Belajar dari Che Guevara

Belajar dari Che Guevara

Oleh : Bakhrul Amal   Pada tanggal ini, 13-14 Januari, tepatnya di tahun 1539, Spanyol dikatakan berhasil me-aneksasi Kuba. Baru pada perang dunia II, Kuba merdeka secara utuh. Kita kenang rangkaian tragedi itu dengan mengingat kembali, sosok pejuang paling berpengaruh dan modis yang mewakafkan hidupnya untuk Kuba, Che Guevara. Kemerdekaan Kuba, dasar daripada alasnya adalah apa yang disebut dengan sosialis radikal (baca: komunis).“Sosialis radikal tidak memiliki arti yang sama dengan persahabatan Anda,” kata Che Guevara. Akan tetapi, Dia kemudian melanjutkan, “tetapi.....sekuat atau bahkan lebih kuat daripada Anda.” Che sejenak terdiam, perlahan dia berujar kembali, “Saya melihat cukup jelas .....di antara pembantaian Guatemala. Sosialis radikal adalah yang memelihara iman dan satu-satunya kelompok yang bertahan hidup disana.” Dalam surat yang Che Guevara tuliskan kepada ibunya, cukup jelas menceritakan bahwasanya, dia adalah pendukung setia sosialis radikal. Tulisan yang hendak disajikan kepada pembaca bukanlah tulisan perihal jalan ideologis seorang Bikers (panggilan akrab Che Guevara yang menyukai motor besar). Akan tetapi, tulisan yang akan dibaca sampai akhir adalah menyoal bagaimana sang agitator ulung asal Kuba itu memulai, menjalani dan mengakhiri hidupnya untuk terus setia mengobarkan semangat sosialis radikal.   BAGAIMANA CHE MEMULAI? Suatu saat, Armando Maret, yang mana dia adalah seorang teman kuliah Che Guevara, bercerita. Che, dikatakan olehnya, pernah menyulap ruang pribadinya menjadi sebuah laboratorium untuk kelinci percobaan. Pada waktu itu, Che hendak membantu Maret menemukan obat kanker yang telah menulari ibunya. Daniel James, sejarawan ternama mengungkapkan, bahwa kanker yang dialami ibu Che itu cukup memukul kehidupan sang revolusioner. Hal itu pulalah yang kemudian membuat ‘bapak kaum papa’ (julukan untuk Che Guevara) mengambil kuliah di bidang medis. Seperti Gramsci yang mendayu-dayu menuliskan cerita kehidupan ibu-nya dari dalam tahanan, Che pun tak mau ketinggalan. Dari penyakit yang didera ibunya itu, Dia berikrar dan menjuluki dirinya sendiri dengan “child of (his) environment”. Percaya tidak percaya, hal sederhana itu kemudian menyulap kehidupan Che. Secara perlahan, Che mulai aware terhadap keadaan sekitar. Dari cita-cita mengubah kehidupan kumuh rakyat Argentina, pembebasan Kuba dan Bolivia, Che sampai pada harapan untuk dapat menghiasi dunia serta menciptakan keadaan yang adil dalam kehidupan kemanusiaan. Pertautan cerita yang begitu sistematis di atas, setidaknya (juga) membuat kita sadar, bahwa yang heroik itu terkadang dimulai dari hal yang sederhana. Che yang sering digambarkan dingin dan kejam, nyatanya, Che sangat peduli dan simpatik terhadap orang lain. Artinya, pencatatan menggebu-gebu daripada sejarah bisa juga kita geser melalui pendekatan cerita yang romantis. (Baca: Heyden White soal penulisan sejarah Emplotment, Argument, Ideology and Poetic Structure)   INTELEKTUAL YANG MILITER Berlanjut. Waktu itu hujan turun cukup deras. Lereng salah satu gunung di Kuba penuh embun dan dedaunan pun basah karenanya. Dalam suasana yang teramat dingin itu, tiga orang berpakaian tentara lengkap dengan senjatanya berdiri saling berdekatan. “Sedang apa kalian disini?” sapa Che Guevara. “Kami berteduh dan bersiap menyerang Amerika!!” salah seorang menjawab lantang. “Diantara kalian, adakah yang membaca buku?” Che kembali bertanya. “Tidak, untuk perang, kami rasa tidak perlu buku, bukan?” orang yang sama meladeni pertanyaan itu. Che geram dan mukanya seketika memerah, Dia kemudian berkata “Yasudah lebih kalian pulang!!”. Che bukanlah seorang yang pragmatis. Dia sama sekali tidak mengejar sesuatu berdasarkan untung dan rugi semata. Che juga bukan tipikal manusia yang egois. Dia jauh dari sikap menguntungkan diri dan menihilkan lainnya demi hasrat pribadinya. Lebih tepat, bila kita menyebut Che sebagai seorang yang bergerak secara klandestin atau secara rahasia dan diam-diam. Kaitannya dengan buku. Che merasa perlu mendidik para pejuang dengan pemikiran yang benar. Seorang pejuang tentunya tidak ingin meninggalkan legacy sebatas menomen kemenangan, tetapi juga, seorang pejuang ingin apa yang diraihnya itu bertahan lama. Tanpa buku, perjuangan bersenjata hanya menghasilkan kudeta minus perubahan sistem yang baru; yang lebih maju seperti sebelumnya. Karena melalui bukulah, menurut Che, ide revolusi dan kontrarevolusi itu dapat kita konsumsi dan susun menjadi bangunan cita-cita yang megah. Ide Che sendiri sebenarnya cukuplah sederhana. Che, seperti dikutip dalam deklarasi terakhirnya di majalah Tricontinental, berkeinginan untuk melihat pejuang dan pemimpin yang tumbuh dari alamnya sendiri. Pejuang dan pemimpin itu kemudian membebaskan wilayahnya sendiri dari kejahiliyahan penjajahan. Mereka harus mampu membuat musuh (U.S.A) sadar bahwa paksaannya itu kadang tidak kontekstual apalagi aktual. Ya, Che ingin minimalnya semua orang bisa seperti dirinya, yang berawal dari: ingin menyembuhkan ibunya, membenahi negara dan berusaha untuk meluruskan tujuan hidup dunia (Internasionalism). MENGAKHIRI DENGAN KEBANGGAN Ada tiga pelajaran mendasar dari Revolusi Kuba melawan Amerika, kata Che Guevara, yaitu (1) kekuatan populer dapat memenangkan perang melawan tentara; (2) Tidak perlu menunggu sampai semua kondisi sesuai keinginan Anda untuk membuat revolusi itu ada, (karena) pemberontakan dapat menciptakan mereka; (3) Dalam kurun waktu belakangan, untuk melawan Amerika, pedesaan adalah daerah dasar untuk pertempuran bersenjata. Tiga hal itu seperti sebuah keyakinan yang menemukan peristiwanya (Alain Badiou : Being and Event). Keberhasilannya membebaskan Kuba dari belenggu imperialisme, membikin Che pada akhirnya membawa semangat itu juga ke Bolivia. Namun nahas, belum selesai kejadian yang diimpikannya (Bolivia merdeka 100%), Che lebih dahulu tewas pada 9 Oktober 1967, di  La Higuera, Bolivia. Operasi CIA itu membuatnya (Che Guevara) tidak lagi berteriak. Baginya, yang pasti, “seorang revolusioner haruslah dituntun dengan cinta yang teramat besar.” Menanggapi akhir kematiannya, Che pernah menulis suatu surat kepada orang tuanya ketika dia ditangkap dan dipenjara di Meksiko, “Saya adalah bagian dari saat ini maupun masa depan Kuba. Hal itu membuat saya tidak lagi frustasi memikirkan kematian.” Dan surat tersebut dia tutup dengan puisi karya Hikmet. “yang kuambil dari turun ke bawah kuburan hanyalah kesedihan dari sebuah lagu yang belum selesai”. PENUTUP Apa yang menjadi pesan cerita di atas, sebenarnya dapat dirangkum dalam satu pepatah Jawa. Dalam pepatah Jawa disebutkan ‘tekun, teken, tekan’. Tekun adalah keseriusan Che dalam merawat dan menyiram benih cita-citanya. Dengan ketekunan itu, Che mendapat teken atau alat untuk berjuang, yaitu kekuatan tentara dan sistem atau ideologi. Pada akhirnya ketekunan yang berbuah teken itu membawa Che tekan, yang berarti sampai pada tujuannya : 1. Menjadi dokter 2. Mengubah kehidupan sosial sekitar Amerika Latin, utamanya Kuba 3. Sukses memberikan inspirasi untuk pesan perdamaian dunia. (*)   *) Penulis adalah peneliti di Satjipto Rahardjo Institute dan Pendiri komunitas diskursus DIALOG Cirebon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: