Terubus Cinta

Terubus Cinta

Oleh: Ade Junita Secara tak sengaja aku bertemu dengan kamu, saat malam mulai melarut dengan gelapnya yang pekat. Aku selalu suka menyebutmu gadis kendati umurku dan umurmu tidak terlalu jauh. Tak kuelak bahwa sampai saat ini masih ada perasaan bahagia yang kadang berlebihan setiap kali mengingatmu. Dan malam itu entah karena bahagia atau karena sudah meluapnya kegembiraanku padamu selama ini hingga obrolan yang kita lakukan sekadar memotong waktu pun jadi terasa mengalir. “Jadi sudah ketemukah?” “Siapa?” tanyamu sembari mengembangkan senyum kembali pada bibirmu. “Yang pernah kau ceritakan akan menggantikanku.” “O, belum. Kalau kamu?” “Mmm…, mungkin beberapa saat lagi.” Begitulah. Tanpa ada perasaan tersindir atau sinis, aku merasa kau juga merasakan obrolan yang biasa malam itu jadi seolah lumer dengan suasana hati kita masing-masing. Beberapa kali kau ungkap-ungkap teman sewaktu masih sekolah dulu. “Kau masih ingat dengan Gusti? Si Jangkung itu? Tentu kau masih ingat. Dia pernah sekelas dengan kita dan karena tubuhnya yang tinggi dia sering diminta untuk mengambilkan buah kersem di belakang sekolah.” “Iya, aku ingat. Padahal saat itu aku juga ingin bisa mengambilkan buah manis dan mungil itu untuk seseorang.” “Iya, Gusti jadi salah tingkah ketika aku meminta dia mengambilkan untukku,” kau melanjutkan tanpa merasa aku mengungkit kenanganku denganmu dulu. Ahh, kebisingan dari lalu lalang mobil… bisakah kau juga meredam apa yang selama ini masih tertinggal dalam dada ini. Malam semakin sepi. Pedagang gorengan yang berjejer di Palimanan ini sudah mulai tutup. Kita terus saja berjalan kaki. Mungkin akan butuh waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke rumahmu. Aku selalu berharap saat-saat seperti ini mesin waktu berhenti berjalan karena kehabisan energi sehingga kita bisa berlama-lama. Obrolan pun terus mengalir. Kadang kau ceritakan kakakmu yang berada di perantauan yang selalu saja bingung untuk mencari jodoh karena bapak meminta dia untuk mencari dari orang dekat saja. Kau sendiri tidak akan mungkin percaya jika di kemudian hari kakakmu memutuskan menikah dengan perempuan yang dipilih oleh Bapak. Ada yang berubah dari diri kamu. Tapi bukan menjadi buruk. Aku menyukai itu, entah kau bisa membacanya atau tidak. Dulu aku selalu senang melihat tengkukmu yang bersih dengan anak-anak rambut yang melaburi putih kulitmu menjadi seperti kanvas yang dilaburi goresan-goresan indah oleh sang pelukis. Dan kini tak ada kanvas yang terbentang, namun yang kutemukan adalah sebuah lukisan paling indah yang terpancar begitu megah memenuhi semua ruang senyap dalam diri ini. Lagi-lagi aku pun tidak terlalu memikirkan apakah kau bisa membacanya atau tidak. Barangkali kau sudah tak mengingatnya lagi. Saat kutemani kau pulang dari sekolah dalam satu payung yang melindungi kita dari lebatnya hujan sore itu. Sempat kau tersipu malu ketika ada seorang teman yang melihat kita berdua satu payung di bawah hujan. Kita seperti menjelma menjadi inspirasi yang mampu tertangkap oleh seorang musisi untuk kemudian diwujudkan dalam lirik lagunya. Tentu saat ini lagu dengan lirik seperti itu menjadi kacangan bagi orang-orang, namun tidak bagiku. Ada gelisir yang menuntun ingatan menuju kelapangan dada ini, lapang untuk memuat semua yang ada pada dirimu yang dulu ataupun yang sekarang. Kali ini kau ayun-ayunkan tas mungilmu sembari menanggapi beberapa pertanyaan dan pernyataan dariku. Sesekali kau tertawa dan suara tawamu itu semakin terdengar renyah malam ini. Lalu tiba-tiba dari arah belakang bunyi klakson yang sangat  keras mengagetkan kita. Secepat mungkin kau melompat ke sisi sambil berteriak. Namun bersamaan itu kau malah menubruk tubuhku. Aku terjatuh. Celanaku basah dan kotor. Kau sempat tertawa. “Oh, maaf, Lih. Aku sama sekali tak sengaja,” begitu katamu sembari mengulurkan tangan. Kulengkungkan bibirku dan menerima uluran tanganmu. Dan saat tangan kita berpegangan erat, saat itu aku merasakan kembali hangat tanganmu yang selalu mampu menyalurkan rasa tersendiri. Kau pun diam beberapa jenak. Raut mukamu menyiratkan ada sesuatu yang tanpa kau sengaja telah menyembul ke dalam permukaan lagi, barangkali rasa rindu. “Iya, tak apa.” Mobil bus yang membuatmu terkejut itu sudah berlalu dengan menyisakan gerung dan semakin mengecil. “Celanamu jadi kotor. Tak apa?” tanyamu sembari memerhatikanku. “Tak apa. Bisa pakai celana yang lain.” “Sekali lagi maaf.” Aku mengangguk. Kukibas-kibaskan tanganku pada bagian celana yang kotor. Kau mengikuti namun hanya beberapa kali. Kau merasa canggung seketika. Kita melanjutkan jalan kaki. Dari jauh terdengar suara radio yang memutarkan lagu dangdut dari sebuah warung dekat alun-alun. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut kita. Aku agak canggung untuk memulai kembali obrolan malam ini. Kau pun mungkin tak jauh beda denganku. “Kau ingat dengan Rosana? Adik kelas kita,” kau membuka obrolan. “Agak lupa tapi…, mungkin aku tahu.” “Ya, dia sudah menikah bulan lalu. Fitri, Nina, Anggi, mereka malah sudah punya anak,” ujarmu diakhiri tawa kecil. “Angkatan kita juga sepertinya tinggal kita,” kataku. “Mungkin juga.” “Tak terasa ternyata kita sudah tua ya?” Aku tertawa menanggapi kata-katamu barusan. Aku pun baru menyadari bahwa umurku sudah lebih dari cukup. “Cepat menyusul, Lih,” candamu sambil melirik ke arahku. Aku hanya tersenyum. Lalu kugamit tanganmu. Seketika itu kau memandangku. Matamu tepat menatap mataku. Entah, getaran apa yang tiba-tiba menelusup ke dalam dirimu hingga kemudian kau tundukkan pandanganmu tanpa mengelak genggamanku. Aku pun, sepertinya tak ingin lagi melepas tanganmu. Tapi… Segera kelupas tanganmu. “Maaf…!” aku canggung untuk terus menggandeng tanganmu. Aku sadar saat tadi kau bilang mungkin beberapa saat lagi kau akan mendapatkan pendamping itu berarti sudah ada yang berdiam dalam hatimu. Dan aku? “Tak apa,” jawabmu. Kembali diam. Hanya hening malam dengan angin yang sesekali menerpa. Kini langkah kaki kita memasuki gang. Rumahmu ada di ujung belokan yang kini bisa kulihat. Lampu penerang jalan yang berwarna kekuningan menerpai kepala kita. Menjadi teduh serupa hujan yang menerpai gubuk. Hanya saja saat ini kulihat ada yang semakin terpancar dari wajahmu. Kebebasan. Ya, kebebasan dari … barangkali dari rindu yang selama ini seakan menjerat langkah kakimu. Bisa saja seperti itu. Hingga saat kita sampai di depan rumahmu, tak ada ucapan selamat tinggal atau sampai bertemu lagi layaknya sepasang teman yang begitu akrab dan sesaat lagi berpisah untuk kemudian hari bertemu dan menjalani hari yang sama-sama menyenangkan. Kulangkahkan kakiku menuju rumah. Hanya punggungku yang kini bisa kau tatap. Dan tak ada suara gerbang pagar dibuka, itu berarti kau masih berdiri di sana. Menunggu apa? “Trisno!” teriakmu seketika. Aku berhenti dan cepat berbalik. Kukembangkan senyumku seolah tak ada sesuatu apa pun yang melanda hati ini. “Jika kau diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu?” Aku diam, tak kujawab pertanyaanmu. Aku tidak bisa menerka apa yang sebenarnya ingin kaukatakan. Kulihat matamu yang mulai berkaca tapi kemudian mendadak kau menunduk. “Aku ingin membuang kebodohanku saat melepasmu dulu.” Aku tak bisa berkata apa-apa. Bahkan aku merasa kakiku terhenti di sini setelah mendengar apa yang kau katakan. Apakah berarti saat ini kau menyesal? Belum sempat aku mengerti, kau berbalik dan memasuki rumahmu. Langkah kakimu sayup-sayup terdengar kemudian menghilang. Aku masih terpaku. Harus kuakui, akupun masih mencintaimu.   Cirebon, 12 Oktober 2014   Biodata Penulis: Ade Junita Lahir di Tegalkarang 25 tahun yang lalu. Alumni Pondok Pesantren Salaf Al-Muhajirin di Pegagan, Palimanan. Salah satu cerpennya baru saja diterbitkan dalam antologi Melukis Ka’bah (Lovrinz Publishing). Penulis bisa dihubungi melalui Email: [email protected].

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: