Tegakkan Hukum, Titik!

Tegakkan Hukum, Titik!

BEBERAPA hari terakhir ini kita dicengangkan oleh berbagai fenomena “saling tangkap” antar pejabat penegak hukum lintas institusi. Sebagaimana yang telah diberitakan berbagai media massa, bahwa pada Senin, 12 Januari 2015 lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka korupsi, dan mengumumkannya ke publik sehari setelahnya. Walaupun sudah mendapat persetujuan DPR pada Kamis 15 Januari lalu, BG belum juga dilantik sebagai Kapolri (yang memang karena tersangka lebih etis dan kstaria jika memilih mengundurkan diri), kita pun kembali dicengangkan oleh penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) oleh Polri, tepatnya oleh Tim Penyidik Bareskrim Polri pada Jumat 23 Januari lalu. BW disangkakan atas tindakan yang terjadi pada tahun 2010, yaitu perkara Pemilukada Kota Waringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah. BW disangkakan telah mengarahkan saksi untuk menyampaikan keterangan palsu di depan Hakim MK. Kasus itu sendiri sudah pernah diributkan, sudah pernah dilaporkan dan entah bagaimana penyelesaiannya, tetapi sudah lama mereda karena, konon, pengaduan sudah ditarik oleh pelapornya. Namun kini kasus tersebut tiba-tiba muncul lagi. Kasusnya sendiri telah dilaporkan kembali ke Bareskrim Polri. Selain BW, Ketua KPK Abraham Samad (AS) dan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja (APP) juga dilaporkan ke Bareskrim Polri. AS dilaporkan oleh Tim Penguasa Hukum BG karena dinilai melanggar azas hukum dalam penentuan BG sebagai tersangka pada kasus yang disinggung sebelumnya, sedangkan APP dilaporkan oleh kuasa hukum PT Daisy Timber di Berau, Kalimantan Timur, Mukhlis Ramlan, karena dugaan kejahatan dan tindakan kriminal yang dilakukan oleh APP. Pembelaan dan Sikap yang Meresahkan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly As-Sidiqy pernah mengatakan bahwa, hukum memiliki prinsip dasar yaitu keadilan hukum. Keadilan hukum, kata Jimly, bukan sekadar kepatutan seseorang pelanggar hukum untuk dihukum, tapi juga kesamaan di mata hukum: menjalankan proses hukum dan mendapatkan hukuman atas pelanggaran hukum. Apa yang disinggung Sesepuh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) tersebut membuat saya terdesak untuk berbicara yang disebabkan keresahan saya atas fenomena dukungan dari sebagian elemen kepada KPK pasca penangkapan BW yang terkesan norak, di samping soal dukungan sebagian elemen terhadap Polri pasca penetapan BG yang juga terkesan norak. Termasuk sikap Presiden Jokowi dan Panglima TNI yang juga membuat saya—sebagaimana publik lain juga—resah. Mengapa? Pertama, pembelaan sebagian elemen masyarakat terhadap KPK (termasuk kepada BW) dilakukan dengan tidak mengindahkan fungsi dan wewenang institusi Polri dalam penegakkan hukum. Penangkapan terhadap BW selalu dilihat dengan kaca mata politik: bahwa BW dijadikan tersangka dan ditangkap sebagai “balas dendam” Polri atas KPK yang menetapkan BG sebagai tersangka. Padahal Tim Penyidik Bareskrim—sebagaimana yang diungkap secara terbuka juga oleh Plt Kapolri Badroedin Haiti (24/1/2015)—bahwa, penangkapan terhadap BW murni kasus hukum seorang warga negara, bukan intervensi kekuatan politik tertentu dan bukan balas dendam. Bukan itu saja yang membuat publik resah. Ketua KPK AS dalam beberapa kali konferensi press menyampaikan bahwa KPK (termasuk Pimpinan KPK) sedang dijadikan sasaran tembak dan akan dilumpuhkan sebagai institusi pemberantasan korupsi. Pertanyaannya: apakah Pimpinan dan seluruh personil KPK itu makhluk “suci” dari pelanggaran hukum, sehingga tak pantas dijadikan tersangka walaupun penegak hukum (baca: Tim Penyidik Bareskrim Polri) memiliki alat bukti yang kuat dan meyakinkan? Lalu, apakah penetapan tersangka atas Pimpinan dan personil KPK yang dilakukan oleh Polri selalu merupakan upaya pelumpuhan terhadap KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi? Jika mengikuti logika semacam itu, bagaimana jadinya jika penetapan oknum Polri sebagai tersangka oleh KPK dinilai oleh Polri (termasuk pendukung Polri) sebagai upaya pelumpuhan terhadap Polri sebagai institusi penegak hukum? Keresahan saya semakin menjadi-jadi ketika KPK (baca: AS sebagai Ketua KPK) meminta pasukan TNI untuk menjaga gedung KPK (termasuk kantor BW) dari penggeledahan Tim Penyelidik Baresikrim Polri. Anehnya lagi, sebagaimana diakui Panglima TNI (24/1/2015) bahwa TNI pun—setelah mendapat persetujuan Presiden—mengamini-nya dengan mengirimkan pasukan dari berbagai angkatan, baik yang berpakaian seragam lengkap maupun yang berpakaian bebas ke kantor KPK. Alasannya satu: menjaga keutuhan NKRI. Jujur saja, saya sangat malu mendengar alasan Panglima TNI sesederhana itu. Saya seperti juga masyarakat negeri ini sangat mencintai TNI, tapi rasa cinta ini sepertinya terusik dengan sikap semacam itu. Apakah ini pertanda akhir sejarah cinta antar kita? Kedua, pembelaan sebagian elemen masyarakat terhadap BG dilakukan dengan tidak mengindahkan fungsi dan wewenang institusi KPK dalam penegakkan hukum. Publik tahu betul bahwa dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, KPK selalu mendahuluinya dengan proses hukum untuk menghadirkan alat bukti yang kuat dan meyakinkan. Tapi mengapa masih ada saja (terutama elite politik) yang memandang ini sebagai upaya penjegalan BG sebagai Kapolri baru menggantikan Jenderal Sutarman—yang sudah “dipensiunkan” oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu? Selebihnya, betul bahwa siapa pun tahu, tidak mudah lolos dari jerat KPK bagi seorang yang telah dinyatakan sebagai tersangka. Selain tidak mengenal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sehingga seorang tersangka sudah pasti akan menjadi terdakwa di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), KPK juga tidak pernah kalah. Mereka yang didakwa KPK selalu dihukum. KPK menang seratus persen di pengdilan tipikor hingga hari ini. Namun, dalam proses penegakkan hukum, azas praduga tak bersalah tetap dijunjung tinggi. Label tersangka yang disematkan kepada BG akan terbukti dan bersifat final ketika kelak lembaga peradilan memutuskannya. Kita tentu mesti menanti itu secara seksama dan sabar. Ketiga, sikap Presiden Jokowi yang “asal” dan terkesan “mendua”. Sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan Jokowi mestinya bersikap tegas, termasuk dalam penetapan dan pelantikan Kapolri baru. Namun apa dikata, pada momentum menghadirkan Ketua KPK (AS), Menko Polhukam, Plt Kapolri (Badroedin) dan Menteri Hukum dan HAM di Istana Bogor, Jokowi hanya menyampaikan pesan: “sebagai kepala negara saya mengingatkan agar jangan sampai terjadi gesekan antar lembaga penegak hukum.” Bagi saya, ini pernyataan “asal”, yang tentu saja tidak memiliki efek positif sedikit pun bagi keresahan publik dan “ketegangan” institusi penegak hukum yang terjadi akhir-akhir ini. Padahal kalau mau serius, Presiden tidak perlu menunda pelantikan BG sebagai Kapolri baru tapi membatalkannya, lalu memilih nama-nama lain yang kelak langsung diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR. Kemudian, secara terbuka mengaskan agar KPK dan Polri tetap menjalankan tugasnya masing-masing secara profesional, termasuk dalam menuntaskan kasus BG dan kasus BW tanpa dipengaruhi oleh kekuatan manapun yang tidak dibenarkan hukum—termasuk tidak tergoda oleh intervensi petinggi atau elite partai penguasa. Tegakkan Hukum Sebagai negara hukum, kita sepakat bahwa tindak pidana korupsi dan berbagai bentuk tindak melawan hukum lainnya yang dilakukan oleh siapapun (seluruh warga negara: pejabat dan rakyat biasa) mesti diproses hukum, bahkan jika kelak terbukti melalui proses peradilan maka patut dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku dan azas keadilan publik. Dengan demikian, pembelaan terhadap institusi atau lembaga penegak hukum apapun, termasuk terhadap oknum di dalamnya yang menjadi tersangka hukum, yang melampaui azas kepatutan dan azas kesamaan di mata hukum adalah satu bentuk pengingkaran terhadap penegakan dan keadilan hukum itu sendiri. Memberikan pembelaan adalah manusiawi, namun pembelaan yang merusak tatanan dan nilai luhur hukum adalah bentuk lain dari pelanggaran terhadap hukum itu sendiri. Sebagai sebuah negara besar, sudah saatnya bagi kita untuk menjadikan hukum sebagai panglima dan melakukan pengawasan secara ketat terhadap upaya penegakkan hukum yang dilakukan oleh penggawa institusi penegak hukum. Jangan sekali-lagi menjadikan satu institusi penegak hukum—dengan anggaran yang begitu tinggi—sebagai “kepanjangan tangan” kepentingan kelompok, lalu menegasikan fungsi juga wewenang institusi penegak hukum (lainnya) serta kepentingan negara yang lebih besar. Betul bahwa kepentingan dan kebijakan politik punya irisan dengan upaya penegakkan hukum (apalah lagi menyangkut jabatan dan institusi bergensi). Namun jika kita melihat dan memahami proses penegakkan hukum selalu menggunakan sudut pandang politis, maka penegakkan hukum tidak akan pernah sampai pada tujuan penegakkan hukum: menggapai keadilan hukum. Di atas segalanya, kepada para penegak hukum (Polri dan KPK) dan penentu politik-hukum (Presiden dan DPR), sungguh kalian bisa saja mencari pembenaran untuk menutupi kebenaran dan bisa juga menunjuk kebenaran formal dan prosedural untuk menutupi kebenaran yang sesungguhnya. Namun, percayalah bahwa hati nurani, rasionalitas, dan akal sehat publik (rakyat banyak) tidak bisa dibungkam dengan kekuatan yang paling dahsyat dan atas nama siapa pun. Mudah-mudahan kita semua masih mau dan mampu mencintai sekaligus mendengar hati nurani, berpijak pada rasionalitas dan menghargai akal sehat kita. Akhirnya, mari mencintai Indonesia dengan: bekerja dan berkarya bersama-sama untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. [*] * Penulis adalah Direktur Eksekutif KOMUNITAS dan Penulis buku POLITICS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: