjaga etika untuk tidak tukar-menukar berita dengan pihak lain? Dan banyak pertanyaan terhadap kinerja para wartawan yang harus kita jawab untuk mendapatkan sajian yang diinginkan pembaca. Karena saya sangat yakin, pemasaran yang baik itu dimulai dari ketika menentukan produk. Bukan dari kita mulai memasarkan. Kemandirian sangat penting saya canangkan di ulang tahun ke-15 Radar Cirebon ini. Generasi pertama koran ini sudah mulai menua. Karena itu, ke depan anak-anak muda yang bakal memimpin koran ini. Semangat juang generasi lama harus kita pertahankan. Hal-hal lain perlu dievaluasi disesuaikan zamannya. Karena kita semua yakin, setiap zaman ada generasinya dan setiap generasi ada zamannya. Selama 15 tahun ini, Radar Cirebon secara bisnis memang membanggakan. Perkembangannya luar biasa pesat. Bahkan dari tahun ke tahun terus bertumbuh. Karena itu, prestasi ini setidaknya harus dipertahankan oleh para pemimpin generasi baru nanti. Apalagi kalau bisa ditingkatkan dengan fokus mengembangkan dengan kekuatan diri sendiri. Jangan sampai nasib kita ke depan diserahkan ke tangan orang lain. Justru oleh generasi baru. Namun iklim kerja sekarang ini, saya sangat yakin Radar Cirebon akan bisa lebih maju pesat. Siapa yang akan menjadi penghambat kemajuan? Pengalaman saya memimpin grup ini, dibanding faktor eksternal, faktor internal jauh lebih mempengaruhinya. Kita nyaris tak pernah terpengaruh siapa wali kota, bupati, gubernur hingga presidennya. Kita lebih terpengaruh jika ada kinerja karyawan menurun, tidak kompak dan malas-malasan serta tidak profesional karena interes pribadi. Kita sudah teruji dalam situasi ekonomi dan politik seperti apapun, tetap bisa bertumbuh. Apalagi ke depan, faktor eksternal Wilayah III Cirebon sepertinya ada harapan lebih baik. Misalnya, ketika jalan tol Cikampek-Palimanan (Cipali) mulai beroperasi, saya prediksi wilayah ini akan lebih maju. Itu artinya faktor eksternal akan sangat mendukung kemajuan wilayah ini. Kalau kemudian ditunjang militansi internal, saya optimistis Radar Cirebon akan terus berjaya. Memang dari sisi pemerintah, mohon maaf, belum ada gebrakan untuk menyonsong beroperasinya tol Cipali. Padahal tinggal tahun depan. Tapi dari swasta sudah sangat siap. Lihat saja menjamurnya hotel berbintang, industri kreatif, dan sejumlah bisnis lain, termasuk kuliner. Apalagi jika pemerintah bisa segera sadar, menyiapkan infrastruktur dan sikap serta prilaku masyarakatnya, saya sangat yakin daerah ini akan lebih maju. Walaupun saya mengamati, kemajuan wilayah ini memang lebih banyak diperankan oleh swasta dibandingkan pemerintah. Bahkan pemerintah kadang-kadang menjadi penghambat. Misal menerbitkan regulasi yang bertentangan dengan akal sehat arus kemajuan. Apalagi belakangan ini kita disuguhi kenyataan yang kurang mengenakkan di kondisi makro ekonomi kita. Rupiah terus merosot dibanding dengan Dolar Amerika. Sebenarnya bagi saya ini adalah kondisi biasa dalam makro ekonomi. Namun yang saya sesalkan adalah cara pemerintah menyelesaikan masalah-masalahnya. Sangat tidak mendidik generasi muda kita. Pemerintah lebih mencari kambing hitam menyalahkan kondisi, menyalahkan pihak eksternal, bahkan cenderung hanya retorika politik. Padahal yang dibutuhkan kita, terutama generasi muda, adalah keseriusan, militansi dan aksi nyata untuk membendung terus merosotnya nilai Rupiah. Menyerahkan nasib Rupiah dengan menyalahkan pasar. Itu sama saja menyerahkan nasib kita di tangan pihak lain. Bagi para pengelola Radar Cirebon, kondisi ini juga menjadi pelajaran yang baik. Tak boleh kita menyerah dengan keadaan. Termasuk tidak boleh kita pasrah dengan kondisi makro ekonomi. Dalam situasi apapun kita harus tetap bertumbuh. Itu semangat yang kita miliki hingga saat ini. Kalau kita masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip tersebut, saya sangat yakin Radar Cirebon bisa memainkan banyak peran dan akhirnya terus maju. Kuncinya tetap kreatif, tidak terlena dalam kemapanan, kerja keras, kerja cerdas dan tanggap terhadap perkembangan yang terjadi, akan terus bertumbuh. Tapi kalau sebaliknya, perusahaan ini hanya akan tambah umur saja. Tak bisa berbuat banyak untuk kemajuan, walaupun di tangan anak muda. Bahkan yang berbahaya justru di tangan anak muda perusahaan ini malah semakin menua dan terpuruk. Saya perlu mengingatkan hal-hal tersebut, lantaran adanya ancaman makro gaya bekerja anak muda pada masa-masa mendatang. Perusahaan-perusahaan di dunia juga mencemaskan prilaku tersebut. Mereka sangat berbeda dengan pendahulunya bekerja. Perlu siasat dan cara untuk mengelolanya. Ancaman apa itu? Oleh sebagian orang disebut sebagai “Bahaya Gen-Y”. Seperti apa bahayanya? Dalam waktu sekitar 3-5 tahun ke depan (2018-2020), kantor kita akan diisi lebih dari setengahnya merupakan karyawan Gen-Y. Yaitu angkatan kerja dengan kelahiran sekitar tahun 1985-1995. Saat ini mereka berusia sekitar 19-29 tahun. Diprediksi, perbedaan cara kerja, budaya kehidupan, dan “gap” etika kerja yang besar, akan membuat banyak pemimpin mengeluh tentang karyawan Gen-Y. Awal tahun 2014, pada salah satu EQ Conference di Singapura yang dihadiri pemimpin-pemimpin perusahaan dari berbagai negara Asia, salah satu hot topic yang dibicarakan adalah mengenai Gen-Y Workforce di perusahaan. Juga soal bagaimana secara garis besar level EQ Gen-Y cenderung menurun dibanding generasi sebelumnya. Namun level IQ mereka cenderung naik dibanding generasi pendahulunya. Fenomena ini yang kemudian memunculkan beberapa kekhawatiran mengenai karyawan Gen-Y. Pertama, mereka manja dan kurang berdaya juang. Kedua, mereka maunya semua sudah tersedia dan ingin di’enak’kan. Ketiga, mereka kurang bisa bersosialisasi dan “membaur” dengan generasi senior. Keempat, mereka tidak loyal dan “self center”. Kelima, mereka sok tahu dan cenderung meremehkan angkatan di atas mereka. Keenam, mereka kurang penurut dan cenderung rewel. Ketujuh, mereka kelihatan kurang serius, “bermain-main”, dan tidak all-out dalam bekerja. Tujuh keluhan ini adalah “curhatan” paling banyak dan umum dari para pemimpin organisasi yang memiliki tim dengan mayoritas anggotanya angkatan Gen-Y. Jika (seandainya) benar, dapatkah kita bayangkan 5 tahun ke depan nasib perusahaan kita? Angkatan kerja seperti ini akan menginvasi perusahaan kita dengan gaya dan kultur kerja mereka, jelas sangat berbeda dari kondisi saat ini. Ciri-ciri khusus generasi ini adalah mereka sangat “terikat” dengan smartphone/gadget. Mereka juga akan koar-koar di social media, meminta kebebasan bekerja lebih besar. Mereka bekerja dengan earphone yang tak pernah lepas dari telinga. Mereka bekerja tampak begitu kurang serius. Bahkan seperti main-main. Lalu apa yang harus kita kerjakan dengan kondisi seperti ini? Nah inilah pekerjaan rumah terberat para pemimpin perusahaan ini ke depan. Walaupun begitu, saya yakin selalu ada cara untuk mengatasinya. Kuncinya dari sekarang sudah harus kita persiapkan. Di antaranya adalah generasi tua harus tahu diri. Yang bisa memimpin mereka ya generasi mereka sendiri. Selain itu, perlu standar operasional prosedur (SOP) yang jelas. Karena, Generasi Gen-Y akan taat kepada SOP bukan kebiasaan dan basa basi. Yang terakhir, dalam kesempatan ini, saya juga mohon maaf kalau akhir-akhir ini kurang all out di Radar Cirebon. Selain saya memberikan kesempatan kepada generasi baru Radar Cirebon, juga ada tugas lain dari grup yang sama-sama sangat berat. Saya harus mengerjakan sesuatu yang masih belum tahu sama sekali. Oleh grup ditunjuk untuk menjadi direktur pengembangan energi alternatif terbarukan dari biomas. Ya, hampir setahun ini belajar ekstra keras di “dunia baru” ini. Mudah-mudahan dua-duanya bisa sama-sama maju. Terima kasih para pembaca setia, pelanggan, pemasang iklan, agen koran, agen iklan, pengecer dan banyak pihak yang tak bisa saya sebutkan satu demi satu. Selamat ulang tahun Radar Cirebon. Sukses untuk semuanya! (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: