Godot
Oleh : Nissa Rengganis Vladimir dan Estragon adalah kita. Yang terus mengulang peristiwa demi peristiwa. Orang-orang yang gelisah, menemui kegetiran dan hampir putus asa. Godot sebuah tragedi. Seperti kita barangkali yang tengah mennati suatu keajaiban dengan penuh harap. Tidak berdaya, dihinggapi kegetiran hidup, terasing dari lingkungan sosialnya dan dalam keadaan nyaris putus asa, itulah kita. Samuel Beckett juga menorehkan secercah harapan. Ibaratnya kita menelusuri sebuah terowongan gelap berliku-liku, namun tetaplah ada seberkas sinar di ujung terowongan sana. Naskah Waiting for Godot yang ditulis oleh Beckett pada awal 1950-an adalah sebuah drama penting dunia. Ia mewakili semangat zaman pasca Perang Dunia Kedua tetapi semangat itu kekal relevan sehingga 60 tahun selepas ia dipentaskan untuk kali pertama di Paris karena cerita manusia di mana-mana pada setiap zaman adalah sama. Krisisnya juga sama. Hari ini misalnya, kita tengah terseret ke arus besar pesta demokrasi dan tengah berlomba-lomba merayakannya. Tapi, kita kerap cemas dengan segala harapan yang sisa-sisa. Tidak berdaya, dihinggapi kegetiran hidup, terasing dari lingkungan sosialnya dan dalam keadaan nyaris putus asa, demikianlah jika kita menyaksikan aktor-aktor yang digambarkan oleh Beckettdalam En Attendent Godot, yang diterjemahkan sendiri dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Inggris menjadi Waiting for Godot. Kita ini barangkali dikutuk dan dihukum untuk jadi penunggu -- seperti Vladimir dan Estragon yang menanti Godot di bawah pohon di tepi sebatang jalan. Mereka menunggu, menunggu dan menunggu tetapi Godot tak pernah datang Lainnya, perasaan cemas dan kegetiran hidup bisa kita temukan dalam The Raven-- puisi naratif Edgar Allan Poe yang penuh teror. Puisi yang terbit di tahun 1845 ini merefleksikan kisah hidup Poe sendiri. Kisah tentang kehilangan dan bagaimana menghadapi rasa kehilangan itu. Di suatu tengah malam di bulan Desember, seorang lelaki tengah berduka dan meratapi kehilangan seseorang bernama Lenore. “Once upon a midnight dreary, while I pondered, weak and weary//Over many a quint and curious volume of forgotten lore…” Di malam yang dingin itu, si lelaki baru saja tertidur sebelum di dengarnya suara ketukan. Saat pintu dibuka, taka da siapapun di sana. Lalu suara ketukan itu berulang kali memanggil. Lebih keras lagi. Mungkin hanya angina. Tak disangka seekor burung gagak masuk ke kamarnya. Si gagak dengan kesedihan yang sama pun bicara; “tell me tu\\ruly, I imlore—is there balm in Gilead?—tell me, tell me, I’m implore? Quote the Raven, ‘Nevermore…”. Lelaki dan gagak dengan kesedihan yang sama. Puisi penuh terror dan kegelapan ini menghadirkan situasi suram dan dramatik. Monolog kesedihan pun bergulir dari si lelaki itu; “Deep into that darkness peering, long I stood there wondering, fearing, doubting, dreaming dreams no mortal ever dared to dream before”… Tragedy kehidupan manusia yang diangkat dalam karya sastrakerap hadir dan berkelebat di keseharian hidup kita. Ada ide tentang manusia ideal berjuluk ubermensch dan ide kebebasan manusia dalam menghadapi dunia yang dicita-citakan Friederich Wilhelm Nietzsche (1844-1900) yang disampaikannya dalam novel Zarathustra (2000). Selain Backet dan Poe, tentang keterasingan, kesia-sian hidup, absurditas di dalam kehidupan juga diangkat oleh Albert Camus (1913-1960) dalam Orang Asing (L‟Etranger) yang terbit pertama kali tahun 1942. Sama halnya dengan Godot dan Raven, beberapa karya absurdnya Camus kerap menyeret manusia selalu berada dalam posisi antara, antara diri sebagai subjek dengan diri sebagai objek. Dua posisi ini memberikan pengalaman yang mampu menyimbolkan kondisi manusia sebagai mahluk bebas tetapi berhadapan dengan kuasa. Godot, Raven, hingga Oran yang dihantui sampar, seakan menjebak para tokoh yang hadir di dalamnya—betapa siapa pun tak bisa membebaskan diri dari kutuk lingkungan. Lantas apa yang tersisa? Harapan barangkali. Seperti Vladimir dan Estragon penuh harap menunggu Godot yang tak kunjung datang. Ya, saya menduga dalam teks-teks yang penuh kegetiran itu ada makhluk gaib bernama harapan. Ia semacam rasa optimisme untuk melawan tragedi yang melahirkan nasib buruk pada si tokoh. Mereka terus menjadi sekaligus merebut realitas sosial pasca Revolusi Industri yang mengawali abad pencerahan di Eropa. Alienasi. Keterasingan terlahir ketika individu merasa kecewa atau menyesal karena gagal dalam memahami kehidupan manusia. Kesedihan terus berulang. Manusia-manusia asing yang terpinggir dan dipinggirkan. Tokoh asing. Situasi mencekam. Pembaca secara mendadak diajak bertemu dengan tokoh yang asing, tanpa ada prolog pengenal. ―meminjam istilah Dami N toda...bagai seorang gerilya yang mendadak muncul dari hutan-hutan gelap.Perasaan kecewa, pasrah, marah, cemas, gregetan bercampur aduk dengan rasa tidak berdaya menghadapi permasalahan yang datang berlapis-lapis semenjak tumbangnya Orde Baru hingga hari ini. Perubahan yang digadang-gadang reformasi ternyata tersaruk-saruk tak tentu arah. Perubahan yang diserukan SBY hingga Jokowi tak kunjung datang. Tapi bukankah kita manusia penunggu yang penuh harapan dan bersiap untuk kecewa. Hingga semua dari kita berlomba-lomba mencari pegangan yang kuat untuk bisa mengendalikan perahu layar kita yang diombang-ambingkan ombak besar adab digital, cyber, hologram, hingga wireless world ini. Tapi kita tak pernah tahu kapan dan di mana Godot hadir. Sekalipun sia-sia, kita penuh harap menunggunya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: