Membaca Radar, Membaca Keadaban Publik

Membaca Radar, Membaca Keadaban Publik

Syamsudin Kadir: Penulis adalah Direktur KOMUNITAS, Penulis Buku POLITICS, Pegiat Ilmu Pengetahuan di STAI BBC MEDIA cetak telah berperan penting dalam peradaban manusia. Berbagai peristiwa bersejarah tak lepas dari pengaruh media cetak. Perang Dunia II pada tahun 1939 mengikutsertakan media cetak untuk mempengaruhi pihak kawan maupun lawan. Ini sangat vital dan efektif, sehingga pada akhirnya banyak pihak yang mengusung perdamaian karena terpengaruh konten dalam media cetak. Sangat relevan jika Napoleon Bonaparte (dalam Rahmat, 1993) mengatakan, “wartawan itu cerewet, pengecam, penasihat, pengawas, penguasa, dan guru bangsa.... Empat surat kabar musuh lebih aku takuti daripada seribu bayonet.” 15 tahun silam, tepatnya 20 Desember 1999, Radar Cirebon (selanjutnya disebut Radar) hadir sebagai salah satu elemen penting yang mengambil bagian dalam menjalankan peran media masa (baca: pers) di wilayah 3 Cirebon. Usia yang cukup belia yang beriringan dengan gerakan reformasi menandai satu gelombang sejarah baru bagi media masa di Indonesia. Sebab pada era sebelumnya media masa kerap mendapat hambatan untuk sekadar mengekspresikan fitrahnya sebagai penyeimbang kekuasaan sekaligus pencerah publik. MEMBACA RADAR, LALU JATUH CINTA Dalam soal membaca, saya termasuk pembaca pemula untuk harian pagi semacam Radar. Pertama kali saya membaca Radar sejak 7 Oktober 2010, ketika saya baru mulai menjadi warga Kota Cirebon. Bahkan sejak itulah saya berlangganan di salah satu warung koran, yang kelak sejak Januari 2011 berpindah: memilih berlangganan langsung ke kurir kepercayaan Radar (namanya Pak Tendi) hingga kini. Jujur saja, pada awalnya saya tidak tertarik. Sebabnya sederhana: saya terbiasa membaca harian lain yang kerap menemani keseharian saya ketika masih tinggal di Bandung. Bukan satu harian yang saya baca, bahkan mencapai 10 harian (koran) dalam sehari. Namun dalam perjalanan waktu, lebih-lebih setelah “membaca” Radar dari sisi yang lebih luas, akhirnya saya pun menjadi “jatuh cinta” juga kepada media cetak kelompok Jawa Pos Group ini. Ya, benar-benar cinta. Saya tidak berlebihan, saya bicara apa adanya. Saya lupa berapa tebal halaman Radar waktu itu, yang pasti bukan tanpa alasan saya “jatuh cinta”, bahkan hingga kini. Kini Radar yang sudah setebal 28 halaman (selain hari Ahad hanya 20 halaman) menyuguhkan beragam rubrik dan tentu saja menarik. Dari Berita Utama/Aneka Berita, Wacana, Bisnis, Ekspresi, Metropolis, Cirebon Ekspres, Kabupaten, Majakuning, Indramayu, Iklan, Insiden, Sportaiment, Total Sport, Selebritis, Internasional, Sosialita dan Seputar Persib. Hampir semuanya sesuai dengan kebutuhan informasi yang patut saya peroleh, baik yang berlatar informasi: wacana, budaya, bisnis, kreatifitas maupun yang lainnya.  Sebagai pembaca yang telah mendapatkan berbagai informasi yang begitu gratis, saya pun terdorong dan terinspirasi untuk terlibat mengambil peran mencerahkan publik (baca: pembaca) sebagaimana yang telah dilakoni oleh Radar sejak 20 Desember 1999 silam. Akhirnya, sejak September 2013 saya pun mencoba mengirimkan tulisan saya (essay, artikel, cerpen dan serupanya) ke redaksi. Saya tentu bukan “asal” kirim, sebab saya telah mencoba “mendalami” Radar sejak awal-awal saya tinggal di Cirebon hingga kini. Bahkan dalam beberapa kesempatan saya memberanikan diri untuk bersua dengan petinggi (pemimpin dan redaksi) dan beberapa wartawan Radar. Untuk pertama kalinya tulisan saya yang berjudul “Menyoal Golput; Gugatan untuk Elite Politik” pun dimuat pada halaman 4 rubrik Wacana, tepatnya pada Selasa 17 September 2013. Kemudian diikuti dengan judul lain sampai yang kemarin (Selasa, 16/12/2014) berjudul “Mengakhiri Konflik Elite Politik”. Satu bentuk apresasi Radar terhadap saya yang selalu saya ingat dan belum saya balas hingga kini. RADAR DAN KEADABAN PUBLIK Pada HUT Radar yang ke-15 (yang jatuh pada 20 Desember 2014) ini, saya sedikit terhentak untuk “membaca” Radar. Membaca, dalam pengertian saya mencoba memahami bagaimana Radar menghadirkan diri dengan berbagai rubriknya. Pada kesempatan ini saya “mencukupkan” diri mengulas rubrik wacana—salah satu rubrik di mana tulisan saya hampir setiap pekannya beken di sini. Rubrik ini—minimal sepengetahuan saya—cukup berimbang. Hampir semua tema yang bersifat aktual dan “seksi” ditampung alias dimuat. Dari seputar sosial-politik, hukum, pemberantasan korupsi, kepemimpinan, pendidikan, kebijakan publik, pilpres, pileg, pilkada, ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup dan sebagainya. Penulisnya pun berasal dari berbagai latar: akademisi, guru, politisi, pejabat, PNS, pegiat sosial, mahasiswa, penulis, pedagang, dan seterusnya. Satu bentuk penghargaan dan sikap akomodatif Radar atas berbagai potensi dan keragaman publik, minimal di wilayah 3 Cirebon. Walau cukup “puas” dengan rubrik ini, saya tentu saja masih memiliki catatan kaki yaitu: rubrik ini kerap diisi oleh tulisan yang diambil dari Jawa Pos. Saya tak begitu mengerti apa maksud redaksi Radar, namun dalam beberapa kesempatan saya masih terusik. Saya pun kerap bertanya dalam diri, apakah tidak ada lagi penulis (kontributor) lokal yang tulisannya layak dimuat? Bukan kah menghargai sekaligus memberdayakan potensi lokal akan memberi efek besar bagi upaya Radar dalam menjalankan fungsi dan perannya dalam dinamika publik-lokal? Pertanyaan ini tentu bukan saja ditujukan kepada diri saya sendiri dan redaksi Radar, tapi juga untuk pembaca setia Radar. Jadi, ini pertanyaan bernafas gugatan untuk semua orang dalam bingkai ke-kolektivisme-an kita. Lebih jauh untuk para pembaca dari kalangan kampus (mahasiswa: sarjana, dosen: master, doktor, dan guru besar: profesor), saya layak bertanya: mengapa masih saja terkapar “malas” menulis, mana karya tulisnya? Mengapa kalangan yang kerap bersentuhan bahkan yang bergulat dengan ilmu pengetahuan justru tak punya cita rasa dengan tradisi ilmiyah: essay, artikel dan serupanya? Ya, saya termasuk yang agak “kesal” dengan minusnya kalangan kampus dalam mengisi rubrik Wacana. Bayangkan saja, sekadar contoh, yang kerap menulis seputar tema sosial-politik untuk rubrik ini adalah beberapa kontributor non kampus yang berlatar belakang non sosial-politik. Saya, misalnya, sama sekali bukan alumni program studi sosial-politik; bukan pula pengurus partai politik, dan bukan dosen ilmu sosial-ilmu politik; tapi saya kerap menulis seputar sosial-politik. Untuk soal ini, saya termasuk menjadi—apa yang disebut oleh eks wartawan Republika Hery Nurdi—sebagai “pembaca korban” Radar. Korban, sebab karena pemberitaan Radar-lah akhirnya saya menjadi tergoda terus untuk menulis seputar sosial-politik. Bahkan hingga kini saya berhasil membukukan tulisan saya yang pernah dimuat di rubrik wacana dalam dua buku: Ngopi (Ngobrol Politik dan Demokrasi Indonesia) dan POLITICS (Catatan Sosial-Politik) yang merupakan kumpulan 38 tulisan saya yang pernah dimuat di rubrik Wacana, di samping elaborasi beberapa rekaman ketika saya didaulat menjadi narasumber di acara Selamat Pagi Cirebon di Radar Cirebon Televisi (SPC RCTV) yang dipandu Mas Afif Rivai. Selain itu, ada yang menulis tentang pendidikan malah bukan mereka yang  berlatar studi pendidikan. Atas dasar itu pula-lah saya terus memotivasi dan mendukung istri saya (Mba Uum Heroyati) agar mengisi “ruang kosong” ini. Sebab selain sarjana pendidikan, pada masa kuliah di IAIN SNJ Cirebon (2004-2010) ia juga pernah bergulat dalam dunia aktivisme yang sepengetahuan saya tentu saja meniscayakan dirinya punya stok pengetahuan dan pengalaman dalam membaca dan memahami realitas sosial secara luas. Kemudian, ada juga yang menulis tentang dinamika sosial malah bukan aktivis yang bergulat dalam dunia sosial. Begitu juga untuk tema-tema yang lain. Tak berdosa memang, namun tentu cita rasa tulisan dan efek sosialnya akan berbeda jika yang menulis adalah mereka yang punya latar akademik dan punya kapasitas yang mumpuni seputar tema yang ditulis, baik latar pengetahuannya maupun pengalamannya. Eksistensi beragam media masa memang mesti mendorong terciptanya keadaban publik. Keadaban publik akan hadir karena terciptanya keharmonisan publik dari berbagai sisi dan dimensi (Gun Gun Heryanto, 2013). Mengamini Heryanto, saya mencatat paling tidak ada beberapa hal yang menjadi tanggungjawab media masa—terutama media cetak semacam Radar—kepada publik (baca: pembaca). Pertama, media masa mesti menjadi katalisator literasi informasi yang mencerahkan dan mencerdaskan publik; bukan menjadi “provokator” yang meresahkan publik. Kedua, media masa mampu mengembangkan fungsinya sebagai katalisator kolektivisme keragaman publik. Jurnalisme damai yang mengedepan kolektivisme mesti didorong dan dikembangkan dalam narasi berita media masa sehingga menjadi “oase” penting sekaligus menjadi “nutrisi” pengetahuan di tengah keragaman yang kerap menjadi pemicu konflik. Ketiga, media masa perlu menjadi inspirasi bagi terciptanya kompetesi publik dalam menghadirkan berbagai prestasi. Terutama dalam soal pemberdayaan dimensi ilmu pengetahuan, seni dan olahraga serta pemberdayaan kelokalan: budaya, dan serupaya. Keempat, media masa mesti menghargai role model pemberdayaan publik. Benar bahwa saat ini media masa sudah memasuki—apa yang disinggung oleh Shoc Maker dan Reese (dalam Mediating the Message: Theoris of Influence on Mass Media Content, 1991) “era industrialisasi”, era yang beroperasi dalam logika hukum pasar. Namun media masa tetap saja tidak menafikan kewajiban luhurnya: pemberdayaan publik. Selanjutnya, walau pada perkembangannya media cetak dinilai bersaing ketat dengan media online. Namun “media cetak itu kuat dan memiliki karakter yang khas. Misalnya, berita yang jelas, lengkap, dan terperinci menjadi nilai lebih dari media cetak. Selain itu, berabad-abad media cetak telah mengiringi perkembangan peradaban manusia, sehingga tak mudah untuk dilupakan” (Muhammad Yulianto, 2005). Di atas segalanya, 15 tahun adalah usia muda: usia pematangan dan produktif dalam menunaikan peran terbaik pada dunia pers. Karena itu, jangan pernah berhenti melakukan kerja-kerja besar walau selalu tersedia peluang untuk terjebak dalam kerja-kerja kecil nan kerdil. Lebih jauh, sungguh selalu ada pembaca yang optimis dan berkata: asyiknya membaca Radar, membaca keadaban publik-kita. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: