Merevolusi Mental Jokowi
SAYUP-SAYUP mulai terdengar kata ’’impeachment’’ di tengah krisis karena penunjukan Presiden Joko Widodo kepada Komjen Pol Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri. Meski DPR secara aklamasi menyetujui pencalonan Budi, bisa saja gunjingan impeachment tersebut akan menggelinding. Apalagi, menurut Bambang Soesatyo dari Fraksi Golkar, persetujuan cepat DPR itu bertujuan agar bola panas pencalonan Kapolri segera kembali ke tangan Jokowi. Meski, dalih anggota DPR itu bisa membuat dahi berkernyit tentang kepedulian DPR terhadap kepentingan bangsa. ’’Bola panas’’ semestinya dipadamkan, tetapi malah dilempar kembali. Celah impeachment tersebut ada pada pertanyaan besar tentang netralitas Komjen BG ketika pilpres lalu. Ada pengakuan yang dikutip luas di media dari Ketua DPP PDIP Trimedya Pandjaitan bahwa BG membantu Jokowi menyusun visi misi bidang pertahanan dan keamanan. Meski DPP PDIP buru-buru membantah (dengan menyalahkan yang memaknai), ini telanjur menimbulkan pertanyaan tentang netralitas BG. Pasal 28 UU 2/2002 ayat (1) tentang Polri menyebut: ’’Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.’’ Penjelasan pasal tersebut lebih gamblang lagi: ’’Yang dimaksud dengan ’bersikap netral’ adalah bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan, dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.’’ Wajar bila ini dikait-kaitkan dengan kenapa Jokowi ngeyel mencakapolrikan BG di tengah tentangan khalayak pendukungnya. Bahkan, setelah Jokowi tahu rapornya merah dari KPK/PPATK saat akan dicalonkan menteri. Dicurigai, ini jadi bagian dari balas budi dengan ’’bagi-bagi kursi’’ (yang Jokowi berjanji tak melakukannya). Di zaman Megawati jadi incumbent yang mencalonkan presiden pada 2004, terjadi kasus ketidaknetralan. Beredar VCD rekaman pertemuan di Mapolres Banjarnegara, Kapolwil Banyumas (waktu itu) Kombes Pol AA Mapparessa dan istrinya berbicara di depan keluarga besar polisi. Di situ ada arahan mendukung Megawati-Hasyim Muzadi. Padahal, Kapolri (saat itu) Da’i Bachtiar menginstruksi polisi agar netral. Mapparessa dicopot dan disidang kode etik. Komjen Pol Binarto, ketua sidang kode etik, menyatakan bahwa Mapparessa telah melampaui batas kewenangannya dalam melaksanakan perintah kedinasan tentang netralitas anggota Polri dalam pilpres. Dia ’’dikotak’’ alias dilarang memimpin wilayah selama dua tahun (Jawa Pos, 1 September 2005). Tak beda dengan kombes (atau juga babinsa TNI). Bila diduga ada jenderal polisi aktif ikut menyusun visi dan misi capres, itu mesti diseriusi. Apalagi terkait dengan presiden yang kemudian terpilih. Kalau Jokowi mengetahui itu, ada celah dia bisa dibidik dengan dugaan pelanggaran undang-undang. Sikap Jokowi yang ngeyel terkait BG memang cukup mengherankan. Dia tidak segera menarik surat pencalonan Kapolri ke DPR begitu tahu BG dijadikan tersangka oleh KPK. Di zaman SBY mulai berkuasa, ketika Megawati yang mau lengser menyodorkan Ryamizard Ryacudu jadi panglima TNI, SBY menarik surat itu dan menyodorkan calon lain. Dan, sikap SBY itu tak dianggap tidak menghormati proses politik di DPR. Dan, di zaman SBY pula, bila pembantunya jadi tersangka, yang bersangkutan langsung undur diri. Penampilan BG di DPR sendiri, saat menangkal rekening gendut, juga menyisakan tanda tanya. Dalam surat Bareskrim, yang menyimpulkan tak ada rekening tidak wajar BG, ada nama anggota Polri Iie Tiara. Dia adalah staf BG yang ditugaskan mendampingi putra sang jenderal. Disebutkan, ’’Bahwa yang bersangkutan ditugaskan Irjen Pol Drs Budi Gunawan SH MSi untuk mendampingi Muhammad Herviano Widyatama dalam kegiatan sehari-harinya sehingga mengetahui Muhammad Herviano Widyatama melakukan berbagai kegiatan bisnis seperti bisnis di bidang pertambangan timah, perhotelan, investasi surat berharga, dan penjualan barang antik.’’ Bolehkah anggota Polri aktif ditugasi seorang jenderal membantu anak jenderal itu? Seandainya ada aturan yang membolehkan, alangkah ganjilnya. Sebab, polisi yang digaji negara malah mendampingi urusan pribadi anak jenderal. Seandainya tak ada aturan yang membolehkan, bukankah ini termasuk rekam jejak pelanggaran? Krisis calon Kapolri ini amat serius. Kita perlu memantulkan cermin ’’Revolusi Mental’’ kepada Jokowi sendiri. Di Jogjakarta (18/8/2014), Jokowi pernah menyetujui enam watak manusia Indonesia versi Mochtar Lubis. Lima watak yang harus diubah adalah munafik atau hipokrit; enggan dan segan bertanggung jawab; bersikap dan berperilaku feodal; percaya takhayul; serta lemah watak atau karakter. Yang pantas dipertahankan adalah sifat artistik (berbakat seni). Sebelum bermimpi jadi ’’Panglima Besar Revolusi Mental’’, perlu dicermati apakah Jokowi sudah merevolusi mentalnya sendiri terkait watak-watak tadi. Bila sudah, tentu Jokowi tidak hipokrit. Kalau berjanji membersihkan negara, harus konsisten pilih pejabat yang rapornya hijau. Untuk menghindari tekanan memasukkan orang ini itu, libatkan secara permanen PPATK, KPK, dan Komnas HAM. Kedua, kalau sudah memutuskan, Jokowi wajib bertanggung jawab. Tak perlu menyalahkan, misalnya, Kompolnas. Kompolnas itu ’’petugas’’ presiden karena pimpinannya adalah Menko Polhukam dan Mendagri. Ketiga, keputusan kenegaraan wajib didasari pada konstitusi dan pemenuhan janji kampanye. Bukannya melayani patron ala feodal. Ibu presiden adalah ibu pertiwi, bukan ibu partai atau lainnya. Keempat, Jokowi wajib kuat karakter, teguh pada kebajikan umum. Bukan tunduk pada tekanan sesaat yang bisa merusak kepercayaan. Serta, kelima, jangan percaya ’’takhayul politik’’ (termasuk ’’hantu impeachment’’) asal tak semena-mena menggunakan kekuasaan, termasuk hak prerogatif. Jangan tunduk pada kebatilan. Jokowi adalah RI-1. Bukan lagi B-1-DKI atau AD-1-A atau sekadar petugas partai. (*) *Penulis wartawan Jawa Pos
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: