Membumikan Kembali Bahasa Cirebon

Membumikan Kembali Bahasa Cirebon

ADA hal yang menarik dalam perayaan malam tahun baru 2015 di Kota Cirebon yang berpusat di komplek Gua Sunyaragi Kota Cirebon beberapa waktu lalu. Sesuatu hal yang kontras (tidak biasa), namun perlu diapresiasi oleh segenap masyarakat Cirebon di tengah hingar bingar suara terompet yang bersautan, dan letusan kembang api yang terpadu dalam rancak alunan suara gamelan, yang mengiringi serangkaian sendratari daerah Cirebon menyambut detik-detik pergantian tahun masehi tersebut. Hal yang kontras tersebut adalah dalam sambutan Sultan Kasepuhan Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat yang mewacanakan gerakan “Aja Isin Ngomong Bebasan”. Suatu wacana yang menunjukan imbauan pelestarian bahasa seni dan budaya Cirebon yang disuarakan di tengah ribuan hadirin yang sebagian besarnya didominasi kalangan muda. Seruan itu sebagai wujud keprihatinan sang sultan akan nasib bahasa, seni dan budaya daerah Cirebon yang merupakan perwujudan jati diri masyarakat Cirebon yang kini semakin termarjinalkan. Dengan harapan membuka hati dan kesadaran masyarakat Cirebon agar bangga mengunakan bahasa Cirebon sebagai bahasa sehari-hari. PERAN PEMERINTAH DALAM PELESTARIAN BAHASA Pemerintah sadar betul bahwa ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia, kian terancam punah. Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 746 bahasa daerah. Namun yang berhasil dipetakan oleh Balai Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada 594 bahasa daerah. kebanyakan bahasa daerah yang punah dan tidak berhasil dipetakan berada di luar pulau Jawa. Yang menjadi salah satu penyebab punahnya bahasa daerah adalah karena tidak ada penuturnya (pemakinya) lagi, karena bahasa daerah hanya dikuasai oleh para orang tua, sedangkan generasi mudanya (anak cucunya) cenderung menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing seiring dengan semakin moderennya kehidupan. Upaya pemerintah dalam pelestarian bahasa daerah sebagai warisan budaya bangsa, telah diupayakan secara serius yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara yang di dalamnya mengatur pentingnya perlindungan, pelestarian dan pembinaan bahasa daerah. Dalam undang-undang tersebut mendefinisikan bahwa bahasa daerah merupakan bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang artinya bahasa daerah merupakan jati diri masyarakat suatu daerah yang perlu dilestarikan. Dalam sistem ketatanegaraan otonomi daerah saat ini, pelestarian bahasa daerah tidak hanya bertumpu pada peran dan tanggung jawab pemerintah pusat. Pemerintah daerah juga harus memiliki andil yang sangat besar dalam upaya pelestariaan bahasa daerah, sebagai penjabaran atas regulasi Undang Undang Republik Indonesia No 24 Tahun 2009 yang dituangkan dalam peraturan daerah (Perda) sebagai perwujudan apresiasi pemerintah daerah dalam pelestarian bahasa daerah. Untuk selanjutnya perda tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman dan landasan hukum untuk melakukan upaya pembinanaan dan pengembangan bahasa daerah. UPAYA PELESTARIAN BAHASA CIREBON Jika sebelumya pemerintah daerah provinsi Jawa Barat lebih memfokuskan diri dalam pelestarian bahasa sunda melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda Perda ini sekaligus menjadi payung hukum untuk pelestarian kebudayaan tradisional. Dengan adanya perda ini, maka semua instansi diwajibkan memakai bahasa Sunda di semua wilayah Provinsi Jawa Barat terutama di lingkungan sekolah, yaitu di SD dan SMP karena disana terdapat mata pelajaran Bahasa Sunda. Selain itu, seluruh instansi pemerintah pada hari Rabu wajib untuk menggunakan bahasa Sunda. Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah Provinsi Jawa Barat tampaknya menyadari bahwa di wilayahnya memiliki dua bahasa daerah lain yang belum dikembangkan secara optimal yaitu bahasa daerah Cirebon dan bahasa daerah Melayu dengan dialek Betawi. Dengan didasarkan atas keprihatinan kelestarian bahasa daerah Cirebon yang mulai terkikis oleh pengaruh globalisasi, serta kecenderungan penurunan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan pergaulan dan keluarga yang semakin sering dijumpai, maka pemerintah provinsi Jawa barat merevisi Perda No 6 tahun 1996 digantikan dengan perda nomor 5 tahun 2003. Dalam perda tersebut provinsi Jawa Barat mengakui adanya tiga suku asli di Jawa Barat yaitu Suku Sunda yang berbahasa Sunda, suku Cirebon yang berbahasa Cirebon dan suku Betawi yang berbahasa Melayu dialek Betawi yang ketiga-tiganya perlu untuk dipelihara dan dilestarikan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerahnya. Dengan adanya perda ini, maka pembelajaran bahasa Cirebon menjadi muatan lokal wajib yang diajarkan dari tingkat TK sampai dengan SMA sesuai dengan rambu-rambu kurikulum yang telah dibuat. Selain itu, Hampir tiap tahun pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui DISBUDPAR Prov Jabar menyelanggarakan workshop bahasa dan sastra Cirebon yang sasarannya adalah generasi muda sewilayah tiga Cirebon. even-even lomba yang berkaitan dengan pelestarian bahasa daerah pun sering diselenggarakan oleh Disbudpar prov. Jabar meskipun peminatnya masih terbatas yang disebabkan oleh kurang tersebarluasnya informasi. Upaya pengembangan dan pelestarian bahasa Cirebon tampaknya tidak akan berjalan mulus apa bila tidak didukung oleh semua pihak, termasuk didalamnya oleh pemerintah daerah tingkat II (kabupaten/ kota) yang sampai saat ini belum memberikan kontribusi yang berarti dalam upaya pelestarian bahasa daerah. Dibuktikan dengan belum adanya Peraturan Daerah (Perda) sebagai produk yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang barkaitan dengan upaya pelestarian bahasa daerah Cirebon, padahal perda tersebut sangat dibutuhkan sebagai dasar hukum atas pelestarian budaya dan bahasa tradisional Cirebon. Disadari atau tidak, masih banyak hal yang perlu dibenahi dalam upaya membumikan kembali bahasa Cirebon di tanah kelahirannya salah satu di antaranya adalah masih belum tumbuhnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk melestarikan bahasa Cirebon dalam lingkungan yang terkecil (keluarga). Masih belum tersedianya tenaga pengajar bahasa Cirebon di sekolah yang mahir, terdidik, dan terlatih sesuai dengan bidangnya, masih rendahnya apresiasi pemerintah daerah terhadap sastrawan dan budayawan yang memiliki kemampuan, keahlian, dan wawasan yang lebih dalam bahasa dan sastra Cirebon, masih sedikitnya sumber bacaan dan referensi yang menggunakan bahasa Cirebon. Masih terbatasnya sumber informasi baik cetak ataupun visual yang menyuguhkan penggunaan bahasa Cirebon yang baik dan benar menurut ketatabahasaannya, sehingga enak untuk dibaca dan didengarkan. Serta masih banyak orang Cirebon yang mengganggap bahasanya kampungan, sehingga malu untuk mengunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Ayo sedulur sebatur aja pada isin ngomong bebasan…Lamun dudu kita, sapa maning? Lamonan bli kien kapan maning? (*) *Penulis adalah Pendidik MTsN 2 Losari Kabupaten Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: