Puisi dan Urgensinya pada Dunia Pendidikan
oleh: Deny Pradana Putra KEKERASAN dalam dunia pendidikan yang masih merajalela adalah representasi dekadensi moral generasi muda bangsa yang merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Alternatif untuk mengatasi, paling tidak mengurangi masalah dekadensi moral yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Berkenaan dengan pentingnya proses pendidikan, menurut Rosenbalt “...dalam proses pendidikan dan pematangan, adalah keharusan pengembangan kapasitas seorang agar pada tingkat pencapaian nilai yang penuh pertimbangan.’’ Selain pendidikan, sastra yang menjadi salah satu sub dalam proses pengajaran memungkinkan untuk mengatasi persoalan dekadensi tersebut. Karena, hakikat pengajaran sastra ialah memperkenalkan kepada siswa akan nilai-nilai yang dikandung karya sastra dan mengajak siswa ikut menghayati pengalaman-pengalaman yang disajikan itu. Dan juga, pada pembelajaran apresiasi puisi melibatkan tiga unsur inti, yakni (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, dan (3) aspek evaliatif. Berdasarkan pendapat tersebut, pembelajaran apresiasi puisi di sekolah dapat membantu keterampilan berbahasa, berbudaya siswa, dan watak siswa yang sesuai dengan budaya adiluhung bangsa. Sebab, puisi senantiasa menawarkan nilai moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Dikatakan Endaswara, ‘’...puisi dan nilai moral selalu berjalan seiring. Puisi adalah sumber ajaran moral yang paling tinggi’’. Selain itu, puisi juga dapat menjadi (1) penyelaras hidup, ketika harmoni kehidupan semakin sulit dicapai, (2) penawar kehidupan, ketika fakta kehidupan semakin keruh oleh nafsu bejat manusia, (3) perekat kehidupan, ketika hidup ini sudah semakin retak dan jauh dari nilai-nilai kebersamaan. Dengan demikian, nilai moral dalam teks puisi adalah hikmah yang diperoleh pembaca karena teks puisi senantiasa menawarkan nilai moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan dan memperjuangkan hak serta martabat manusia. Untuk kepentingan pendidikan, tujuan pengajaran puisi tentulah merupakan bagian dari tujuan pendidikan keseluruhannya karena proses belajar dan mengajarkan puisi merupakan bagian dari proses pendidikan. Namun, yang harus digarisbawahi oleh guru-guru sekalian adalah tidak kemudian teks puisi semuanya dapat dijadikan materi ajar. Berkenaan pemilihan teks puisi yang akan dijadikan sebagai materi ajar, tentu teks puisi sebaiknya dianalisis dan diklasifikasikan untuk menemukan nilai-nilai moral yang sesuai dengan psikologi siswa dan kebutuhan siswa. Selain itu, dalam memilih puisi sebagai bahan ajar di sekolah, guru bisa menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan berbasis sastra dan pendekatan berbasis kurikulum. Dalam memilih materi ajar puisi dengan menggunakan pendekatan berbasis sastra, ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan, yakni bahasa, kematangan jiwa, dan latar belakang budaya siswa. Dalam hal pemilihan teks puisi yang akan dijadikan materi ajar, beberapa guru Bahasa Indonesia lebih masih memilih jalan pintas—praktis, yaitu dengan mengambil teks puisi dari sebuah buku teks atau internet (google) tanpa terlebih dahulu mengkaji dan disesuaikan dengan dua pendekatan tersebut. Kenapa ini perlu, karena aspek kematangan jiwa siswa perlu dipertimbangkan betul ketika seorang guru menentukan teks puisi yang hendak dijadikan sebagai bahan ajar. Ini akan berkaitan dengan sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan siswa didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan jiwa juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan masalah yang dihadapi. Yang tidak kalah penting, puisi yang hendak dipilih sebagai bahan ajar juga perlu mempertimbangkan latar belakang budaya siswa. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pengaburan tafsir teks puisi dan penggambaran suasana teks di luar batas jangkauan imajinasi siswa. Saya berkeyakinan bahwa Sastra lebih bersentuhan dengan ranah batin dan wilayah kerohanian. Nilai-nilai kesalehan hidup yang terbangun melalui proses apresiasi puisi berlangsung melalui tahap internalisasi, pengkraban nilai-nilai, persentuhan dengan akar-akar kemuliaan dan keluhuran budi, serta pergulatan tafsir hidup yang akan terus berlangsung dalam siklus kehidupan pembacanya (siswa). Proses apresiasi puisi semacam itu akan menghasilkan “kristal-kristal” kemanusiaan yang akan memfosil dalam khazanah batin pembaca (siswa) sehingga menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya. Dan tentunya, agar semuanya itu tercapai, teks puisi dan konteksnya pada dunia pendidikan sebagai materi ajar harus disesuaikan dengan beberapa pendekatan, yang sangat urgen adalah disesuaikannya teks puisi dengan kurikulum. Contohnya, dengan cara melakukan analisis standar kompetensi dan kompetensi dasar yang terdapat dalam standar isi kurikulum. Ini artinya, teks puisi yang dipilih hendaknya benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Maka, masihkah kita berdalih untuk menyingkirkan sastra dari dunia pendidikan ketika nilai-nilai kesalehan hidup gagal merasuk ke dalam gendang nurani siswa lewat khotbah dan ajaran-ajaran moral. Jika masih juga belum yakin, segeralah bertobat. *) Penulis adalah mantan mahasiswa tinggal di Rumah Kertas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: