Temukan Dua Titik Ceceran BBM
Akan Dipastikan Avtur atau Hanya Solar Kapal BELITUNG - Langkah TNI Angkatan Udara mencari pesawat AirAsia menemukan titik terang. Kemarin (29/12) dalam operasi pencarian hari kedua Tim Pencari AirAsia, TNI AU menemukan dua titik tumpahan atau ceceran bahan bakar minyak. Namun, ceceran minyak itu masih belum jelas, apakah merupakan avtur (bahan bakar pesawat) atau hanya solar dari kapal yang lewat. Wartawan Jawa Pos (Radar Cirebon Group) mengikuti operasi pencarian tersebut. Sekitar pukul 06.00, pesawat Hercules C130 A1316 meluncur dari Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma. Ada belasan kru yang ikut dalam operasi tersebut. Setelah dua jam penerbangan, tim yang menggunakan Hercules itu sampai pada perairan Tanjung Pandang Barat, Belitung. Lokasi tersebut menjadi salah satu lokasi yang diduga menjadi tempat jatuhnya pesawat AirAsia. Setelah empat jam pencarian, belum ditemukan adanya bukti pesawat jatuh di lokasi itu. Akhirnya, Posko Operasi Pencarian Pesawat AirAsia menginstruksikan Tim Operasi Pencari AirAsia yang menggunakan Hercules untuk menuju ke Perairan Tanjung Pandan sebelah timur. Tepatnya, di Selat Karimata. Dalam satu jam pencarian, sekitar pukul 14.10 hingga 14.37 WIB, akhirnya tim tersebut menemukan dua titik ceceran bahan bakar minyak. Satu titik, terdapat ceceran BBM dengan skala kecil dan titik yang lain ceceran BBM panjang dan melebar. Namun, Pilot Hercules Letkol Penerbang Putu Setia Darma belum bisa memastikan apakah itu bahan bakar pesawat atau hanya ceceran BBM kapal yang lewat. “Saya melapor ke Posko, tapi belum pasti. Nantinya, titik koordinat ini yang akan dicek kembali,” ujarnya. Sayangnya, pesawat Hercules tidak bisa melanjutkan pencarian, sebab bahan bakar hanya cukup untuk sebelas jam penerbangan. Padahal, pencarian itu sudah dilakukan sekitar sembilan jam. Hanya tersisa bahan bakar untuk dua jam penerbangan yang digunakan pulang ke Lanud Halim Perdana Kusuma. “Ya, ceceran bahan bakar ini ditemukan jam-jam terakhir, kami hampir kehabisan bahan bakar,” jelasnya. Akhirnya, sekitar pukul 15.45 Tim Operasi Pencari AirAsia kembali ke pangkalan. Sementara Panglima Komando Operasi AU 1 Masda TNI Dwi Putranto menjelaskan, penemuan ceceran bahan bakar ini bisa menjadi titik terang untuk pencarian pesawat AirAsia. Langkah selanjutnya, dengan temuan ceceran itu adalah mengecek kepastian, apakah ceceran itu avtur (bahan bakar pesawat) atau hanya solar yang berasal dari kapal yang lewat. “Ini yang harus dipastikan,” terangnya. Tentunya, pengecekan itu bisa dilakukan oleh Badan SAR Nasional (Basarnas). Dengan dibantu dari PT Pertamina yang ahli dalam bidang perminyakan. Kalau ternyata ceceran itu avtur, maka pencarian lokasi pesawat bisa diprioritaskan di sejumlah titik. “Ini seperti jejak, jadi belum tentu lokasi pesawat jatuh di situ (tempat ceceran BBM),” paparnya. Perlu diketahui, pesawat AirAsia telah hilang lebih dari 30 jam. Lalu, arus air laut selama ini dideteksi sekitar sembilan nautical mile mengarah ke timur. Artinya, 30 jam dikali sembilan nautical mile, hasilnya lokasi jatuhnya pesawat bisa pada jarak sekitar 200 km dari temuan ceceran BBM. “Tepatnya di sebelah Barat Pulau Belitung, ini masih prediksi saja. Yang utama itu harus ditentukan apakah avtur atau tidak,” tegasnya ditemui di lanud Halim Perdana Kusuma kemarin (29/12). Menurut dia, TNI AU berharap agar Basarnas bisa segera mendeteksi temuan ceceran BBM tersebut. Pasalnya, kalau tidak segera diperiksa, maka bisa jadi ceceran BBM itu bisa terbawa arus laut. “Jangan sampai hilang, harus bisa diambil sample-nya,” paparnya. Rencananya, hari ini akan ada pencarian pesawat AirAsia kembali. Jumlah pesawat yang diterjunkan masih sama, dari TNI ada lima pesawat dan tiga kapal KRI. Lalu, ada tambahan tiga pesawat dari Singapura dan Malaysia. Sementara itu, di hari kedua pencarian, beberapa fakta mulai mengemuka. Fakta-fakta yang bisa jadi menyebabkan perjalanan yang dipimpin Kapten Pilot Iriyanto itu mengalami masalah. Fakta itu terkonfirmasi dalam konferensi pers setelah rapat Kemenhub di Gedung Otoritas Bandara Wilayah I Cengkareng kemarin. Pertemuan tertutup itu dihadiri Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, Plt Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murjatmojo, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi, dan Kepala Basarnas Marsekal Madya FHB Soelistyo. CEO Air Asia Tony Fernandes juga turut hadir dalam rapat tersebut. Fakta pertama terkait ketidakmampuan radar Air Traffic Control (ATC) untuk membaca kondisi cuaca. Menyikapi itu, Bambang Tjahjono, Direktur AirNav (perusahaan yang melayani navigasi penerbangan), membenarkan bahwa radar yang dimiliki pihaknya “buta” cuaca. Namun, itu seharusnya tidak menjadi masalah sebab pilot sudah mendapatkan data cuaca dari BMKG. Bambang melanjutkan, radar cuaca sudah ada di pesawat. Sehingga, pilot bisa memetakan di mana jalur yang berbahaya dan tidak. “Namanya pilot in command. ATC berhak memperhatikan permintaan pilot. Namun ATC juga memberitahu bahwa pesawat tidak bisa pindah mendadak lantaran lintasan pesawat padat,” terangnya. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang juga hadir dalam rapat ikut angkat suara, bahwa setiap penerbangan sudah punya flight plan. Di dalam rencana penerbangan itu terdapat data BMKG terkait cuaca. “Jadi kalau ingin tahu detail tanyakan ke BMKG,” tandasnya. Namun, dalam kasus QZ8501, bisa diumpamakan Pilot Iriyanto meminta petunjuk jalan kepada orang yang tidak tahu medan. Dalam kasus ini cuaca di sekitar pesawat. Bisa dibayangkan, betapa berbahaya dan berisikonya perjalanan Iriyanto dalam kondisi seperti itu. Si penunjuk jalan hanya bisa memberikan petunjuk agar tidak terjadi tabrakan. Bukan jalan yang aman untuk keselamatan. Direktur Safety dan Standar AirNav Wisnu Darjono juga ikut rapat Kemenhub juga membenarkan bahwa radar yang dimiliki ATC tidak mempunyai kelengkapan weather radar. “Nanti gambar lintasan pesawat ketumpukan (tertumpuk) dengan citra cuaca sehingga petugas tidak bisa lihat,” katanya memberikan alasan. Meski demikian, Wisnu menyatakan AirNav ke depan akan memasang radar cuaca di ATC. Radar cuaca itu tidak digabung, namun di letakkan di layar monitor di samping radar pesawat. Dan hal itu sudah dilakukan di Negara lain termasuk Singapura. “Jadi ke depan petugas juga bisa melihat cuaca,” paparnya. Fakta kedua terkait dengan beban kerja petugas ATC yang kelewat berat. Seorang ATC di Indonesia bisa meng-handle 7-15 pesawat. Wisnu menyebut hal itu sebagai hal yang biasa, sudah dilakukan selama bertahun-tahun di Indonesia. Namun, dalam kasus QZ8501, hal itu bisa saja meningkatkan risiko masalah penerbangan. Sebab, saat itu di dekat QZ8501 ada tujuh pesawat. Iriyanto yang secepatnya butuh jalur baru untuk menghindari cuaca buruk, akhirnya tidak bisa dikontak sebelum diberi jalur yang dibutuhkan itu. Fakta berikutnya terkait Iriyanto yang tidak hadir dalam rapat persiapan penerbangan. Rapat itu diselenggarakan untuk menentukan flight plan. Rapat itu dihadiri oleh orang lain. Sehingga dialah yang bertanda tangan dalam flight plan. Menurut Wisnu, hal itu diperbolehkan menurut aturan internasional. Asal penggantinya mempunyai lisensi sebagai flight operation officer. “Seperti saya. Saya punya lisensi sebagai flight operation officer. Jadi saya bisa mengisi flight plan,” tandasnya. Selanjutnya, fakta yang terungkap adalah ketidakkonsistenan kemenhub terkait kronologi pesawat hilang kontak. Berdasarkan rilis resmi kronologi perjalanan pesawat yang dilansir Kemenhub Minggu lalu, pesawat take off pukul 05.36 WIB dari Bandara Juanda. Pada pukul 06.12 WIB pilot meminta untuk belok ke kiri dan menaikkan ketinggian dari 32 ribu kaki menuju 38 ribu kaki. Masih berdasarkan rilis hari Minggu itu, disebutkan bahwa belok kiri sejauh tujuh mil disetujui. Namun, untuk menambah ketinggian belum. Nah, ketika akan dilakukan kontak lagi pada 16.17 WIB, pesawat sudah tidak tampak di radar, hanya sinyal ADS-B. Pada 16.18 WIB, sinyal itu juga menghilang. Sampai akhirnya pada pukul 07.55 WIB pesawat dinyatakan hilang. Namun, setelah rapat Kemenhub kemarin, diungkapkan versi lain dalam komunikasi pilot dengan ATC. Disebutkan dalam konferensi pers setelah rapat itu, pada 06.14 WIB petugas ATC hendak memberikan jawaban. Akan tetapi QZ8501 sudah tidak bisa dikontak. Kenapa rilis kronologi bisa beda, tidak ada jawaban jelas dari kemenhub. Namun, tempo dua atau tiga menit dalam perjalanan pesawat adalah satu momen yang cukup panjang. Pesawat bisa menempuh puluhan kilometer. Termasuk harus menembus zona-zona bahaya dalam tempo itu. (idr/aph/ang)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: