Antara Belo dan Bejo

Antara Belo dan Bejo

Oleh : Vivi Zulfiah      HIRUK pikuk kota Jakarta membuatku sering sakit kepala sebelah. Maklum aku terbiasa tinggal di pedesaan. Sukoharjo tanah kelahiranku, alam yang sangat damai. Kini aku tinggal di alam yang berbeda. Sekarang aku datang ke Jakarta, kota dengan sejuta masalah. Mau nggak mau aku harus tinggal di sini. Yah bagaimana lagi di sinilah tempat aku mengais rezeki, di sinilah aku mencari sesuap nasi, di sinilah aku mengadu nasib. Kini aku bekerja sebagai tukang kebun di rumah mewah milik Bu Retno. Belo adalah seekor kucing kesayangan majikanku. Hidupnya lebih beruntung dariku. Belo dirawat dan dipelihara seperti layaknya manusia, nasibnya lebih diperhatikan dari pada aku. Aku hanyalah si tukang kebun yang tak berarti apa-apa di rumah ini. Makanan si Belo lebih bergizi dari pada makananku. Enak yah jadi si Belo, tanpa harus bekerja capek-capek kucing itu mendapatkan fasilitas yang super istimewa. Keyla seorang gadis cantik berkulit putih ia adalah putri tunggal bu Retno. Setiap pagi Keyla lah yang memandikan Belo, menyisir bulu-bulunya dan memberinya makanan yang bergizi. Jika si Belo sakit ia langsung bergegas memanggil dokter hewan. Wah pokoknya memperlakukannya seperti manusia istimewa deh. Aku sempet kesal melihat kejadian di rumah ini. Sebab mereka lebih memanusiakan hewan dari pada memanusiakan manusia. “Keyla…….Keyla ….Keyla sayang, ini sudah pukul 08.00 kamu belum siap-siap ke kampus?” tanya Bu Retno.  Bu Retno mendapati Keyla di ruang tamu, ia sedang bersenda gurau dengan kucing kesayangannya. “Ah aku malas kuliah Mam….!” “Keyla sampai kapan kamu terus begini…..kapan skripsimu akan kelar sementara kamu bersantai-santai terus seperti ini. Mamih malu sama teman-temanmu yang lain. Yang lain sudah pada wisuda, sudah pada kerja, bahkan sudah ada yang melanjutkan S2. Kamu malah ngurusin saja kucing…..!” ucap bu Retno. “Ia Non jangan ngurusin saja kucing toh, yang lain sudah dapat jodoh malah Non Keyla belum dapat- dapat jodoh.” “Hus Mang Bejo jangan ngomong sembarangan yah, nanti tak pecat baru tahu rasa!” ucap Keyla dengan nada kesal. “Wah Non Keyla ini cepet sekali naik darah, Mang Bejo kan cuma bercanda toh!” Aku langsung ngiprit lari ke taman untuk membersihkan taman rumah. ** Rumah sebesar itu hanya dihuni oleh 4 orang, Bu Retno, Non Keyla, Aku (Mang Bejo) si tukang kebun dan Bi Inah (Pembantu). Pak Ridwan sebagai kepala keluarga jarang pulang karena ia seorang Kapten Kapal. Ia pulang kalau kapal sedang mendarat ke Indonesia. Kalau Pak Ridwan tahu anaknya belum kelar S1 dia pasti marah besar. Apalagi alasannya yang tak masuk akal. Masa gara-gara ngurusin si Belo skripsinya jadi kalang kabut. “Orang kaya, oh….orang kaya, begitu mudahnya mereka melalaikan waktu, manghambur-hamburkan uang, padahal anakku di kampung ingin sekali mencicipi bangku kuliah. Namun aku belum mampu untuk menguliahkan anakku. Gaji sebagai tukang kebun hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan primer anak dan isteriku di kampung. Anakku banyak, jadi anak pertamaku setelah lulus SMK nanti, aku suruh kerja dulu biar nanti bisa membantu  adik-adiknya sekolah tinggi. Pagi yang cerah sangat mewarnai hati Non Keyla dan bu Retno, wajah mereka terlihat berseri-seri seperti mentari yang menyinari bumi di pagi hari. Biasanya mereka baru saja mendapatkan kiriman uang dari Pak Ridwan yang sedang berlayar ke negeri orang. Tiba-tiba Non Keyla memanggilku. “Mang Bejo……Mang Bejo….tolong bersihkan kandang si Belo yah, se-ber-sih mung-kin, ingat itu Mang!” “Aku mau pergi dulu sebentar sama Mamih, tolong jaga Belo jangan sampai dia keluar dari area rumah, kasih makan ikan bandeng fresto yang ada di lemari es, susu dan vitamin!” Keyla nyerocos meminta Mang Bejo untuk ngurus kucingnya. “Pergi kemana toh Non. Ke kampus Non?” tanya Mang Bejo dengan muka ceria. “Ah… mau tahu aja, bukan urusan Mang Bejo!” jawab Keyla sambil cemberut. Kedua majikannya langsung meluncur dengan mobil sedan merahnya, entah mereka mau pergi kemana, bisa jadi pergi shopping. Demi menjalankan tugas mulia dari sang majikan, aku laksanakan dengan penuh ikhlas dan tanggung jawab. Dengan semangat aku memberi ikan bandeng fresto, susu dan vitamin kepada si Belo kucing yang beruntung. Setelah itu aku membersihkan kandangnya sebersih mungkin. Seusai membersihkan kandang si Belo, akhirnya aku rehat sebentar aku duduk-duduk di teras belakang sambil terkantuk-kantuk. Ku kipas-kipaskan topi ku. “Uhh cuaca terasa panas hari ini.”  Ketika aku sedang santai tiba-tiba aku jadi ingat si Belo. Non Keyla mengamanatkan si Belo kepadaku agar dia tidak keluar dari area rumah. Dari tadi aku tak melihat si Belo, kemana tuh kucing. Wah kalau ada apa-apa dengan kucing itu bisa-bisa aku dipecat majikanku. Ku cari-cari di semua ruangan tak ku temui jua. “Bi Inah….Bi Inah….!” sahutku. Sepertinya Bi Inah sedang ke pasar. Ada satu ruangan yang belum ku geledah yaitu kamar Non Keyla. Aku bergegas menuju kamarnya. “Masya Allah….si Belo mati.” kucing itu terlihat berdarah-darah dan sudah tak bernyawa. “Aduuuh, bagaimana ini, aku bakal dipecat kalau Non Keyla tahu kucingnya mati.”   “Tiiiiiid………!” suara klakson mobil majikanku, aku langsung membukakan pintu gerbang. Non Keyla terlihat bahagia sekali. Bagaimana jadinya kalau dia tahu kucingnya mati, aku belum sempat membereskan bangkainya karena aku baru tahu tadi. Aduh aku jadi bingung. “Mang Bejo, si Belo mana?” “Anu Non…..anu….anu…Non tadi Mang Bejo sudah melaksanakan perintah Non Keyla, tapi ketika Mang Bejo selesai membersihkan kandang, Mang Bejo ingat pada Belo. Mang Bejo cari-cari tahunya ada di kamar Non Keyla. Tapi kondisinya sudah mati dan berdarah-darah, Mamang baru tahu barusan jadi belum sempet diberesin biar Non Keyla tahu sendiri.”  jelasku dengan nada memelas. Non Keyla kaget setengah mati mendengar kucing kesayangannya mati. “Apa………..si Belo ku mati!” Non Keyla langsung bergegas ke kamarnya. “Ya Tuhan, ada apa ini, kenapa ini bisa terjadi?” “Mang Bejoooooooooooooooooooooo kenapa bisa sampai begini!” “Aduh Non Mang Bejo juga nggak tahu, Mang Bejo baru tahu kejadian ini tadi barusan, Mang Bejo cari-cari Bi Inah nggak ada sepertinya sedang ke pasar.” “Tuh kan berarti di rumah ini hanya ada Mang Bejo kan, lihat nih Mang ini sepertinya ada yang membunuh kucing ku…..” “Ya tapi bukan Mang Bejo!” tegasku. “Lalu siapa lagi, di rumah ini kan tidak ada orang selain Mang Bejo?” tanya Non Keyla dengan nada menuduh. “Pokoknya hari ini, detik ini juga aku pecat mang Bejo titik!” “Non Keyla tega sekali, Mang Bejo kan sudah lama ikut keluarga Non Keyla. Kalau Mang Bejo dipecat mau kerja di mana lagi, anak-anak Mang Bejo banyak Non…” ucapku memelas. “Halah bukan urusanku, bereskan bangkai kucing ini, segeralah bergegas aku tidak mau lagi melihat muka Mang Bejo!” *** Kini aku tak bekerja lagi di kota metropolitan sebagai tukang kebun. Aku balik ke kampung halamanku Sukoharjo. Kini aku kembali menjadi seorang buruh serabutan sembari merintis usaha jamu kecil-kecilan. Ku rasa hidup di kota tidak seenak yang aku bayangkan. Aku hanya menjadi jongos bagi orang-orang kaya, mereka lebih menghargai binatang peliharaannya dari pada rakyat kecil seperti aku. Mereka lebih mencintai binatang-binatang peliharaannya dari pada mencintai rakyat kecil seperti ku. Mereka tidak mempercayai orang miskin seperti ku. Kini yang aku rasakan lebih enak hidup di kampung bersama anak-anak dan isteriku. Aku sedang asyik duduk di teras rumah bersama ketiga anakku. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumahku. Turunlah dua wanita cantik dari mobilnya, ku rasa aku mengenal wajah-wajah mereka, kedua wanita itu semakin mendekat kepada ku. “Selamat siang, Assalamualaikum Mang Bejo!” “Wa’alaikumussalam, Non Keyla? Bu Retno? Silakan masuk ke gubug kami!” “Maaf Non rumah Mang Bejo seperti ini jelek, tidak seperti rumah Non Keyla yang seperti istana.” “Ah Mang” Bejo ngga usah merendah.” “Ada apa toh Non Keyla dan Bu Retno jauh-jauh datang dari kota ke kampung?” “Ehm…. begini! ” Kata Bu Retno. “Mmmmm…. Mang Bejo mau tidak kembali lagi ke rumah kami?” “Kami minta maaf telah menuduh Mang Bejo melukai Belo sampai mati. Sebenarnya begini Inah kecewa pada Keyla karena suatu kali Bi Inah pinjam uang buat biaya berobat anaknya DBD, Keyla ngga ngasih pinjam uang pada Bi Inah, sedangkan kalau anggaran untuk mengurus kucing selalu ada. Kata Bi Inah Non Keyla lebih sayang pada kucingnya dari pada orang miskin seperti Bi Inah. Begitulah ceritanya.” “Ada benarnya juga sih, perkataan Bi Inah, aku lebih peka kepada binatang peliharaanku dari pada orang-orang di sekitar ku yang sudah jelas-jelas memberikan manfaat bagiku. Tapi kini aku terlambat, Bi Inah telah pergi, beliau memilih bekerja di tempat lain dan Mang Bejo pulang kampong,” kata Keyla. “Bagaimana Mang?” “Mau kah kembali lagi ke rumah kami?” “Aduh Non saya sangat berterima kasih sekali atas kebaikan Non Keyla dan Bu Retno, namun saya sudah nyaman tinggal di kampung ini Bu!” “Kini saya sudah punya usaha kecil-kecilan, industri rumahan pembuatan jamu, khas Sukoharjo.” “Jadi maaf beribu-ribu kali maaf Mang Bejo belum bisa memenuhi permintaan Bu Retno dan Non Keyla” “Wah sayang sekali ya Mam…” “Ya sudah tidak apa-apa, sekali lagi kami mohon maaf ya Mang Bejo atas kesalahan kami. Sebenarnya masalahnya sepele, tapi anakku yang terlalu membesar-besarkannya, ya jadinya begini.” “Sudahlah Bu tidak usah diungkit-ungkit lagi toh,” kata Mang Bejo. “Ya sudah kami pamit dulu ya Mang Bejo, salam buat anak-anak dan isteri Mang Bejo!” “Baik Bu nanti saya sampaikan” Mobil Bu Retno meluncur ke arah kota dan semakin hilang dari pandanganku. Mereka pulang dengan tangan hampa. Mereka tak berhasil membujuk ku untuk kembali ke rumahnya. Nasi sudah menjadi bubur. Kini aku tak percaya lagi pada orang-orang kaya seperti mereka. Mereka pasti akan terus menginjak-injak orang miskin seperti ku dan orang-orang miskin lainnya.  (*) *) Cerpenis adalah Mahasiswi STAI Bunga Bangsa Cirebon Fakultas Tarbiyah jurusan PAI Semester 6

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: