Obama Pun (Enggak) Mampu Jadi Presiden RI

Obama Pun (Enggak) Mampu Jadi Presiden RI

Oleh: ATJEP AMRI WAHYUDI Bagian Ke : 72      SEBUAH pesan masuk ke ponsel BB kerabat penulis yang kebetulan merupakan petinggi BUMN. Sudah lebih dari sepekan ini ia mengikuti RDK (rapat dengar pendapat) di Gedung DPR. Isi pesan singkat tapi cukup membuatnya menghela napas panjang, “RDK ditunda sampai ada pengumuman lebih lanjut, terkait dengan perseteruan KPK Vs Polri”. Pantas saja kalau ia merasa nggak nyaman dengan info tadi, karena peningkatan kinerja perusahaan BUMN yang dipimpinnya sangat terkait dengan hasil RDK. Namun penulis melihat pesan BB tadi dari perspektif yang lain. Apa itu? Mungkin Anda juga punya analisanya yakni : apa kaitan antara perseteruan KPK Vs Polri dengan tertundanya suatu rapat di tingkat DPR? Sebagaimana kita ketahui, saat ini sedang merebak kegaduhan antara KPK dan Polri. Gaduh dimulai dari surat Presiden Jokowi ke DPR untuk melakukan fit and proper test atas calon kapolri, Komjenpol Budi Gunawan. Surat Jokowi langsung direspon oleh DPR. Singkat kata, DPR menyetujui Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri yang baru. Tragisnya, di sela-sela pelaksanaan fit and proper test, BG dinyatakan sebagai tersangka (tsk) oleh KPK pada 12/1. Kejadian yang sebenarnya tidak mengejutkan mengingat sudah biasa KPK menetapkan pejabat publik jadi tsk. Publik baru terkejut ketika salah seorang pimpinan KPK, Bambang Widjajanto (BW) ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri saat mengantar anaknya ke sekolah (23/1). Jadi hanya sekitar 10 hari terjadi “pantun berbalas” alias saling penetapan sebagai tersangka antara kedua lembaga penegak hukum. Mundur sejenak sebelum penetapan BW sebagai tsk polri, Presiden Jokowi sudah menyatakan menunda pelantikan BG sebagai kapolri. Ketika hal terakhir ini terjadi, juga adem ayem saja, sampai akhirnya tersiar berita pelaksana tugas Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menyatakan bahwa Ketua KPK, Abraham Samad, pernah mendekati sejumlah petinggi PDIP untuk membantu AS agar dapat menjadi cawapres bagi Jokowi pada pilpres yang lalu. Bola api terus membesar. Usai “testimoni“ Hasto, satu persatu komisioner KPK dilaporkan ke kepolisian atas sejumlah tindakan yang diduga melanggar hukum di masa yang lalu. Sampai sekarang kasus yang dikenal masyarakat sebagai “Cicak Vs Buaya” jiulid III ini masih terus bergulir dengan panasnya. Dan ternyata imbasnya sampai juga ke gedung DPR seperti yang jadi pintu Obrolan Pagi ini, dimana sebenarnya lembaga terakhir ini tidak tersangkut apapun terkait krisis. Namun secara tidak langsung mereka terganggu juga akibat peristiwa tadi. Di kalangan masyarakat biasa (penulis, dalam hal ini) bukannya tidak tersangkut  dengan teman-teman “satu kasta” dalam arti hanya berpolemik lewat e mail, BBM ataupun SMS. Penulis mendapat sentilan dari teman yang pada pilpres kemarin menjagokan pasangan capres tertentu. Dikatakannya, kenapa kok Jokowi yang begitu trengginas menghadapi kapal-kapal nelayan asing dan juga tega mengeksekusi mati para narkobais (termasuk wanita di dalamnya) namun terkesan kebingungan menghadapi kasus perang antar lembaga hukum. Lantas penulis menanggapinya dengan santai. Apapun yang terjadi setelah tanggal 20 Oktober 2014, maka dukungan penulis kepada pasangan pilpres tertentu sudah berakhir. Jadi kalau saat ini Jokowi menjadi mumet bin puyeng, yah biar aja. Sudah risikonya sebagai presiden maka harus berani melakukan apa saja beserta risikonya. Yang jadi atensi penulis justru bukan konflik itu sendiri, melainkan ekses yang ditimbulkannya. Yang sudah pasti (karena penulis ketahui sendiri) adalah tertundanya RDK di DPR. Masih ada lagi? Ada! Beberapa pengamat pasar uang dan modal terkesan resah atas terjadinya konflik ini. Mereka berharap krisis segera berakhir. Krisis yang terlalu lama akan menyebabkan investor menahan investasinya. Dan ujung-ujungnya pasti akan mengganggu roda perekonomian nasional. Demikian juga merosotnya nilai rupiah yang sempat menyentuh Rp12.900 per US $ juga tidak bisa dipisahkan dari terjadinya krisis antara lembaga hukum. Penulis sampai bertanya-tanya (dalam hati) kenapa kok yang di akar rumput jadi pada ribut gini. Padahal kami (penulis dan teman diskusi) sama sekali bukan polisi apalagi pimpinan KPK he…he..he.. Namun, it’s ok…Ini semua membuktikan bahwa kegaduhan dalam skala apapun namun jika terjadi di tingkat pimpinan negara, maka imbasanya pasti akan sanagat terasa sampai ke masyrakat lapis bawah. Lihat saja, semula pemerintah sedang siap-siap menekan pelaku pasar agar harga-harga (termasuk ongkos angkutan) diturunkan menyusul turunnya harga BBM. Namun wacana ini sekarang ,menguap seiring geger tadi. Tetapi semua argumentasi penulis tetap saja mendapat penolakan keras dari sohib tadi. Akhirnya, penulis habis kesabaran (dongkol tapi tetap nyantai kok), penulis tulis di BB begini,”……Broo, seandainya Barrack Obama jadi Presiden RI, belum tentu dia sanggup atau minimal pasti punyeng.” Benarkah? Tanya aja pada Obama he…he...(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: