Kasus Charlie: Dilema Dua Permintaan Toleransi

Kasus Charlie: Dilema Dua Permintaan Toleransi

ISU ini, mungkin adalah isu terhangat yang mengerubungi awan dunia akhir-akhir ini. Dua orang pemuda yang mengklaim dirinya Al-Qaeda, membunuh salah seorang kartunis ternama asal Prancis, Charlie Hebdo. Alasannya cukup sensitif, menurut mereka, Charlie Hebdo telah melecehkan Nabi dengan menggambarnya dalam bentuk kartun.  Dan ‘jedeeer’, peluru menghunus tubuh lalu kemudian bertransformasi menjadi berita yang menganga ke permukaan jagat. Kita tidak bisa menyikapi persoalan ini secara subjektif. Setidaknya, kita diharapkan mampu untuk seolah-olah menjadi kedua kubu tersebut, dalam upaya merumuskan ke-objektivitasan. Chérif (32) dan Saïd Kouachi (34) lambat laun diketahui sebagai pelaku daripada penembakan keji itu. Keduanya lahir dengan darah murni Aljazair. Dan keduanya pula, masuk dalam database (TIDE) intelijen Amerika. Mengingat begitu berbahayanya kakak beradik tersebut, Pemerintah Amerika melarang setiap maskapai untuk terbang dengan membawa badan mereka (Kouachi bersaudara). Charlie Hebdo sendiri adalah seorang penggambar kartun kesohor di Prancis. Untuk diketahui, semenjak kisaran tahun 2000, Charlie telah menjadi salah satu orang yang hidup di bawah perlindungan polisi. Upaya tersebut dilakukan karena memang, Charlie telah teramat banyak menerima ancaman pembunuhan. Sebelum pada akhirnya, 7 Januari 2015, Charlie benar-benar diakhiri hidupnya dalam sebuah penembakan yang dramatis. AKAR MASALAH Bagi kaum muslim konservatif “..tidak ada satu hukum pun selain hukum Allah”, kurang lebih begitu bunyinya. Oleh karenanya, pelanggaran akan hukum-hukum Allah adalah pelanggaran pula untuk tinggal di dalam bumi Allah. Doktrinisasi perihal teks-teks tersebut menyemat ke dalam pikiran bahkan menggebu dalam hati. Imbas daripadanya, tentu fanatisme yang berlebihan yang kadang bahkan menegasikan Allah sendiri. Sebuah hadits menyebutkan bahwasanya “Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah...”. Kalimat hasil nukilan ucapan Nabi itu biasanya dibarengi dengan fakta kisah Aisyah dan tirainya. Dalam dongeng yang masyhur itu diutarakan bahwa, Nabi memotong tirai bergambar dalam rumahnya menjadi dua bantal. Nabi pun berseru “..Para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat .....gambar-gambar” (HR.Muslim No. 5545). Argumen tersebut di atas, diduga menjadi modus operandi daripada tindakan membabi buta utusan Al-Qaeda di Prancis, kemarin. Bagi mereka, pelanggaran akan hukum Allah menjadikan halal akan darah daripada pelakunya. Sementara di belahan dunia yang lain, dikenal sebuah istilah freedom of speech atau kebebasan dalam berbicara. Setiap manusia secara kodrat terlahir dengan pikiran, dan pikiran itu, termanifes dalam ucapan. Oleh karenanya, untuk menghargai manusia maka kewajiban memberikan kebebasan berbeda pandangan itu harus dijunjung tinggi. Dalam selimut liberalisme dan demokrasi sebagai pagarnya, kebebasan menjadi konsumsi yang fundamen. Kita tidak bisa memaksakan kehendak pribadi untuk mengebiri orang lain. Dalam Al-Qur’an pun termakhtub “...tidak ada paksaan dalam beragama..”. PERTAUTAN KEDUA AKAR MASALAH Mutatis mutandis, kedua suara yang sama-sama kuat itu bertemu dalam dunia globalisasi. Dunia dimana without borders (dunia tanpa batas). Alhasil, satu dengan lainnya berebut cepat menuai pengaruh. Nyatanya, bila kita menelisik lebih jauh, kedua diktum yang berbeda muara itu bertemu dalam satu sungai teduh bernama kemanusiaan. Baik agamawan konservatif maupun manusia liberalisme, sama-sama menolak keras tindakan main hakim sendiri apalagi hingga mengorbankan nyawa. Peace (Perdamaian) dan “..Rahmatan lil Alamin” (Rahmat bagi seluruh alam) adalah jargon yang berbeda secara fenotif namun sama secara esensi, yaitu saling mencintai dan mengasihi. DUA PERMINTAAN Bagi kaum muslimin, Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang sangat diagungkan. Selain karena Nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW juga adalah nabi yang memberikan cahaya terang dengan mukjizatnya yang gemilang, Alquran. Jangan sekali-kali menghina nabiku, maka aku “..siap untuk pergi dan mati dalam pertempuran !”,  kata Chérif Kouachi dalam dokumen persidangan Prancis tahun 2007 (dilansir oleh CNN). Jika kita bukakan satu persatu isi hati dari kaum muslimin, maka, jawabannya mungkin tidak lebih dari kurang akan sama seperti keluarga Kouachi. Oleh karenanya, toleransi menjadi catatan kaki agar hal tersebut tidak terjadi. Intinya, janganlah saling memancing untuk membuat chaos. Zineb El Rhazoui, salah satu kolumnis yang hidup dalam majalah Charlie, pun memiliki pandangan menyikapi kenyataan ini. Dia, dalam konferensi persnya yang dicatut dari situs The Guardian, mengatakan telah memaafkan pemuda yang menghilangkan nyawa koleganya tersebut. Tindakan mulianya ini didasari pada, bahwa pembunuh-pembunuh itu “..berjuang bukan sebagai seorang manusia, tetapi berjuang untuk sebuah ideologi..”. Dan, lanjutnya, mobilisasi besar-besaran di Prancis tempo hari adalah sebagai pintu daripada permaafan itu. Permaafan selalu diiringi dengan apa yang kita kenal dengan permintaan. Zanib El Rhazoui pun tak luput akan hal itu. Dia mengakhiri maklumatnya dengan penuh harapan bila, atas dasar kebebasan mengutarakan pendapat “..Umat Islam haruslah didesak untuk menerima humor”. Baik muslim konservatif maupun perwakilan Satirical Magazine, keduanya membawa judul yang sama daripada suara mereka, yakni toleransi. PENUTUP Dalam kasus tersebut setidaknya menyisakan satu duka pertanyaan yang berulang. Duka itu adalah, dimana letak utuh daripada mitos bertitel toleransi itu? Kebebasan untuk beragama adalah kebebasan juga untuk menunaikan ajarannya. Dan jika, nyatanya, ada hal yang kejam seperti berupa pembunuhan itu menjadi suatu ajaran artinya kita harus membiarkannya. Lalu kemudian, penerimaan akan kebebasan berpendapat, artinya pula, kebebasan untuk membiarkan orang berbohong, menghina dan menjatuhkan martabat kita. Ketika keduanya dikungkung, maka sama dengan memenjara diri sendiri dalam teks yang disepakati. Ya, tetapi itulah hidup, bukankah kita memang sudah amat terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawabannya? Satu hal yang pasti, kemanusiaan adalah nasionalisme internasional. Belajarlah berperasaan !! (*) *Penulis adalah Peneliti di Satjipto Rahardjo dan Pendiri Komunitas Diskursus DIALOG

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: