Menakar Kasus Dugaan Korupsi IAIN Cirebon

Menakar Kasus Dugaan Korupsi IAIN Cirebon

Oleh : Dr. Ilman Nafi’an Sirban   Bagi pejabat negara yang diamanatkan mengelola anggaran, baik yang bersumber dari APBN ataupun APBD, seolah-olah hanya terjebak pada dua pilihan. Pertama, mengelola anggaran dengan aturan dan prosedur yang berlaku untuk melaksanakan berbagai program pembangunan yang telah ditetapkan dalam jangka waktu dan anggaran tertentu; dan ini berarti pejabat telah menyelamatkan program pembangunan negara. Kedua, dengan ketat dan rumitnya aturan dan prosedur administrasi pelaksanaan program, mulai dari perencanaan sampai laporan, sebagian pejabat negara pengelola anggaran lebih memilih tidak melaksanakan program tersebut, karena kekhawatiran ancaman tindakan korupsi. Pertanyaan pentingnya adalah, seberapa jauh peluang pejabat selamat dengan tetap melaksanakan program pembangunan anggaran negara? Dan pertanyaan berikutnya adalah, kalau pejabat yang tidak bisa mengelola anggaran negara sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku dianggap bermasalah dan cenderung dijustifikasi korupsi, bagaimana mereka yang tidak melaksanakan program negara dengan sengaja karena takut tersangkut dan dituduh korupsi? KERUGIAN NEGARA DAN ANCAMAN PIDANA Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia dalam halaman opini Kompas, Kamis, 15 Januari 2015, menuliskan bahwa dalam perspektif hukum ada empat jenis kerugian negara. Pertama, kerugian negara yang diakibatkan hubungan yang bersifat perdata. Ini terjadi karena negara mengadakan barang dan jasa. Pengadaan ini terjadi didasarkan atas perjanjian antara negara dengan penyedia barang dan jasa. Penyedia menyalahi perjanjian atau penipuan yang merugikan negara. Kedua, kerugian negara yang disebabkan masalah administratif. Pengeluaran anggaran negara didasarkan atas aturan dan prosedur yang wajib dipatuhi. Dalam kondisi tertentu terkadang pejabat terpaksa harus bertabrakan dengan aturan dan prosedur, sehingga berpotensi terjadi kerugian negara. Ketiga, kerugian negara yang disebabkan kebijakan atau keputusan yang diambil pejabat pemerintah yang melibatkan anggaran dari APBN. Dan keempat adalah kerugian negara yang terjadi di lembaga/badan yang menggunakan dana APBN pendiriannya dan opresaionalnya seperti BUMN, BPJS, LPS, bahkan perguruan tinggi negeri. Menurut Hikmahanto, pada prinsipnya keempat jenis kerugian negara ini tidak bisa masuk dalam ranah pidana. Jika ada kerugian negara karena ada hubungan yang bersifat perdata, dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat dengan pihak yang terkait. Kalau gagal maka bisa dibawa ke pengadilan atau arbitrase. Jika ada  kerugian karena kesalahan administratif, diselesaikan secara administratif. Jika ada kerugian negara karena kesalahan atau penyimpangan kebijakan dan keputusan, maka hal ini bisa dievaluasi ulang kesalahannya dengan konteks dikeluarkan kebijakan dan keputusan itu. Demikian juga menurut Hikmahanto, jika kerugian yang dialami BUMN yang melakukan investasi yang mengalami kerugian, tidak bisa disalahkan. Karena untung dan rugi adalah dua sisi mata uang yang melekat. Maka sanksi tidak bisa didasarkan atas business judgment. Kerugian negara menurutnya, masuk dalam kategori tindakan pidana korupsi, ketika yang dilakukan seseorang memenuhi unsur pidana korupsi, yaitu niat dan perbuatan jahat pelaku. Dan kerugian negara menurutnya, tidak bisa dijadikan dasar atau fokus utama dalam menjerat tindakan korupsi. PENEGAKAN HUKUM DAN MAKELAR KASUS Setiap penulis dan pembicara tentang hukum selalu berawal dari statemen, “hukum harus menjadi panglima dan penegakannya harus adil, tidak boleh pandang bulu atau tebang pilih.” Penegakan hukum  bagian penting bagi pengelolaan negara. Namun penegakan hukum tidak bisa dilaksanakan dengan konsisten dan baik. Bahkan memperbaiki sistem pengelolaan negara ketika tidak dibarengi dengan kesiapan sistem dan perbaikan pengelolaan negara yang memang berperspektif pada pencegahan terhadap pelanggaran hukum. Penegakan hukum yang tidak dibarengi kesiapan dan perbaikan sistem justru menciptakan peluang terhadap pelanggaran hukum itu sendiri. Akhirnya sering muncul statement yang menyesatkan, tetapi justru menjadi acuan sebagian masyarakat dalam melihat upaya penegakan hukum; bahwa hukum dibuat untuk dilanggar. Hal ini juga mendorong makelar-makelar kasus bermunculan baik dari oknum-oknum aparat berwenang, lawyer/advokat, media, bahkan LSM. Hampir di setiap kasus, apalagi dugaan tindakan pidana korupsi, makelar-makelar ini beroperasi mulai dari penyuplai informasi (informan), pembuat opini lewat media, provokator, penebar ancaman, bahkan penyedia jasa demonstran yang semuanya digunakan untuk merekayasa (pressure group and design) pelaksanaan atau penghentian kasus hukum tersebut. PEMBIARAN PROGRAM AGENDA PEMBANGUNAN NEGARA Administrasi yang cenderung rumit dan sistem pengelolaan serta penggunaan keuangan negara yang sangat ketat cenderung mendorong pejabat  pemerintah memilih menyelamatkan diri dengan tidak melaksanakan agenda kegiatan pembangunan yang telah ditentukan. Hal ini karena kekhawatiran mereka akan ancaman melakukan atau terlibat dalam kegiatan yang merugikan negara yang selalu dikonotasikan dengan tindak pidana korupsi (Tipikor). Lembaga-lembaga negara kini mengalami kesulitan mencari karyawan-karyawan atau staf yang mau ditugaskan di tempat-tempat yang memiliki tanggung jawab dengan keuangan. Karena mereka tidak hanya harus melayani setiap saat kebutuhan keuangan lembaga dan menyiapkan laporannya, tetapi juga harus siap menjadi sasaran pemeriksaan dari lembaga-lembaga auditor baik secara internal ataupun eksternal. Hal ini berbeda dengan keadaan 10-15 tahun yang lalu. Jabatan itu menjadi rebutan bagi karyawan dan staf di setiap lembaga. Dan ini sangat memprihatinkan, dan mungkin menjadi gangguan yang signifikan bagi pelaksanaan program-program pembangunan pemerintah. Penegakan hukum tidak dibarengi dengan perbaikan dan penataan ulang sistem administrasi keuangan negara akan mendorong pejabat lebih menyelamatkan diri dari tindakan yang dianggap merugikan negara dengan membiarkan program agenda pembangunan. Untuk itu, seharusnya sanksi bukan hanya diberikan kepada pejabat yang melakukan kegiatan yang merugikan negara yang sering dikonotasikan dengan tindakan korupsi. Tetapi juga mereka yang tidak melaksanakan program kegiatan negara yang telah ditentukan oleh lembaganya seharusnya disanksi. Karena dua fakta tersebut berpotensi merugikan negara. KASUS PENGADAAN TANAH KAMPUS II  IAIN SYEKH NURJATI CIREBON Kalau dirunut persoalan hukum di IAIN Syekh Nurjati Cirebon muncul sejak tanggal 13 Maret 2014 sampai Januari 2015; sudah berlangsung 10 bulan lebih. Kasus pengadaan tanah kampus II IAIN Syekh Nurjati Cirebon mencuat menjadi pemberitaan di media dan pemeriksaan Kejaksaan Kota Cirebon sengaja atau tidak, bersamaan menjelang pergantian rektor untuk periode 2015-2019. Untuk itu, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, civitas akademika dan publik cenderung menilai bahwa kasus ini sarat dengan kepentingan politik pragmatis terkait pergantian rektor dan prosesnya cenderung beraroma konspiratif. Sebagai orang awam hukum, penulis hanya mencoba menilai dari sudut pandangan Hikmahanto Juwana, Guru Besar hukum Universitas Indonesia, tentang kerugian negara dan korupsi, melihat kasus hukum tanah kampus II  IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Dalam perspektif potensi kerugian negara di atas, tampaknya kasus tanah kampus II IAIN Syekh Nurjati Cirebon masuk dalam kategori kerugian negara yang disebabkan masalah administratif. Paling tidak ditandai proses usaha pengadaan tanah untuk kampus II yang begitu panjang dengan menghabiskan 3 periode kepemimpinan. Karena ini butuh perencanaan yang matang sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku. Dengan bukti tanah yang sudah dibeli tidak hilang atau menjadi milik orang lain. Secara administratif proses ini menunggu penyelesaian pengalihnamaan dari penjual menjadi IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Pertanyaannya adalah, apakah ini masuk dalam kategori korupsi ? Kerugian negara menurut Hikmahanto Juwana, tidak bisa masuk dalam ranah pidana. Kerugian negera masuk dalam kategori tindakan pidana korupsi, ketika  kerugian negara yang dilakukan seseorang memenuhi unsur pidana korupsi, yaitu niat dan perbuatan jahat pelaku. Rencana pengadaan tanah untuk kampus II IAIN Cirebon sudah dilakukan paling tidak 8 tahun yang lalu, dengan 3 periode kepemimpinan, yaitu (alm) Prof. Dr. H. Imron Abdullah., M.A., Prof. Dr. H. Mastna., M.A. dan Prof. Dr. H. Maksum., M.A., dan baru terwujud pada masa akhir kepemimpinan Prof. Dr. H. Maksum., M.A. Pengadaan tanah untuk kampus II adalah salah satu kebutuhan lembaga yang mendesak. Karena bukan hanya kampus di Jalan Perjuangan yang tampak sudah sesak (crowded). Tetapi kebutuhan untuk alih status dari IAIN menjadi UIN yang membutuhkan tanah lebih dari 20-30 hektare.  Apakah unsur-unsur pidana korupsi itu ada dalam proses pembelian tanah kampus II IAIN Syekh Nurjati Cirebon? Sampai saat ini penulis merasa tidak kompeten untuk menjelaskannya dan tidak mempunyai informasi detail tentang itu. Namun yang prinsip, menurut Hikmahanto Juwana, kerugian negara saja tidak bisa dijadikan dasar atau fokus utama dalam menjerat tindakan korupsi.  Wallahu a’lam bi al-Showab (*)   *) Penulis adalah dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: