Bencana Politik, Politik Bencana

Bencana Politik, Politik Bencana

UNGKAPAN yang menyatakan bahwa 2014 merupakan tahun politik bukanlah isapan jempol. Siapapun maklum bahwa berbagai pilkada, pileg, pilpres, dinamika hingga konflik politik—terutama konflik internal partai politik, parpol) terjadi pada hampir seluruh hari-hari di tahun 2014. Fenomena ini pun sampai pada titik klimaks yang mengkhawatirkan. Kita kerap menonton perilaku elite politik yang jauh dari semestinya seorang politisi. Tak hanya elite politik, rakyat biasa yang seharusnya tak perlu terlibat dalam hiruk pikuk dan konflik politik elite politik justru turut serta menjadi bagian tak terpisahkan dari konflik yang meresahkan. Uniknya, bukan saja menjadi pelaku “sampingan”, rakyat biasa justru kerap menjadi korban yang tak tahu diri: sudah menjadi korban tapi tak mau menyadarkan diri. BENCANA POLITIK Memahami berbagai fenomena di atas secara datar tentu saja satu bentuk sikap kurang elok. Sebab acuh terhadap urusan satu warga pun adalah satu bentuk pengabaian yang memalukan. Lebih-lebih jika acuh terhadap urusan publik yang lebih luas, itu merupakan pengabaian yang lebih memalukan, bahkan sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Baik yang dilakukan oleh para elite maupun oleh rakyat biasa. Perbedaan pandangan dan pilihan politik, misalnya, kerap mengundang konflik sosial yang membuat energi kolektivisme kita sebagai sebuah bangsa yang kaya menjadi lunglai karena tersiksa oleh diri kita sendiri. Sebagai sebuah bangsa, kita masih belum mampu bersedia “menjadi orang lain” untuk diri kita sendiri. Padahal kemampuan menempatkan orang lain seperti diri sendiri adalah cikal bakal bangsa ini dulu menjadi merdeka dan berdiri tegak menjadi negara yang berdaulat. Lebih jauh, kita pun kerap memaknai keragaman sebagai pemicu keterbelahan. Kita belum mampu menerima keragaman sebagai tenunan yang indah untuk dipandang bahkan dipakai dalam setiap momentum kehidupan. Padahal dalam kata Indonesia itu sendiri mengandung makna keragaman, atau yang dalam konteks filosofi kebangsaan kita kenal dengan bhineka tunggal ika, berbeda latar tetap dalam bingkai kolektivisme Indonesia. Bahkan dalam sila ketiga Pancasila sangat tegas bahwa kita sebetulnya punya fondasi kuat: “Persatuan Indonesia”. Karena bersatu dalam keragaman-lah kita menjadi sebuah negara yang merdeka dan punya martbat di hadapan bangsa dan negara lain di dunia. Lalu, apa “biang” dari berbagai fenomena di atas? Problem utama yang menjadi “biang” berbagai fenomena di atas adalah kebebalan otak dan etik kita. Nilai-nilai luhur bangsa kadang hanya menjadi lapisan-lapisan kosa kata dalam diktat, bundel dan buku-buku akademik juga peraturan perundang-undangan. Kita kerap berhenti menjadi bangsa kata-kata (bahkan kata-kata kita tak punya makna positif), dan kerap “malas” melangkahkan kata-kata (yang mengamndung nilai luhur, positif) menjadi kerja. Ya, secara jujur pun kita pantas mengakui bahwa keresahan kita terhadap masalah kebebalan otak dan etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita akhir-akhir ini disebabkan karena kehidupan politik dan kebudayaan kita diwarnai oleh surplus kegaduhan dan defisit kesunyian. Demokrasi-politik dirayakan dengan pesta jorjoran, tetapi miskin substansi dan refleksi; budaya dipadati tontonan ingar-bingar, dengan kedangkalan sensitivitas etis dan fajar budi; norma diekspresikan dalam kegaduhan yang menyerang, miskin perenungan dan rasa kemanusiaan. Semua langkah dan pilihan sikap pun kerap hanya berhenti pada formalistik dan simbolik semata (Yudi Latif, 2009). Fenomena-fenomena di atas hanyalah potret kecil dari politik yang dipragakan secara serampangan bahkan sudah mengarah kepada bencana yang menghancurkan bangunan bangsa dan negara kita di setiap harinya di tahun 2014. Ya, jika fenomena ini masih dibirkan terus terjadi, maka ia akan menjadi bencana politik yang membahayakan masa depan kita sebagai sebuah bangsa dan negara besar. POLITIK BENCANA Hal lain yang telah menjadi “langganan” negeri ini adalah bencana alam dalam berbagai bentuk: tsunami, lumpur, longsor, banjir, gunung berapi, macet, tabrakan, kebakaran dan sebagainya. Sebagai orang biasa kita pun selalu terhantui pertanyaan-pertanyaan menggelitik: apakah Tuhan sudah mulai bosan dengan kita?, apakah amal buruk (dosa) kita sudah melebihi amal buruk (pahala) kita?, dan apakah kita memang layak mendapatkan bencana agar kita semakin mau dan mampu menyadarkan diri?, lalu, mengapa bencana terjadi berulang-ulang, ini salah siapa? Dalam pandangan transedensional, berbagai kejadian atau bencana yang menimpa pada dasarnya berawal dari ulah manusia sendiri. Dari ulah penguasa yang tidak adil alias zolim, ulah rakyat yang acuh terhadap urusan negara, ulah pengembang yang kerap merambah hutan tanpa memperhatikan standar pengembangan, ulah pejabat publik yang gagal menata kota juga lingkungan, hingga dosa atau kemaksiatan manusia terhadap Tuhan serta keserakahan manusia terhadap sesamanya. Bayangkan saja, akhir-akhir ini sangat mudah kita mendapatkan berita bagaimana seseorang menghina Tuhan juga para utusan-Nya, seorang cucu memperkosa neneknya sendiri, seorang remaja memperkosa pacarnya, seorang gadis membuang bayinya, dan anak membunuh orangtuanya sendiri. Di samping itu, begitu mudahnya seseorang menghilangkan nyawa orang lain dengan alasan-alasan yang tak pantas, misalnya, karena korban tak bersedia disetubuhi, karena tidak meminjamkan uang dan seterusnya. Bahkan begitu mudahnya pejabat publik menghancurkan rumah-rumah warga yang sudah puluhan tahun menempati rumah-rumah tersebut, bahkan warga pemilik rumah begitu antusias membayar pajak di setiap periodenya selama puluhan tahun. Tapi sebagai warga dari sebuah negara yang memiliki penguasa (baca: pemimpin) kita tentu tidak berhenti sampai pada pandangan transendesional yang cenderung pasrah. Secara manusiawi, kita masih patut bertanya: kapan kita berhenti membuang sampah di sembarang tempat padahal sampah kerap menghadirkan berbagai penyakit yang berbahaya, kapan kita berhenti sombong dan angkuh karena kerap menyebar asap yang merusak (seperti rokok di tempat yang tak pantas) dengan alasan hak dan kebiasaan “para guru” padahal merugikan hak orang lain untuk hidup sehat dan tidak mendatangkan manfaat selain kerusakan? Apakah kita tidak menghiraukan doa mereka yang dizolimi oleh sampah dan asap rokok kita didengar Tuhan? Lebih jauh, apa yang sudah dilakukan oleh para pemimpin kita? Karena, tanpa menegasikan peran dan kontribusi rakyat biasa dalam menyelesaikan masalah yang timbul, secara konstitusional tetap saja ada “manusia khusus” yang bertanggungjawab atas masalah-masalah tersebut. Mereka adalah pejabat publik di berbagai institusi negara dan serupanya yang telah mendapat mandat mengelola negara atau mengurus urusan publik. Mereka adalah presiden, menteri terkait, gubernur, wali kota/bupati dan sebutan lainnya di berbagai institusi publik-negara. Lagi-lagi, inilah masalahnya, berbagai masalah yang muncul—termasuk bencana yang kerap menghantui negeri kita—selalu berhadapan dengan pemegang kebijakan yang sibuk menebar citra. Bahkan mereka kerap berbagi dan berbalas pantun yang hanya menguatkan pembelaan terhadap kegagalan diri dalam mengurus masalah publik. Seorang menteri kadang berbeda penjelasan dengan presiden untuk satu masalah tertentu. Begitu juga gubernur dengan wali kota/bupati. Dan begitu seterusnya untuk pejabat serupanya. Apa sebab? Beda pandangan dan pilihan politik. Ini indikasi nyata betapa negeri ini sedang ditimpa bencana besar: bencana politik yang berefek pada politik (baca: kebijakan dalam menyelesaikan masalah) bencana. Mudah-mudahan pada masa-masa yang akan datang (baca: tahun 2015 dan seterusnya) berbagai bencana yang menimpa tidak membuat kita lelah mencari titik temu dan solusi terbaik. Lebih jauh, berbagai peristiwa yang terjadi sebetulnya akan menjadi bencana bukan saja karena ia memang bencana (karena kejadian alamiyah), tapi juga karena kita memang kerap menghadirkan bencana dengan ulah-ulah kita sendiri, termasuk salah urus terhadap menyelesaikan berbagai bencana. Akhirnya, di penghujung tahun 2014 ini, selain adanya keharusan untuk memohon ampun kepada Tuhan, kita pun layak mendesak diri untuk berbenah dalam berbagai sisi, agar penyesalan tidak kembali menimpa kita. Mari menyudahi 2014 dengan gembira, sambil menyongsong 2015 dengan riang. (*) *) Penulis adalah Direktur Eksekutif KOMUNITAS, Penulis buku POLITICS, Pegiat Ilmu Pengetahuan sekaligus Pegiat Kepenulisan (Jurnalistik) di STAI BBC.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: