UNTUK AULIA, GADIS MAMA

UNTUK AULIA, GADIS MAMA

Oleh: Rahmaniah Akhirunnisa “Di gegap gempita sang malam aku termenung. Merindu dalam senyap yang bersahabat. Noktah-noktah bening bak kristal  telah mengalir, membasahi tebing pipiku. Aku merindukan sosok itu. Malaikat tanpa sayap yang sejak lama tiada di sisiku. Aku merindukanmu, Ibu. Langkah ini terasa amat berat tanpa kehadiranmu.” *** 22 Desember 2013 Seorang gadis berjilbab dengan setangkai mawar merah dalam jemarinya terus melangkah gontai seorang diri. Pandangan matanya terlihat kosong, hanya menatap lurus ke depan. Tak dipedulikannya orang-orang sekitar yang memandangnya sedikit keheranan. Gadis bernama lengkap Najwa Aulia dan kerap disapa Aulia ini masih terus memfokuskan pandangannya ke depan sampai sebuah suara memecahkan rasa keingin tahuannya. “Buka mulutnya, ada pesawat,” Ujar seorang wanita paruh baya tertangkap di telinga Aulia. Ia menghentikan langkahnya. Sedikit menoleh ke sebuah teras rumah berpenghuni. Aulia memperhatikan melalui ekor matanya. Terdapat sebuah keluarga kecil dengan dua orang anak kecil. Seorang wanita paruh baya yang sudah jelas adalah Ibu dari kedua orang anak tersebut menyuapi salah satunya dengan senyum yang terus mengembang. Sementara suaminya—bapak dari kedua anak tersebut—asik berbincang dengan satu yang lain. Sepasang suami isteri itu nampak membelai rambut kedua anaknya dengan penuh kasih sayang. Aulia tercekat. Langkahnya terasa semakin gontai. Bendungan air matanya terasa semakin mendesak untuk keluar. Aulia berusaha keras membendungnya sekuat tenaga. Kerinduan kembali menjalar ke seluruh tubuhnya dan kini mencapai klimaks. Ia jelas iri dengan kedua anak kecil tadi. Ia rindu saat-saat seperti itu. Ketika kasih sayang mama masih singgah bersamanya. Aulia melanjutkan langkah kakinya hingga sampailah ia di hadapan sebuah pusara. Pusara mamanya. Aulia berlutut kemudian meletakkan setangkai mawar merah di atas pusara mamanya. Tangisnya seketika pecah. Tangisan yang sedari tadi ia bending dengan susah payah. Aulia memejamkan matanya, mencoba menelan dengan susah payah rindu yang kian menjalar. “Selamat hari ibu, ma. Mama apa kabar? Semoga Allah selalu mendekap mama di surga, aamiin. Ma, Aulia kangen banget sama mama. Sekarang hari-hari Aulia berubah. Semakin keras, semakin menyedihkan. Apalagi sekarang, Ayah juga berubah. Ngga ada lagi yang mau jagain Aulia selain nenek dan kakek. Aulia kangen masa kecil dulu. Waktu mama, ayah, Aulia, dan Fajri—adik Aulia yang sudah meninggal—kumpul bareng-bareng. Aulia iri sama mereka yang masih dapet kasih sayang dari orangtua mereka, ma. Aulia juga mau dapetin itu lagi..” Aulia menghentikan perkataannya, menyeka air mata yang kini telah menganak sungai di pipinya. Siluet-siluet masa kecilnya kini berlalu lalang dalam pikirannya. Silih berganti muncul layak slide show sebuah foto. Seandainya Aulia bisa memutar balik sang waktu, ia akan kembali dimana ia masih bersama mamanya dan ikut bersama wanita tanpa sayap itu ketika harus pergi meninggalkan dunia. Namun sayangnya itu tidak mungkin. Kini Aulia hanya bisa menjalani kehidupan getirnya, meski rasanya terlalu keras untuk remaja seusianya. “Disaat yang temen-temen Aulia ngasih mama mereka kejutan, Aulia hanya bisa ngasih mama setangkai mawar merah ini buat mama. Walau sekarang ayah udah menikah dan punya anak dari ibu baru Aulia, tapi bagi Aulia mama satu-satunya dan ngga akan ada yang bisa gantiin posisi mama di hati Aulia. Aulia sayang mama.. Aulia ngga suka sama Ibu yang terlalu manjain Dzikri—adik tiri Aulia—padahal Dzikri laki-laki. Aulia lebih suka tinggal sama nenek dan kakek dibanding sama ayah dan ibu. Aulia malas liat adik tiri Aulia yang dikit-dikit nangis. Manja. Cengeng. Dan pasti Aulia yang disalahin kalo Dzikri nangis. Ngga adil!” Aulia terus bergumam, seolah dengan gumamannya itu ia berbincang sungguhan dengan mamanya. Ia yakin mama bisa mendengarnya karena kontak batin yang mereka miliki. Setelah itu Aulia memanjatkan doa untuk mama dan Fajri. Senja mulai singgah, mentari mulai kembali ke peraduannya dan beralih menyinari bagian bumi yang lain. Aulia bangkit seraya menghapus sisa-sisa airmata yang masih menggenang di tebing pipinya. *** 2 Juni 2006 Gadis kecil yang sedang asik menonton televisi menolehkan kepalanya mendengar knop pintu yang terbuka. Ia mendapati sosok ayahnya yang baru saja masuk dengan lemas dan wajah yang tanpa semangat. Gadis kecil itu segera menghampiri ayahnya. “Tumben pulang cepet hari ini, yah?” Ia mendongakkan kepalanya untuk bisa menatap wajah sang ayah. Pria itu menopang tubuh dengan salah satu lututnya. Menyejajarkan posisi tubuhnya dengan anaknya, kemudian memegang kedua pundak gadis kecilnya. “Aulia, kamu harus jadi gadis yang kuat, nak..” Suara pria yang biasanya berkata dengan tegas itu kini terdengar parau. Pria itu belum siap mengatakan sepucuk kenyataan yang harus diketahui gadis kecilnya ini. Ia belum siap melihat gadis kecilnya menangis. “Apa maksudnya, yah? Aulia ngga ngerti deh.. Terus ayah kenapa sedih? Ayah ada masalah?” gadis polos itu menatap kedua bola mata ayahnya yang sayu. Diusianya yang masih belia ini, ia sudah paham bola mata ayahnya yang sedang menyimpan kesedihan. “Aulia tau kan, ketika ayah kangen sama Aulia, ayah pengen cepet-cepet ketemu sama Aulia dan peluk Aulia. Allah sepertinya udah kangen banget sama Mama, sehingga Dia memutuskan untuk menjemput Mamamu……....pagi ini.” Sosok pria yang biasanya selalu tegas ini kini meluruh, seiring dengan mengalirnya butir-butir airmata dari kelopak matanya. Aulia yang masih sangat polos, tidak terlalu paham dengan apa yang dikatakan ayahnya. Satu hal yang bisa ia tangkap adalah; mamanya sudah bertemu dengan Allah, Sang Pencipta. “Aulia ngga ngerti, yah..” Gadis kecil itu menatap ayahnya keheranan. Terlebih melihat airmata yang terus mengalir dari kedua mata ayahnya. Pria itu segera memeluk anaknya. Mendekap dan membelai lembut gadis kecilnya. Kemudian ia bergumam, ‘Aulia, gadis kecil ayah.. Jangan pernah jadi gadis lemah. Kamu harus terus melangkah, meski tanpa mamamu. Selamat ulangtahun, Aulia..’ *** Kicau burung terdengar merdu saling bersahutan. Gemercik air mancur mengalun bak sebuah melodi. Nuansa alam yang indah terpampang di depan mata seorang gadis yang masih berdiri mematung dengan heran. ‘Tempat apa ini? Bagus banget..’ gumam Aulia kagum seraya mulai melangkahkan kakinya meski ragu. Aulia yakin ia baru pertama kali mengunjungi tempat ini. Tempat yang sangat asing dalam pandangannya. “Aulia..” Aulia menangkap sebuah suara lembut memanggil namanya. Suara itu jelas sangat tidak asing di telinganya. Ia jelas mengenali, bahkan hapal suara siapa itu. Seketika sekujur tubuhnya mematung, merasa tidak percaya jika itu benar-benar suara yang dikenalinya. “Mama,” lirih Aulia kemudian menoleh ke belakang. Ia tertegun ketika tahu siapa yang sedang dilihatnya. Mamanya. Sosok yang sudah sangat lama Aulia rindukan. Sosok itu terlihat begitu anggun dengan pakaian putih membalut tubuhnya. Sosok wanita itu tersenyum manis ke arah Aulia. Senyum lembut namun tegas yang selalu Aulia rindukan. Seketika tangis Aulia pecah dan segera berlari menghambur ke dalam pelukan sang mama. “Mama, Aulia kangen.” Ujar Aulia seraya terisak. Wanita itu membela lembut puncak kepala anaknya. Mengerti apa yang tengah melanda gadisnya saat ini. “Aulia mau bareng mama aja..” Aulia semakin mengeratkan pelukannya terhadap mamanya. “Aulia sayang, kamu ngga boleh bicara gitu. Dengerin mama, sekarang mama bahagia, begitu juga Fajri. Allah begitu sayang sama mama dan Fajri. Allah juga pasti sayang sama kamu sehingga Dia menguji kamu, ingin tau seberapa sabar anak mama ini. Aulia ngga usah khawatir, mama ngga pernah pergi jauh karena sebenernya mama dekat sama kamu, di hatimu, sayang. Jadi, Aulia harus kuat, mama selalu ada bersama Aulia. Ingat, mama ngga pernah ngajarin kamu untuk jadi gadis yang lemah.” Aulia mencerna setiap kata yang dibisikkan oleh mamanya. “Untuk Aulia, gadis mama terkasih, jangan sedih, nak. Sungguh hati mama pun sakit ketika melihat kamu menangis dan bersedih. Sebentar lagi kamu beranjak dewasa, kamu harus mengerti dan memahami prosesnya. Keras, menyakitkan, tapi itu bukan alasan kamu untuk jadi gadis yang lemah.” Wanita itu melepaskan pelukannya, menghapus airmata di pipi gadisnya dengan penuh kasih sayang. Kemudian mencium kening gadisnya, berharap itu bisa memberi satu kekuatan kepada gadisnya itu. Ia berbalik dan beranjak pergi dengan sebuah senyum. Dalam sekejap, sosok malaikat tanpa sayap itu sudah menghilang dari pandangan mata Aulia. “Mama..” *** 1 Januari 2014 Adzan shubuh berkumandang, memanggil setiap muslim dan muslimah agar segera mengambil air wudlu. Begitu juga dengan Aulia yang baru membuka kelopak matanya, mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru kamarnya. Ia kembali mengingat-ingat dimana ia sebelumnya. ‘Ternyata mimpi,’ gumam Aulia menyadari mimpinya malam ini; bertemu dengan mamanya di surga. Aulia menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyum samar. “Makasi h, ma, udah datang di mimpi Aulia dan ngasih Aulia semangat untuk jalan di kehidupan baru awal tahun ini. Aulia janji bakal jadi perempuan kuat seperti mama. Aulia sayang mama..” *** “Tidak semua yang telah pergi itu benar-benar pergi. Ibu, sosok malaikat tanpa sayap, ketika Sang Pencipta memanggilnya, ia tidak pergi, melainkan tetap tinggal dan duduk manis di ruang hati kita. Meskipun kehadirannya tak bisa dilihat lagi, namun itu masih tetap bisa dirasakan.” (*) *) Penulis adalah Pelajar SMA Negeri 2 kota Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: