Kurikulum 2006 atau 2013?

Kurikulum 2006 atau 2013?

MULAI semester genap tahun pelajaran 2014/2015 ini, terdapat dua kurikulum yang berlaku dalam waktu bersamaan. Bagi guru dan siswa tentu akan sangat terasa sekali pengaruh dan akibatnya. Bagi guru tentu waktu liburnya harus disibukkan dengan membuat perangkat pembelajaran baru kembali, karena perangkat yang dibuat sebelumnya menggunakan kurikulum 2013. Padahal sebelumnya, guru juga telah dibuat kerepotan oleh sistem penilaian yang terdapat dalam kurikulum 2013. Karena sistem penilaian yang diterapkan dalam kurikulum 2013 dirasakan sangat rumit dan kompleks. Untuk menilai satu ranah afektif saja misalnya sikap sosial dan spiritual guru perlu membuat atau menyiapkan format penilaian dan administrasi yang begitu banyak. Ditambah lagi dengan jumlah siswa melebihi kapasitasnya, dalam satu kelas bisa mencapai 40 siswa atau bahkan lebih. Idealnya sistem penilaian yang digunakan dalam kurikulum 2013 akan dapat diterapkan pada kelas dengan jumlah tidak lebih dari 25 siswa. Meski sistem evaluasi atau penilaian yang terkesan kompleks dan rumit, namun ternyata tingkat reliabel dan validitasnya cenderung rendah, itulah temuan atau fakta yang terjadi di lapangan. Entah fakta itu diketahui atau disadari tidak oleh para ahli sistem evaluasi dan perumus kurikulum. Tujuan sistem penilaian yang baik dan komprehensif seperti yang diharapkan dalam kurikulum 2013 akhirnya tidak tercapai maksimal. Persoalan lainnya yang muncul dengan kembalinya pada kurikulum 2006 adalah kesulitannya beberapa guru dalam memenuhi beban wajib minimal 24 jam. Karena terdapat perbedaan jumlah jam tiap mata pelajaran dalam struktur kurikulum 2006 dan kurikulum 2013. Pada kurikulum 2006, sebagian besar mata pelajaran memiliki beban jam yang lebih sedikit dibandingkan pada kurikulum 2013. Misalnya saja pada mata pelajaran sejarah di dalam kurikulum 2006 hanya diberikan 1-3 jam pelajaran, sedangkan dalam kurikulum 2013 bisa mencapai 6-7 jam pelajaran. Sementara bagi siswa kelas X (sepuluh) yang telah dibagi program penjurusan akan kembali pada program umum. Yang artinya para siswa harus mampu mengikuti mata pelajaran di semester 2 meski pada semester 1 tidak dipelajari. Atau sebaliknya ada mata pelajaran yang hilang, karena mata pelajaran tersebut hanya ada pada kurikulum 2013. Program matrikulasi yang diharapkan menjadi solusi pun sulit dilaksanakan karena berbagai kendala dihadapi sekolah, guru maupun siswa. Selain semua persoalan yang telah dikemukakan di atas, ada persoalan besar yang saat ini dihadapi sekolah di beberapa daerah. Persoalan tersebut terkait adanya indikasi pemaksaan kepada sekolah (baca; guru dan siswa) untuk tetap melanjutkan pelaksanaan kurikulum 2013 meski tidak memenuhi kriteria. Dalam artikel yang ditulis Retno Listyarti (Sekjen FSGI) pada Harian Kompas 27/12/14 terungkap bahwa di beberapa daerah telah terjadi pembangkangan terhadap Peraturan Menteri Pendididikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 160 Tahun 2014 tentang: Pemberlakuan Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Dalam artikel tersebut ditulis salah satu contoh daerah yang mengalami hal itu adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dijelaskan bahwa Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) NTB telah memerintahkan kepada seluruh kepala sekolah untuk tetap melanjutkan pelaksanaan kurikulum 2013. Hal itu didasari atas kesepakatan pada pertemuan yang dilakukan kepala sekolah dengan LPMP NTB. Meski akhirnya Kepala LPMP NTB melalui surat pembaca membantah bahwa pertemuan tersebut tidak pernah ada. Hal serupa juga terjadi di beberapa daerah di Jawa Barat, salah satunya di Kabupaten Indramayu. Salah seorang teman di Kabupaten Indramayu mendapat sms yang isinya kurang lebih bahwa telah dilakukan rapat atau pertemuan Kepala Dinas Provinsi Jawa Barat dengan kepala dinas kota/kabupaten yang menghasilkan keputusan bahwa semua sekolah mulai dari SD hingga SMA/SMK di Jawa Barat diinstruksikan untuk melanjutkan pelaksanaan Kurikulum 2013. Sehingga sekolah-sekolah di Kabupaten Indramayu yang mestinya kembali pada kurikulum 2006 sesuai aturan Permendikbud No 160 Tahun 2014 tapi tetap melanjutkan kurikulum 2013. Tentu hal itu akan mengganggu kelancaran proses pendidikan jika sekolah tersebut tidak memenuhi kriteria yang ditentukan dalam pemberlakuan kurikulum 2013. Perbedaan penafsiran dan implementasi permendikbud di lapangan seharusnya tidak terjadi, karena hal itu dapat menimbulkan kebingungan dan keraguan di masyarakat. Seharusnya kepala dinas, kepala sekolah memahami dan hanya berpegang pada Permendikbud Nomor 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum Tahun 2013, serta Peraturan Bersama Dirjen Pendidikan Dasar dan Dirjen Pendidikan Menengah Kemendikbud Nomor 5496/C/KR/2014-Nomor 7915/D/KP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pemberlakuan Kurikulum Tahin 2006 dan Kurikulum Tahun 2013 Pada Sekolah jenjang pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Karena dalam dua aturan tersebut dijelaskan bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah (baca: sekolah) yang melaksanakan kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan kurikulum 2006 pada semester kedua tahun pelajaran 2014/2015. Untuk pelaksanaan kurikulum 2006 ditentukan batas waktunya sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020. Sedangkan sekolah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 selama 3 semester tetap menggunakan kurikulum 2013. Sekolah yang dimaksud merupakan sekolah sasaran dan sekolah mandiri yang dijadikan sekolah rintisan penerapan kurikulum 2013. Kekhawatiran yang muncul manakala di lapangan terjadi pemaksaan terhadap sekolah untuk tetap menerapkan kurikulum 2013, padahal sekolah tersebut belum memenuhi kriteria adalah terganggunya kelancaran proses pendidikan di sekolah tersebut. Ketika hal itu terjadi kembali, siswa menjadi korban kebijakan pendidikan yang tidak matang. Padahal mereka adalah generasi penerus yang akan mewarisi pembangunan bangsa ini. Bagaimana bangsa ini akan menjadi maju jika persoalan pendidikan masih terus menyelimuti bangsa ini? Hal itu bisa terjadi ketika pertimbangan yang mendasari penerapan kurikulum 2013 di satuan pendidikan masing-masing daerah atas dasar politis, masalah anggaran atau sekadar prestise suatu daerah belaka. Lain halnya jika pertimbangan yang dipakai adalah upaya memacu dan memotivasi sekolah untuk terus berbenah dalam rangka memperlancar proses pendidikan dan memperbaiki kualitas pendidikan. Maka niscaya pendidikan akan dapat menjadi solusi bagi semua persoalan bangsa ini. Akhirnya perlu kita garis bawahi kurikulum 2006 dan kurikulum 2013 sebetulnya memiliki prinsip-prinsip pembelajaran yang tidak jauh berbeda. Pendekatan saintifik, berpikir tingkat tinggi dan penilaian autentik juga sebenarnya telah terkandung dalam kurikulum 2006. Agaknya tidaklah salah jika kita mengatakan apapun kurikulumnya kunci keberhasilan tetap berada pada kualitas dan profesionalitas gurunya. (*) *Penulis adalah praktisi pendidikan, Korwil-Cirebon Asosiasi Guru Penulis PGRI-Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: