CSR: Antara Beban dan Kesukarelaan

CSR: Antara Beban dan Kesukarelaan

TANGGUNG jawab sosial perusahaan atau lebih dikenal dengan Corporate Social Responcibility (CSR) sering kita dengar dan baca dilakukan oleh perusahaan-perusahaan belakangan ini untuk masyarakat. Pernyataan seperti “Donasi kami terhadap korban bencana gempa ini adalah perwujudan CSR” atau “Tahun ini perusahaan kami melaksanakan CSR dengan mengkhitan 300 anak”. Atau kadang- kadang CSR lebih dianggap sebagai ‘uang’ atau dana CSR, pemahaman yang sederhana terhadap CSR atau ketidakpahaman perusahaan terhadap CSR karena disamakan dengan tindakan filantropi atau community development (Comdev) yang umum dilakukan perusahaan. Diakui atau tidak, perilaku bisnis, terutama perusahaan-perusahaan besar (multi-national corporation) digambarkan sebagai makhluk ganas pemakan semua hal yang menelan intinya (profit) dan memuntahkan ampas (ketidakadilan sosial ekonomi, degradasi budaya lokal, terpinggirnya komunitas sekitar hingga kerusakana lingkungan). Belakangan kalangan usaha menyadari keberlangsungan bisnisnya tidak hanya bergantung pada efisiensi pemanfaatan sumberdaya untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa dibarengi upaya meningkatkan kualitas sosial, ekonomi, budaya masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan, cepat atau lambat oprasi perusahaan bakal menuai masalah, yang tak hanya mengurangi keuntungan karena adanya tambahan biaya, tetapi juga berpotensi menjungkalkan perusahaan akibat kebangkrutan atau penghentian paksa oprasinya. Di sisi lain, kesadaran masyarakat berkembang sama pesatnya dengan melahirkan tuntutan-tuntutan yang berkait erat dengan kewajiban moral dan etis dunia usaha. Joel Bakan, profesor hukum dari University Of British Columbia dalam buku The Corporation: The Pathalogical Pursuit of Profit and Power (2004), menggambarkan dengan baik pentingnya membatasi peran korporat. Pembatasan ini dilakukan agar korporasi tidak hanya tumbuh, kuat, dan menguasai sektornya, tetapi juga memberikan manfaat dan keseimbangan terhadap kehidupan manusia dan peradaban. Seperti yang juga disampaikan David C. Korten dalam buku The Post Corporate World, Life after Capitalism (1999), nilai-nilai perusahaan tidak lagi berpusat pada uang, tetapi pada kehidupan; kepentingan yang jadi motif bukan pada laba maksimum, melainkan mendapatkan dan memenuhi kehdiupan; lokasi kekuasaan perusahaan bukan di pasar uang, tetapi pada orang dan masyarakat global; kerangka waktu perusahaan tidak jangka pendek, melainkan jangka panjang; pertanggungjawaban perusahaan tidak lagi lemah dan jauh, tapi kuat dan setempat, dan yang paling penting, orientasi terhadap kehidupan dari perusahaan seperti itu bukanlah menguras tetapi merawat. CSR sebagai panduan moral dan etika praktik bisnis memiliki filosofi dasar konsep dan praktek adalah kesadaran dan kerelaan. CSR penting bukan hanya bagi hubungan korporat dengan masyarakat, kelangsungan eksistensi korporat, tetapi juga bagi keseimbangan masa depan manusia. CSR diperdebatkan dalam implementasinya sebagai kewajiban (mandatory) atau sukarela (voluntary), namun intinya CSR yang harus digarisbawahi adalah upaya perusahaan bertanggung jawab dengan cara meminimalkan dampak negatif akibat operasinya (baik sosial maupun lingkungan), dan memaksimalkan dampak positif oprasinya perusahaan. CSR ANTARA FILANTROPI DAN TANGGUNG JAWAB Dari dulu dunia usaha meyakini bahwa satu-satunya tanggung jawab mereka adalah memberikan keuntungan bagi pemodalnya. Bagi pengikut pendirian Friedman (1970), memasukkan konsep tanggung jawab lain bagi perusahaan merupakan kesalahan. Dengan meningkatnya tanggung jawab, menurut mereka, perusahaan akan dibebani biaya produksi yang lebih tinggi dan hal ini akan direspons dengan jalan menurunkan upah atau menaikkan harga jual produk. Kedua hal ini, masih menurut mereka, bertentangan dengan kepentingan perusahaan dan juga masyarakat luas. Namun demikian, sejak 1960-an telah nampak banyak masalah sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh operasi perusahaan (Warhurst, 2001). Pertanyaan penting yang diajukan adalah siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Jawaban terbanyak diajukan perusahaan adalah pemerintah. Mengapa demikian? Karena, dari sudut pandang mereka, sepanjang perusahaan telah menjalankan kerangka legal termasuk pembayaran pajak, maka perusahaan telah memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, apapun yang menjadi konsekuensi dari perilaku perusahaan yang legal haruslah menjadi tanggung jawab pemerintah. Analisis yang lebih objektif atas berbagai masalah sosial dan lingkungan itu ternyata menghasilkan jawaban yang berbeda sama sekali. Regulasi formal yang dibuat oleh pemerintah ternyata tidak pernah cukup untuk menangani masalah yang timbul. Karenanya, perusahaan haruslah mengadopsi kenyataan bahwa ada dua bentuk perijinan yang harus dipatuhi oleh perusahaan agar dapat beroperasi dengan aman, yaitu ijin legal dari pemerintah dan izin sosial dari masyarakat. Untuk memperoleh izin sosiallah perusahaan harus melakukan kegiatan sosialnya. Dalam pendirian Warhurst, ada dua konsep kunci yang harus dipegang untuk memperoleh ijin sosial itu, yaitu pembangunan berkelanjutan serta tanggung jawab sosial perusahaan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh WCED (1987) sebagai ‘development which meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs’. Definisi yang lebih operasional dikemukakan oleh Serageldin (1996) sebagai ‘a process whereby future generations receive as much capital per capita, or more than, the current generation has available.’ Yang dimaksud dengan kapital dalam pembangunan berkelanjutan ini mencakup kapital natural, ekonomi, sosial, budaya, politik dan personal (Ife, 2002). Sementara, tanggung jawab sosial perusahaan didefinisikan Warhurst (2001) sebagai ‘internalisation by the company of the social and environmental effects of its operations through proactive pollution prevention and social impact assessment so that harm is anticipated and avoided and benefits are optimised’. Dengan menggabungkan kedua pengertian itu, maka aktivitas sosial perusahaan bertujuan untuk memperoleh izin sosial dari masyarakat dengan jalan menjaga nilai kapital yang dipergunakan oleh generasi sekarang dan akan diwariskan ke generasi selanjutnya melalui minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif dari operasi perusahaan. Kalau kemudian kita membagi operasi perusahaan menjadi yang memiliki dampak besar terhadap masyarakat dan lingkungan dan yang memiliki dampak relatif kecil, maka kita bisa mengambil kesimpulan lebih jauh. Perusahaan yang berdampak besar terhadap lingkungan misalnya, haruslah menyadari bahwa penurunan kapital natural harus dikompensasi oleh meningkatnya bentuk kapital lainnya. Namun sebelumnya perlu diperhatikan bahwa penurunan kapital natural yang dapat ditoleransi juga memiliki ambang batas tertentu. Sementara, perusahaan yang memiliki dampak negatif kecil bisa langsung meningkatkan berbagai jenis kapital itu. Jelaslah bahwa konsep tanggung jawab sosial perusahaan sesungguhnya lebih besar daripada konsep filantropi yang sukarela. Konsep tanggung jawab sosial sama sekali tidak menafikan sifat sukarela dari kegiatan sosial perusahaan, sebagaimana yang didukung oleh kelompok pengusung filantropi, namun terlebih dahulu menugaskan perusahaan untuk meminimisasi dampak negatif yang ditimbulkannya, sebelum melakukan maksimisasi dampak positif secara sukarela. Tentu saja hal tersebut tidak berarti bahwa seluruh dampak negatif harus hilang terlebih dahulu sebelum dampak positif dapat diperbesar. (*) *) Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Unswagati dan Peneliti Caruban Institute

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: