Mega Mendung sebagai Folklor

Mega Mendung sebagai Folklor

Oleh : Indra Yusuf      Baru-baru ini di media sosial para netizen ramai membicarakan batik Mega Mendung yang telah dikalim Turki. Hal itu berawal dari  ketika musisi Katon Bagaskara melalui twitter-nya @katonbagaskara meng-capture sebuah postingan dari Ingrid, pengguna media sosial yang isinya sebuah kesedihan, melihat Batik Mega Mendung bertuliskan “Turki Limited Edition” di Butik Mark Spencer Champ élyées Paris (radarcirebon.com). Tentu saja hal itu mengundang kecaman dari para pengguna media sosial lainnya yang melalui akun facebook, twitter, dan Path. Ajakan untuk mencintai dan melestarikan batik dari masyarakat makin gencar. Tidak itu saja, masyarakat pun memberikan dukungan terhadap pemerintah untuk melaporkan hal tersebut. Selama ini yang kita tahu bahwa motif mega mendung adalah sebuah mahakarya (masterpiece) yang hanya ada di Cirebon. Tepatnya berasal dari suatu daerah yang merupakan sentra batik terbesar di Jawa Barat, yakni Desa Trusmi. Desa teresebut terletak di Kecamatan Plered Kabupaten Cirebon yang sebagian besar masyarakatnya hidup dari membatik sejak ratusan tahun silam, baik sebagai perajin maupun pengusaha batik. Namun ternyata motif Batik Mega Mendung tidak dapat dihakpatenkan atau hak cipta. Karena motif Batik Mega Mendung tidak diketahui secara jelas melalui bukti mengenai siapa orang yang pertama kali menciptakan motif mega mendung. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, sebuah karya atau produk yang sudah tidak bisa diketahui siapa penciptanya, dikuasai oleh negara sebagai Folklor. Folklor sendiri memiliki makna sebagai sebuah bagian dari unsur-unsur kebudayaan masyarakat secara kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun baik dalam bentuk material maupun nonmaterial. Sehingga berdasarkan pasal 10 UU RI No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, bahwa negaralah yang memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Terlepas dari itu semua, konon motif mega mendung ini adalah ciptaan Pangeran Cakrabuana (1452-1479), yang merupakan salah satu tokoh pendiri Kota Cirebon. Di Desa ini juga terdapat juga makam Ki Gede Trusmi, yang merupakan tokoh penyebar Agama Islam sekaligus yang mengajarkan masyarakat tentang bagaimana membatik. Jika kita kaji lebih mendalam, ternyata motif batik Cirebonan, khususnya mega mendung merupakan hasil akulturasi antarbudaya China, Arab, Hindu dan Cirebon sendiri. Dalam sejarah dijelaskan bahwa Sunan Gunung Djati pernah menikahi seorang putri China bernama Ong Tien. Ternyata Ong Tien adalah seorang putri  yang menaruh perhatian khusus terhadap bidang seni, khususnya keramik. Sehingga beliau membawa banyak keramik dari negerinya. Kemudian salah seorang pengikut Sunan Gunung Djati yang bernama Ki Gede Trusmi mengenalkan Islam melalui cara-cara membatik. Ternyata motif-motif yang ada di keramik sangat memengaruhi sekali terhadap motif batik Cirebon. Motif batik yang terpengaruh budaya Cina tampak pada penggunaan simbol kebudayaan China, seperti burung hong (phoenix), liong (naga), kupu-kupu, kilin dan banji (swastika atau simbol kehidupan abadi). Sebenarnya batik Cirebon atau batik  Trusmi memiliki dua corak, yaitu keratonan dan pesisiran. Mega mendung merupakan corak yang termasuk batik pesisiran. Sementara beberapa motif batik Cirebon lainnya adalah singa wadas, paksi naga liman, ayam alas, taman sunyaragi, kilingan, patran keris, patran kangkung, gunung giwur, singa barong dan lain sebagainya. Motif mega mendung adalah perlambang pembawa hujan, yang dapat menyuburkan lahan pertanian. Karena motif ini berbentuk seperti awan yang menggumpal-gumpal. Motif ini didominasi warna biru dan merah tua yang melambangkan semakin cerahnya kehidupan. Warna-warna tersebut juga mengambarkan psikologi masyarakat pesisir yang lugas, terbuka, dan egaliter. Pesona batik Cirebon juga dapat terlihat pada nuansa klasik tradisional dan komposisi warnanya yang baik serta ramah lingkungan. Akhirnya kita sadari bahwa, batik sebagai salah satu warisan leluhur merupakan hasil karya seni yang memiliki nilai historis, budaya dan religiositas yang tinggi. Di dalamnya terkandung makna yang tak terpisahkan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang diwujudkan melalui beragam motif dan corak batik. Karena tiap daerah memiliki ciri, corak dan motif yang berbeda-beda. Demikian juga cara, proses pembuatan dan penggunaannya, yang tiap daerah memiliki kekhasan tersendiri. Misalnya saja motif batik dari Aceh ada bungong jeumpa, Riau ada awan larat dan tabir, Jawa Tengah ada jelaprang (Pekalongan), sida mukti, sida luhur (Solo), Jawa Barat ada mega mendung, (Cirebon), ada motif etong, kereta kencana (Paoman-Indramayu) dan lain-lain. Saat ini kita patut berbangga karena penggunaan kain batik sudah semakin luas dan telah mejadi tren bagi semua lapisan masyarakat. Kain batik tidak lagi identik dengan orang tua, busana resmi atau formal. Rasanya makin sering kita melihat batik dikenakan oleh orang muda dalam berbagai suasana, sekalipun dalam saat santai. Di layar televisi pun kita dapat dengan mudah menemukan orang yang mengenakan kain batik. Pembaca berita, presenter atau bahkan iklan sekalipun kini telah berani menampilkan kain batik sebagai salah satu propertinya. Kain batik telah benar-benar menjadi budaya nasional yang makin banyak digemari. Bahkan Bill Gates, pemilik perusahaan Microsoft pun pernah mengenakan batik sesaat sebelum tampil dalam acara Presidential Lecturer di Jakarta Convention Center beberapa waktu lalu. (*)     *) Penulis adalah Guru SMA Negeri 7 Cirebon, Korwil AGP-PGRI Jabar.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: