Mendekap Pilu, Menggenggam Asa

Mendekap Pilu, Menggenggam Asa

oleh: Rahmaniah Akhirunnisa “Tidak ada yang berbeda dari hidupku dan mereka, kecuali takdir dan keadaan.” MALAM kian larut dan senyap. Di dalam ruangan yang gelap gulita ini biasanya Azka telah terlelap. Tapi tidak untuk malam ini. Sepasang bola mata kecoklatan lelaki itu nampaknya masih enggan untuk beristirahat. Tak ada yang bisa dipandanginya selain langit-langit kamar yang sedikit banyak masih bisa terlihat—meski tanpa penerangan. Azka bangkit dari tidurnya untuk menyalakan lampu kemudian menuju meja belajarnya. Azka memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Ada sesuatu yang sedari tadi mengganggu hati dan pikirannya. Ia mencoba menerkanya namun belum berhasil sampai bola matanya mendapati sebuah benda persegi yang berdiri dengan cantik di atas meja belajarnya. Sebuah bingkai foto dimana di dalamnya terdapat foto Azka di antara seorang wanita dan pria, tersenyum penuh kebahagiaan. Tangan kanan Azka tergerak untuk meraihnya. Dipandanginya benda persegi penuh kenangan itu. Waktu berjalan begitu cepat. Tidak! Waktu bukan berjalan melainkan berlari. Tanpa mempedulikan siapapun yang belum siap melangkah bersamanya. Sepuluh tahun telah berlalu menjadi sebuah kenangan. Kenangan indah yang perlahan merangkak menjadi sebuah kenyataan kelam yang dengan kejam merenggut kebahagiaannya. Kenyataan yang selalu ingin ia lupakan, namun telah melekat dan—bahkan—terpahat rapi di ulu hatinya. Sedikit demi sedikit Azka mulai mengerti apa yang sedari tadi berlalu lalang di hati dan pikirannya. Rasa itu, rasa yang seringkali muncul menghantuinya. Rasa yang mudah untuk hadir dan menjalar namun sulit untuk pergi dan menghilang. Rasa yang tak lain adalah rindu. Rindu akan kebahagiaan di masa lampau yang pernah memihak padanya. Azka menahan napasnya sejenak sebelum akhirnya dihembuskan dengan gusar. Beberapa pertanyaan melayang dalam pikirannya saat ini. ‘Sedang apa ayah sekarang? Apakah ayah baik-baik saja? Dan apakah ayah merindukanku?’ Azka memandangi langit berwarna pekat tanpa gemintang. Berharap langit seketika mengubah wujudnya menjadi sebuah cermin raksasa, yang bisa memantulkan bayangan seseorang yang amat dirindukannya saat ini. Namun sayangnya itu hanyalah sebuah angan. Bahkan ia tak yakin jika seseorang yang sedang ia rindukan juga sedang dideru perasaan yang sama dengannya—perasaan rindu. Tiba-tiba, berbagai macam siluet silih berganti muncul di dalam pikirannya. Seperti sebuah slide-show yang menampilkan satu per satu gambar dalam sebuah file komputer. Siluet masa lampau, sepuluh tahun lalu. Ketika takdir kelam datang secara tiba-tiba dan merenggut kebahagiannya secara paksa—tanpa meminta izin. *** Seorang anak lelaki masih asik berkutat di alam mimpinya sampai sebuah suara nyaring memekik telinganya, membuat sepasang mata mungilnya perlahan membuka, memperlihatkan bola mata cokelat yang teduh. Bocah lelaki itu bangkit dari tempat tidurnya, mengusap kedua matanya seraya menguap lebar. Baru beberapa langkah kaki kecilnya melaju keluar kamar, bocah itu menghentikan ayunan kakinya, memutuskan untuk bersembunyi di balik tembok yang tepat memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga. Ia menemukan pemandangan tidak mengenakkan; ibunya menangis di ambang pintu, dengan lengan yang menggenggam sebuah kertas. Wanita itu menatap punggung seorang pria yang nampaknya baru saja pergi dan membanting pintu gerbang rumahnya dengan penuh emosi. “Azka,” terdengar suara lembut seorang perempuan seraya menarik lengan bocah lelaki yang masih terpaku di balik tembok secara perlahan. Perempuan cantik yang beberapa tahun lebih dewasa dari Azka itu membawa Azka ke halaman belakang rumah mereka. Azka—bocah lelaki itu—hanya membisu dan mengikuti langkah kakaknya, tidak berontak atau sekedar protes. Sesampainya di halaman belakang, mereka duduk berdampingan di depan sebuah kolam ikan yang tenang. Hanya keheningan yang menyelimuti sepasang kakak beradik itu. Perempuan itu menoleh sekilas ke arah adiknya sembari mengukir sebuah senyum samar yang terlihat sedikit dipaksakan. Jelas saja perempuan yang lebih dewasa dari Azka ini lebih merasakan pedih yang bahkan Azka pun sudah bisa merasakannya. “Apa yang terjadi dengan ibu dan ayah, kak?” Akhirnya mulut Azka terbuka, melontarkan pertanyaan yang telah memaksa untuk segera dilontarkan. Rasa penasaran bocah lelaki itu nampaknya terlalu kuat untuk dipendam. Perempuan yang ditanyai hanya menggelengkan kepalanya—berpura-pura tidak tahu—tanpa berkata sepatah kata pun. “Kak Luna pasti tahu!” Azka terus mendesak kakaknya. Lagi-lagi, senyum samar ditunjukkan perempuan cantik bernama Luna itu. “Ibu dan ayah,” Luna menahan napasnya sejenak, masih mempertimbangkan perkataan selanjutnya. Luna hanya merasa khawatir terhadap Azka yang sedang dalam masa pertumbuhan, di usianya yang keenam tahun. “Bercerai. Ya, ibu dan ayah sudah bercerai, Azka. Kertas yang ibu pegang tadi, adalah surat perceraian. Suatu hari nanti Azka pasti mengerti,” akhirnya perkataan itu terlontar dari mulut Luna—meski dengan susah payah. Luna berpikir bahwa Azka pasti masih belum mengerti dan memahami arti kata ‘perceraian’. Luna mengacak-acak rambut Azka kemudian mengusapnya dengan lembut. Azka memilih untuk bungkam, diam seribu bahasa. Bocah lelaki itu nampak kehabisan kata-kata. Ada hal yang mengganjal hatinya saat ini. Azka merasa bahwa ia telah mengerti. Mengerti akan apa yang dikatakan kakaknya baru saja. “Kita akan tinggal dengan ibu mulai sekarang,” lanjut Luna, membuat Azka semakin yakin bahwa ia mengerti apa yang sedang terjadi pada ibu dan ayah, keluarga kecilnya. Azka sedikit banyak mengerti bahwa ayahnya pergi, bukan sekedar satu atau dua minggu—seperti dalam urusan pekerjaan, melainkan pergi untuk tidak tinggal bersama ibu, ia dan kakaknya lagi. Azka mengerti bahwa kedua orangtuanya benar-benar telah berpisah—tidak untuk bersama lagi. Dan Azka mengerti bahwa setelah ini, ia tidak bisa merasakan peluk hangat dan kasih sayang ayahnya lagi. Diusia Azka yang menginjak tahun keenam, orangtuanya bercerai. Ayah yang amat disayanginya, pergi meninggalkan dirinya, menyisakan goresan luka dan kenangan yang mendalam. Ia melihat ibunya, wanita berhati malaikat yang selalu mampu menentramkan hatinya dengan sebuah pelukan, menangis dengan segala pilu. Dan Azka mengerti keadaan yang sedang terjadi, diusianya yang keenam. ‘Azka mengerti, kak..’ gumam Azka dalam hati seraya menatap lurus ke depan. Semburat rasa nyeri terasa begitu kejam menghujam ulu hati sepasang kakak beradik yang malang itu ***. “Azka, Luna, anak-anak ibu yang pintar, maafkan ibu, nak. Maaf jika ibu telah membuat kalian merasakan hal yang seharusnya tidak kalian rasakan. Percayalah, nak, tidak ada seorangpun yang menginginkan hal seperti ini. Namun, garis hidup manusia telah ditentukan oleh Sang Pencipta, kan?” Wanita paruh baya dengan mata tegas namun meneduhkan itu merangkul kedua anaknya dengan penuh kasih sayang. Wanita itu memberi sedikit penjelasan kepada kedua anaknya. Ia telah memaksa hatinya untuk tegar—setidaknya di hadapan anak-anaknya. Bagaimanapun juga, ia akan menjadi satu-satunya panutan bagi kedua anaknya. Ia tidak boleh terlihat lemah, meski pada kenyataannya, hatinya rapuh tergores luka dan pilu, menggerogoti asa yang sedikit banyak masih tersisa. “Tapi bukankah ibu dan ayah saling mencintai? Kenapa harus berpisah?” Tanya Luna seraya menatap sepasang bola mata ibunya. Wanita paruh baya itu terdiam, sepersekian detik kemudian, kedua sudut bibirnya tertarik untuk mengukir senyum paling tulus. “Ketahuilah, nak. Cinta dan kebersamaan itu bukanlah hal yang ditakdirkan untuk selalu bersatu. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, kebersamaan tanpa didasari cinta. Kedua, cinta tanpa diikuti kebersamaan. Tentu lebih baik kemungkinan kedua, bukan? Meskipun tidak bersama, akan tetap cinta namanya, tidak berubah apalagi berkurang, jika itu memang berasal dari hati kita yang terdalam.” Sepasang kakak beradik itu kemudian memeluk ibunya dengan erat—seakan tak mau kehilangan, meredam segala nyeri dan sesak yang terus menghujami hati mereka tanpa ampun. Setitik cairan bening berhasil lolos dari kelopak mata wanita paruh baya itu. Air mata haru dan pilu bercampur menjadi satu. Peluk hangat kedua anaknya sedikit demi sedikit bisa meringankan beban yang sedang dipikulnya. ‘Azka, Luna, jadilah anak-anak yang kuat dan cerdas. Yang selalu bisa menghadapi masalah dengan penuh harapan dan kekuatan. Jangan pernah menjadi lemah. Ibu percaya pada kalian, ibu mencintai kalian, malaikat-malaikat kecil tempat ibu menumpu asa..’ *** Mentari telah menampakkan wujudnya secara utuh di atas sana, mengedarkan berkas-berkas cahayanya ke permukaan bumi, menemani setiap makhluk hidup yang lamat-lamat memulai aktifitasnya. Hamparan langit biru muda terlihat sempurna, tanpa awan yang seringkali menemaninya. Di hari yang cerah ini, Azka akan melihat dan menjadi saksi atas sebuah acara sakral. Hari ini mungkin adalah hari dimana Azka kecil harus kembali bangkit menyongsong masa depan. Hari ini mungkin adalah hari pembaharuan hidupnya—menjadi lebih baik tentunya. Hari ini adalah hari pernikahan ibunya, dengan sosok pengganti ayahnya. Azka memperhatikan satu persatu sanak saudaranya yang tengah sibuk kesana kemari—mempersiapkan hal-hal yang diperlukan. Sementara Azka hanya duduk dan berdiam diri, tidak tahu harus berbuat apa. Semua terlihat rapi dengan busana yang mereka kenakan, tak terkecuali ia dan kakaknya—Luna. “Azka,” suara perempuan lembut itu terdengar di telinga Azka, membuatnya sontak menoleh. “Iya kak Luna?” “Acaranya segera mulai, ayo kita kesana,” Luna menunjuk ke sebuah ruangan yang telah diisi banyak orang. Azka bangkit seraya meneguhkan hatinya. Meyakinkan dirinya agar menerima sosok baru itu. Sosok yang akan menggantikan ayahnya, yang dulu—dan sampai saat ini—sangat ia sayangi. Luna menatap wajah adik lelakinya, kemudian tersenyum seolah-olah berkata, ‘ini bukanlah hal yang sulit’. *** Waktu berangsur maju, meninggalkan orang-orang tanpa asa yang hanya ingin meratapi nasibnya di masa lampau—sehingga orang-orang itu hanya terseret dengan gontai. Keadaan telah berubah, begitu pula dengan Azka dan orang-orang di sekelilingnya. Hanya satu yang nampaknya masih belum berubah, yaitu ayah kandungnya—masih dengan egonya yang menjulang. Azka kecil tumbuh menjadi remaja. Menjadi sesosok lelaki yang bahkan kini telah mengenal cinta terhadap lawan jenis. Ia tumbuh menjadi sosok lelaki yang cerdas dan mandiri, tak heran jika ia mempunyai banyak teman. Hidupnya kini terasa nyaris sempurna. Ia bisa memiliki apapun yang diinginkannya dengan mudah—tanpa harus bersusah payah. Satu hal yang belum bisa ia miliki seutuhnya saat ini, yaitu kebahagiaan. Ibu dan ayah barunya terkadang terlalu larut dengan urusan mereka masing-masing sehingga ia kurang mendapat perhatian. Andai satu hal itu bisa ia dapatkan, maka hidupnya akan benar-benar terasa sempurna. Namun semua itu tidak pernah membuat Azka jatuh dan terpuruk. Azka hanya menikmatinya, menikmati garis hidup dari Sang Pencipta yang telah ditetapkan untuk menjadikannya lebih mandiri. Azka tumbuh dengan jalannya sendiri. Ia terus belajar dan mengambil hikmah dari setiap derap langkahnya. Karena ia selalu mengingat perkataan kakaknya. “Broken home itu bukan awal dari kehancuran, melainkan awal dari terbukanya jalan kemandirian buat kita. Kita tidak boleh berontak akan keadaan, dengan merubah diri kita menjadi sosok kriminal misalnya, tidak ada manfaatnya sedikitpun. Kita hidup untuk masa depan, bukan masa lalu. Jadi, lebih baik belajar dan berprestasi, kan? Kelak masa depan akan dengan sendirinya membuka pintu lebar-lebar untuk kita.” Ya, tentu Azka kecil bisa memahami makna dari setiap kalimat berbobot yang disampaikan kakaknya. Dari situlah Azka, seorang anak korban ‘broken home’, bangkit dan belajar untuk memahami makna kehidupan. Mencoba memilah mana hal-hal yang tidak bermanfaat dan mana hal-hal yang bisa mengantarkannya menuju masa depan yang cerah. Azka berbeda dari anak-anak broken home lainnya yang kebanyakan memilih untuk melanjutkan kehidupan dengan kesenangan yang bersifat sementara namun berakibat fatal berkepanjangan. Azka memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan kerja keras, agar ia bisa bermanfaat bagi dirinya sendiri—maupun oranglain nantinya, daripada menyia-nyiakan hidupnya. Kini, Azka genap berusia enam belas tahun, duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama yang hanya tinggal beberapa bulan lagi. Ia akan melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi, menjadi lelaki yang lebih dewasa. Segalanya telah ia persiapkan dengan matang. Persiapan masuk ke sekolah impiannya, juga persiapan menghadapi kehidupan yang tentu akan lebih berat dan berliku. Masa lampau telah mengajarkannya banyak hal. Mulai dari bersabar menghadapi keadaan, melepaskan kepergian sosok yang amat disayangi, berjuang untuk mengimbangi sang waktu, dan belajar untuk melupakan hal-hal pahit yang tak patut diingat. Hidupnya penuh dengan makna-makna penting dan ia tak pernah sungkan untuk mempelajarinya. Azka, seorang anak dari keluarga broken home. *** *) Penulis adalah pelajar kelas X SMA Negeri 2 Kota Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: