UN dan Kualitas Pendidikan Kita

UN dan Kualitas Pendidikan Kita

PADA semester genap ini, seluruh siswa kelas akhir di setiap tingkatan (SD, SMP, SMA/sederajat) akan dihadapkan pada keadaan yang super sibuk dan melelahkan. Salah satunya melalui pengayaan, merupakan salah satu kebijakan belajar tambahan yang digulirkan pihak sekolah manakala hendak menghadapi Ujian Nasional (UN). UN yang awalnya bertujuan sebagai alat pemetaan kualitas pendidikan dan evaluasi kemampuan siswa, telah berubah menjadi momok yang menakutkan, karena hidup dan mati para siswa akan ditentukan hanya oleh nilai (akademik) UN. Bersamaan dengan itu, maka praktik kecurangan terjadi di mana-mana. Pihak sekolah tak mau kredibilitasnya turun di mana pemerintah dan masyarakat, karenanya pihak sekolah akan berbuat dengan segala cara, mulai dari membentuk tim UN, membocorkan jawaban UN, dan lain sebagainya. Termasuk efek negatif yang kerap kali dialami siswa adalah berujung pada depresi tingkat tinggi dan bahkan sampai bunuh diri. Angin segar berhembus dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Anies Baswedan, ia memastikan bahwa Ujian Nasional (UN) tidak akan lagi menjadi penentu kelulusan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Itu artinya, UN hanya akan menjadi salah satu indikator dalam menentukan kelulusan siswa, selain indikator lainnya yakni Ujian Sekolah (US) dan perilaku siswa selama mengenyam pendidikan di sekolah. Paling tidak, keputusan ini menjadi pelipur dari ketegangan sekaligus praktik kecurangan yang kerap kali membebani para siswa dan pihak sekolah manakala UN berlangsung. Sebagaimana kita ketahui, beberapa bulan menjelang UN, para siswa akan diberikan beban belajar melebihi dari semestinya. Karena tuntutan UN, para siswa dicekoki berbagai soal. Betapa ironis, aktivitas belajar selama bertahun-tahun hanya ditentukan oleh beberapa hari saja. Carut-marutnya pelaksanaan UN ini berujung pada rendahnya kualitas pendidikan nasional. Berdasarkan data The Learning Curve Pearson 2014, Selasa (13/5/2014), merupakan lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, menyebutkan bahwa kualitas pendidikan Indonesia menduduki posisi paling akhir dalam mutu pendidikan di seluruh dunia. Indonesia menempati posisi ke-40 dengan indeks rangking dan nilai secara keseluruhan yakni minus 1,84. Sementara pada kategori kemampuan kognitif indeks rangking 2014 versus 2012, Indonesia diberi nilai -1,71. Sedangkan untuk nilai pencapaian pendidikan yang dimiliki Indonesia, diberi skor -2,11. Posisi Indonesia ini menjadikan yang terburuk. Di mana Meksiko, Brasil, Argentina, Kolombia, dan Thailand, menjadi lima negara dengan rangking terbawah yang berada di atas Indonesia. Lebih daripada itu, pendidikan kita juga masih diliputi banyak masalah. Mulai dari tidak jelasnya kurikulum, metode belajar yang tidak variatif, minimnya kerjasama antara guru dan orang tua, nasib guru honorer yang mengenaskan, tidak meratanya pendidikan, minimnya sarana-prasarana belajar, dan lain sebagainya. Berkenaan dengan hal itu semua, UN sudah sepatutnya tidak dijadikan satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan siswa. Kebijakan Mendikbud harus diapresiasi, tetapi tetap harus diseimbangkan dengan upaya perbaikan di berbagai sisi lain yang masih terdapat kelemahan. Pendidikan harus dikembalikan kepada makna dan aplikasi yang hakikat sebagai proses transformasi yang tidak hanya bertumpu pada sisi intelektual, melainkan juga pada emosional dan spiritual. Maka dari itu segala kebijakan pemerintah dan sekolah yang selama ini selalu mengarah pada intensivitas sisi intelektual harus segera diperbaharui. Melalui pendidikan, tentu kita tidak hanya ingin melahirkan regenerasi yang hanya cerdas secara intelektual, tetapi minus emosional dan spiritual. Seyogyanya ketiga kecerdasan tersebut harus ditransformasikan kepada para peserta didik dengan seimbang dan perlahan. Apalagi pendidikan adalah sebuah proses, karena itu tidak ada pendikotomian ‘anak pandai’ dan ‘anak bodoh’. Sebab, semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah dan pandai. Hanya saja kefitrahan dan kepandaian setiap anak beragam. Dalam kasus yang paling sering terjadi, jangan sampai ditemukan lagi sebuah kebijakan bahwa yang dianggap anak pandai dialah yang menguasai mata pelajaran eksak (Matematika, Fisika, Kimia, dlsj), menyeragamkan dan memaksakan anak untuk dihadapkan dengan soal-soal eksak. Saya kira, mata pelajaran eksak itu penting dalam pendidikan, tetapi juga bukan berarti bahwa mata pelajaran lain dianggap sebagai mata pelajaran yang tidak penting, misalnya kesenian-keterampilan, pendidikan olah raga, IPS, dan lain sebagainya. Karenanya kedudukan semua mata pelajaran adalah sama. Semua mata pelajaran adalah penting. Guru harus menjadi mitra belajar siswa dalam mata pelajaran apapun. Guru harus bisa memotivasi agar siswa mampu mengeksplor potensi dan kemampuannya ketika belajar. Jadi tidak benar, siswa yang mahir dalam Matematika itu dianggap lebih pandai ketimbang siswa yang mahir dalam bidang Kesenian. Ingat, bahwa anak dilahirkan dengan potensi dan kemampuan yang beragam oleh Tuhan. Adalah keteladan sebagai kunci dari berkualitas atau tidaknya pendidikan kita. Tanpa keteladanan, pendidikan hanya menjadi boomerang yang justru akan membuat para regenerasi bangsa semakin terbodohi. Para orang tua, guru, dan umumnya masyarakat harus dapat menjadi teladan kehidupan bagi para pelajar. Sebab pendidikan adalah upaya untuk mendidik anak dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, setiap mata pelajaran harus berspiritkan nilai-nilai kearifan dalam kehidupan. Pentingnya akan pendidikan kesehatan reproduksi-seksualitas, pendidikan anti korupsi, pendidikan lalu lintas, dan lain sebagainya harus menjadi ruh pendidikan yang dapat menghidupkan siswa di setiap mata pelajaran. Wallahua’lam bis-Shawab. *) Kandidat Master Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: