Provokasi
ORANG-orang menyebut diri Charlie –Je suis Charlie (saya Charlie)– sebagai ungkapan simpati dan belasungkawa atas serangan dua orang bersenjata terhadap kantor majalah mingguan Charlie Hebdo 7 Januari 2015 yang menewaskan 12 awak media. Saya turut bersedih atas peristiwa itu, tetapi saya bukan Charlie. Saya tidak akan pernah bisa membuat gambar-gambar kartun seperti yang dimuat di majalah tersebut dan menerbitkannya. Tepatnya, saya tidak mempunyai alasan untuk menerbitkan gambar-gambar seperti itu. Sebagai majalah satiris, Charlie juga mengejek diri sendiri dengan moto: Majalah yang tidak bertanggung jawab. Setiap minggu ia menerbitkan ledekan. Kepala negara diledek, pemimpin Vatikan diledek, para rabi Yahudi diledek, dan Nabi Muhammad sering ditampilkan di sampul depan sebagai bahan olok-olok. Bersikap adil dalam meledek siapa saja? Sebagai majalah ”umum”, tentu ia harus begitu. Tidak mungkin dalam setiap edisi ia hanya meledek paus atau rabi Yahudi atau Nabi Muhammad. Dan tentu ia punya motif. Anda tahu, setiap tindakan punya motif, baik disadari atau tidak. Begitu juga tindakan Charlie Hebdo. Karena saya bukan Charlie dan tidak bisa membaca pikiran orang-orang lain, saya juga tidak tahu apa yang ada di belakang kepala mereka, apakah kebencian atau cinta kasih atau mungkin misi kemanusiaan yang amat luhur. Berkaitan dengan Nabi Muhammad, yang kemudian menyulut aksi penembakan, Charlie Hebdo bisa secara enteng menampilkan gambar sampul seorang lelaki tua Arab sedang bersujud dalam keadaan telanjang bulat, kemaluannya menggelantung dan ada bintang yang menutupi lubang duburnya. Judul sampul itu Muhammad: Seorang Bintang Telah Lahir. Dalam edisi-edisi lain, banyak gambar sampul tentang Nabi Muhammad yang mudah diduga pasti akan menyulut perasaan kecewa dan mungkin kemarahan kaum muslim. Saya bukan Charlie. Saya tidak tahu apa tujuan yang hendak ia capai dengan menampilkan karikatur-karikatur seperti itu. Ketika menampilkan satire tentang Charles de Gaulle, misalnya, ada hal yang ia kritik dari bekas presiden Prancis itu. Ketika menampilkan paus, ada yang ia kritik dengan gambar karikatur tentang pemimpin Vatikan tersebut. Ketika ia menampilkan Nabi Muhammad seperti itu, saya tidak tahu apa yang ia kritik dari sosok nabi yang sangat dicintai dan dipercaya sebagai manusia utama oleh para pengikut ajarannya tersebut. Dan, ia mengeluarkan semua itu dalam latar belakang situasi yang buruk. Prancis pernah dilanda kerusuhan besar pada 2005, yang dipicu kemarahan warganya yang beragama Islam terhadap persepsi negatif dan diskriminasi sosial yang telah meminggirkan kaum muslim di negara tersebut. Gedung-gedung dirusak, mobil dibakar (hampir sembilan ribu jumlahnya), dan 2.888 orang ditangkap aparat. Kerugian ditaksir mencapai 200 juta euro. Jacques Chirac, presiden Prancis waktu itu, menyampaikan pernyataan dalam pidatonya setelah kerusuhan: ”Kita semua menyadari adanya diskriminasi ini. Berapa banyak CV dilemparkan ke keranjang sampah hanya karena nama dan alamat pelamar pekerjaan?” Prasangka rasial dan situasi diskriminatif tidak berakhir setelah kerusuhan tersebut. Dua tahun kemudian terjadi lagi kerusuhan, ketika dua pemuda, lagi-lagi muslim, tewas karena motornya bertabrakan dengan mobil polisi. Orang-orang Islam kembali marah. Mereka menganggap polisi sengaja menabrak dan membiarkan saja dua pengendara motor itu mati di jalanan. Dua tahun kemudian, 2009, kerusuhan terjadi lagi setelah meninggalnya seorang pemuda keturunan Aljazair di dalam penjara. Polisi mengatakan bahwa pemuda itu mati bunuh diri. Para demonstran tidak memercayai keterangan polisi dan menganggap pemuda tersebut dibunuh polisi. Orang-orang menyerbu Bastille. Polisi menangkap 240 demonstran. Dengan situasi seperti itu, di mana warga negara yang beragama Islam merasa diperlakukan tidak adil, apa yang dilakukan Charlie Hebdo dengan gambar-gambar sampulnya terasa sebagai sebuah olok-olok yang provokatif. Ia nyaris setara dengan tindakan menginjak-injak orang yang sudah tidak berdaya dan tidak punya apa-apa lagi. Tetapi, kenapa ia melakukan provokasi seperti itu? Apakah ia melakukannya semata-mata karena sudah mengumumkan diri sebagai majalah satiris dan majalah yang tidak bertanggung jawab? Setiap provokasi, Anda tahu, pasti memiliki tujuan. Saya teringat tindakan terburuk yang dilakukan Zinedine Zidane di lapangan ketika menanduk Marco Materazzi dalam pertandingan final Piala Dunia 2006 antara Prancis dan Italia. Materazzi memprovokasi Zidane dan provokasi itu berhasil. Zidane, sang genius di lapangan bola, kehilangan kendali dan melakukan tindakan bodoh yang membuatnya diusir dari lapangan. Prancis kehilangan jenderal lapangan dan Italia memenangi pertandingan dengan adu penalti. Tiga media Inggris, The Times, The Sun, dan Daily Star, menyewa jasa penafsir gerak bibir untuk mengetahui apa yang telah dikatakan Materazzi kepada Zidane. Mereka kemudian menurunkan berita bahwa Materazzi telah memprovokasi Zidane dengan menyebutnya sebagai ”anak pelacur teroris”. Berita itu disangkal Materazzi dan media-media tersebut kemudian meminta maaf. Materazzi sendiri kemudian menyampaikan kepada pers bahwa peristiwa itu disebabkan Zidane jengkel karena dia menarik kausnya. ”Kalau kau menginginkan kausku, nanti kuberikan kepadamu seusai pertandingan,” kata Zidane. Materazzi menjawab, ”Aku lebih menginginkan kakakmu.” Setahun kemudian Materazzi mengakui bahwa tepatnya dirinya mengatakan, ”Aku lebih menginginkan kakakmu yang pelacur itu.” Sampai sekarang Zidane, pahlawan sepak bola Prancis keturunan Aljazair yang tumbuh di lingkungan kumuh pinggiran kota, tetap bungkam tentang apa yang telah dikatakan Materazzi. Dia meminta maaf atas kejadian di lapangan, namun tidak pernah menyesali tindakan itu. Legenda tinju kelas berat Muhammad Ali –di masa kecil saya menganggapnya orang Indonesia– selalu meledek lawan-lawannya untuk membuat mereka marah, kalap, dan lupa teknik bertinju. Pada saat mereka seperti itu, urusan di ring tinju menjadi lebih mudah bagi Ali. Dia membuat para petinju itu menjadi petarung jalanan yang mudah dikalahkan. Dia meledek George Foreman, petinju yang paling mengerikan pada masanya, dan menyediakan dirinya untuk dipukul. ”Kenapa kau lembek sekali?” kata Ali. ”Yang benar kalau bertinju, jangan memukul seperti banci,” ucap dia. Pelatihnya memberi saran sebelum pertandingan agar Ali menggunakan kelincahannya untuk sebisanya menghindari pukulan Foreman. Di ring tinju, Ali melanggar semua strategi yang telah disampaikan pelatihnya. Dia justru menyediakan dirinya untuk dipukul dan melindungi dirinya dengan double cover. Selain itu, mulutnya terus mengeluarkan ejekan. Wasit memperingatkan Ali agar diam atau didiskualifikasi jika terus bicara. ”Kenapa kau melarangku memberi pelajaran yang baik kepadanya?” kata Ali. ”Dia tidak akan menjadi petinju yang baik kalau aku tidak memberinya pelajaran,” ucap dia. Foreman adalah juara dunia saat itu. Dia tampak mudah sekali mengambil gelar tersebut dari Joe Frazier dalam pertarungan tahun 1973 dan membuat sang juara bertahan terlihat seperti ayam kecil yang dibanting-banting enam kali dalam pertandingan yang hanya berlangsung dua ronde. Padahal, dua tahun sebelumnya, Joe mengalahkan Ali dalam pertarungan ketat 15 ronde. Di luar dugaan siapa pun, dengan caranya sendiri, Ali berhasil merobohkan Foreman di ronde kedelapan. Dengan Joe, Ali tampak seperti membangun permusuhan abadi. Padahal, Joe adalah kawan baik yang membantu keuangan dan membelanya ketika dirinya dilarang bertinju karena mengkritik perang Vietnam yang dilancarkan pemerintah Amerika Serikat serta menolak dikirim ke sana. Mereka bertanding tiga kali. Joe memenangi pertandingan pertama mereka, Ali menang dua kali. Semua pertandingan berlangsung sengit dan brutal. Ketika Ali mendapatkan kehormatan menyulut obor Olimpiade, Joe mengatakan, ”Aku ingin melemparkan Ali ke dalam api.” Namun, akhirnya kita tahu bahwa, bagaimanapun, mereka adalah dua sahabat. Ketika Joe meninggal, Ali mengatakan, ”Dunia kehilangan seorang juara yang hebat. Aku akan mengenang Joe dengan rasa hormat dan kekaguman.” Provokasi, sekali lagi, selalu memiliki tujuan. Ali berhasil membuat lawan-lawannya marah dan frustrasi oleh ledekan. Itu membuat mereka lebih mudah dikendalikan. Materazzi berhasil membuat Zidane terusir dan Prancis kehilangan jenderal lapangan. Dan Charlie Hebdo? Ia berhasil membuat dua warga Prancis yang beragama Islam, yang kehidupan sehari-harinya sulit, mengamuk dan menyerang kantor redaksi majalah itu, menewaskan 12 orang, serta membuat Islam tampak menakutkan. Berkat aksi dua orang itu, yang terpancing oleh provokasi Charlie Hebdo, sekarang kita mungkin hanya bisa menunggu apa tindakan balasan oleh Barat terhadap Islam. Dari dulu, hubungan kedua pihak tersebut, Islam dan Barat, selalu dipenuhi prasangka. (*) *Penulis adalah sastrawan, pengarang, kritikus sastra yang dikenal aktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: