Dari Penghujung Musim Penghujan

Dari Penghujung Musim Penghujan

Oleh: Akhirunnisa Rahmaniah  “CINTA adalah hal yang selalu aku jalani seorang diri. Cinta hanya menyisakan luka dan air mata. Cinta juga rumit jika melibatkan banyak pihak. Ya, itulah cinta. Sulit dimengerti jika tidak dicerna dan dipahami secara rasional.” *** Seorang gadis masih berkutat dengan soal-soal matematika di meja belajarnya. Hari libur seperti ini memang selalu dimanfaatkannya untuk menyelesaikan soal-soal matematika simulasi ujian nasional yang akan dihadapinya. Salwa-gadis itu- terlihat sangat serius sampai akhirnya ia menghentikan kegiatannya, menjatuhkan kepala di antara kedua tangannya di atas meja belajar. “Soal macam apa ini? Ck! Padahal di buku ngga ada contoh soal kaya gini, rumusnya pun ngga ada! Gimana cara ngerjainnya coba?!” Salwa mengacak-acak rambutnya frustasi. Hampir semua soal bisa dikuasainya, tinggallah beberapa jenis soal yang sama yang sama sekali tak dimengertinya. Salwa hanya terdiam, merehatkan otaknya sejenak dari soal-soal ‘sialan’ itu. Pandangan matanya tertuju sebuah mainan minion kecil di meja belajarnya. Mainan yang dibelinya beberapa minggu yang lalu. Tiba-tiba potret wajah seseorang terlintas dalam pikirannya. Salwa menegakkan tubuhnya, menatap lurus keluar jendela kamarnya dengan tatapan kosong. Hari masih gelap meski waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 pagi. Bongkahan awan masih belum sirna, belum memberi kesempatan sang surya mengambil bagiannya. Rintikan gerimis kecil belum reda sejak malam tadi. Suasana yang cukup memperkeruh situasi hati dan pikiran Salwa karena Salwa bisa merasakan ada sebuah rasa yang mulai menjalar dalam hatinya, yang tak lain adalah rindu. ‘Ali’ Lelaki yang sampai saat ini belum berhenti mengganggu pikirannya. Dan juga, yang sampai ini belum membalas perasaan Salwa. Perasaan yang semakin Salwa coba sembunyikan, malah semakin berkecamuk. Salwa meraih mainan minionnya. Ya, jelas ini membuatnya teringat pada Ali karena Ali juga sama seperti diirnya; terobsesi dengan minion. Salwa tersenyum getir. ‘Apa kabar kamu sekarang?’ gumam Salwa dalam hati. Mungkin ia pikir dengan bergumam seperti ini bisa sedikit mengobati rasa rindunya. Kemudian pandangannya beralih pada ponselnya. Berharap lampu LED di ponselnya menyala yang kemudian nama lelaki itu terpampang di layar ponselnya. Tapi ia tahu, itu tak akan terjadi. ‘Mungkin, kalau hubungan kita masih normal kaya dulu, aku ngga akan sungkan buat nanyain soal-soal ini ke kamu. Kamu kan maniak matematika. Tapi sekarang kita jauh. Kamu pasti punya kesibukan yang lain.’ Lagi-lagi Salwa bergumam. Setitik cairan bening berhasil lolos dari pelupuk matanya. Salwa, bagaimanapun juga belum bisa menghapus perasaannya kepada Ali. Sekuat apapun ia berusaha untuk melupakan Ali dan semua hal diantara mereka, Salwa tidak bisa. Tiba-tiba LED ponselnya menyala, menandakan ada pesan masuk. Salwa dengan cepat meraih ponselnya, berharap pesan itu dari seseorang yang sedari tadi ia tunggu. ‘from: Fikri Jangan telat makan, nanti sakit.’ Salwa memutar bola matanya. Pesan yang tak sesuai dengan harapannya. ‘Ck! Dia lagi!’ gerutu Salwa kesal. ‘Disuruh berhenti masih tetep! Dicuekin pasti marah! Udah dibilangin, mending menjauh tapi masih tetep juga! Dasar aneh!’ lanjutnya menggerutu. Selang beberapa menit, LED ponselnya kembali menyala. Pesan dari Fikri (lagi). Salwa membacanya malas. ‘from: Fikri Terhitung mulai detik ini, aku akan berhenti berharap dan mengusik hidupnya. Aku menyadari kehadiranku yang tak diharapkannya dan aku menyadari setiap perhatianku yang tak digubrisnya. Juga mulai detik ini, aku akan mulai mencintainya dalam diam dan menikam dengan kejam setiap kerinduanku padanya yang berusaha muncul ke permukaan..’ “TERSERAAAH!” Salwa kembali mengacak-acak rambutnya frustasi kemudian melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Salwa benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Pikirannya mulai melayang lagi. Hidupnya kini terasa lucu. Di sana ada seseorang yang mencintainya sangat dalam, sementara ia di sini mencintai seseorang yang sama sekali tak bisa ia raih. Andai Salwa bisa mengendalikan perasaan seseorang. Tapi tak mungkin, mengendalikan perasaannya sendiri saja ia masih belum mampu. Terkadang ia merasa bersalah kepada Fikri. Sudah sangat banyak hal yang Fikri lakukan hanya untuknya. Perhatian Fikri yang ditujukan padanya mungkin sudah tak terhitung. Fikri memang lelaki yang baik, tulus, juga rajin beribadah. Namun perasaan memang sulit dikendalikan. Salwa tidak mencintai Fikri dan ia tidak bisa memaksakan perasaannya itu--meski sudah mencobanya. Ya. Cinta memang rumit. *** Di sebuah tempat bimbel, bel telah berbunyi memperdengarkan musik yang menandakan berakhirnya kegiatan belajar mengajar pada hari ini. Guru pengajar keluar dari ruang kelas, begitu pula dengan para siswa yang mulai beranjak satu per satu. Salwa bersama dua orang temannya, Nana dan Aulia, baru bangkit dari tempat duduk mereka setelah ruangan sepi. Nana mendahului keluar dari ruang kelas mereka, namun baru beberapa langkah ia keluar dari pintu, Nana berbalik menghadap ke arah Salwa. “Sal, ada Ali!” Ujar Nana antusias. Seketika, raut wajah Salwa yang semula berukir senyum, kini memudar. Salwa menatap Nana tajam. DEG Hati Salwa berdetak lebih cepat dari biasanya. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Ya, rasa rindu itu sedang menjalar ke seluruh tubuh Salwa. Seperti biasa, lututnya selalu terasa bergetar ketika ia mendengar ada Ali. “Terus kenapa?” balas Salwa ketus. Salwa berhasil menyembunyikan perasaannya, meski sebenarnya hatinya terus berontak, berkecamuk tanpa bisa dinetralisir, setiap kali ia tahu akan bertemu dengan Ali. Nana hanya terdiam mendengar respons Salwa yang kurang enak. Aulia melirik Salwa dan Nana bergantian, ia mengerti ini bukan situasi yang baik. Aulia menarik tangan Salwa untuk segera pulang, diikuti Nana. Benar saja, Salwa mendapati sosok itu. Sosok lelaki berkacamata yang selalu mampu menguras habis tenaga Salwa saat harus bertatap muka langsung. Lelaki yang telah lama ini dirindukan Salwa, yaitu Ali. Salwa dan Ali saling bertatapan sekilas, senyum samar terukir di wajah Salwa, berharap yang diberi senyum membalasnya. Namun sayangnya tidak. Bahkan lelaki itu malah membuang muka ketika Salwa mencoba memberinya senyum samar. Terkesan mengabaikan. Ya, mungkin memang begitu. Hatinya berdesir, berontak dengan keadaan. Salwa bersama kedua temannya terus berjalan, menunggu mobil umum yang akan mereka tumpangi menuju rumah. Salwa meraih ponsel dari dalam tasnya. Berharap ada pesan dari lelaki yang baru saja bertemu dengannya. Tidak ada pesan masuk. Padahal dahulu, setiap kali Ali bertemu dengan Salwa, setelah itu Ali pasti mengirim Salwa pesan. Entah itu sekadar basa-basi, atau ucapan ‘hati-hati’ untuk Salwa yang sedang dalam perjalanan pulang. Tapi sekarang itu tidak ada lagi. Mungkin Ali telah benar-benar melupakannya. Luka itu kembali menganga. Rasa nyeri kembali menyergap Salwa, tepat di ulu hatinya. Salwa tak bisa memungkiri bahwa ia masih mengharapkan Ali. Meski Salwa tahu, ruang hati Ali telah ada yang menyinggahi; Nurul, gadis baik, cantik, pintar, anggun yang jelas tak sebanding dengannya. Salwa hanya tersenyum getir mengingat dirinya bukanlah siapa-siapa dalam kehidupan Ali. “Kamu kenapa, Sal?” Suara Aulia membawa Salwa kembali ke alam sadarnya. “Eh...kenapa apanya? Ngga kenapa-kenapa kok,” Salwa menggeleng cepat, mencoba mengukir senyum. “Ngga kenapa-kenapa gimana? Kamu nangis!” Aulia sedikit membentak Salwa, ia terkadang jengkel dengan sikap sahabatnya ini. Aulia mengusap genangan airmata di tebing pipi Salwa. “Kelilipan kayanya, aku ngga ngerasa nangis, kok!” Salwa masih mengelak padahal sudah jelas ia menangis dengan sebuah alasan. Ia mencoba mengukir senyum samar, tapi sayangnya Aulia tidak bisa tertipu oleh senyum palsunya itu. “Salwa, dengerin aku,” Aulia menatap lekat kedua bola mata Salwa. Di samping Aulia, Nana hanya memperhatikan tanpa ikut berbicara. “Sebentar lagi kita udah mau ujian nasional, kamu udah punya target kan mau dapet nilai berapa dan mau masuk SMA mana? Inget target, Sal! Sekarang udah seharusnya kita bener-bener serius dalam belajar! Urusan cinta bisa dicancel kan?” Aulia berbicara dengan nada yang serius. “Lagipula kenapa masih mikirin Ali sih? Dengan begitu kamu bukannya terlihat tulus, tapi lebih ke bodoh. Kan kamu sendiri yang selalu bilang ke aku dan temen-temen yang lain, kita boleh kenal cinta asal jangan mau dibodohin.” Nada bicara Aulia mulai melemah, tak kuasa jika harus terus-terusan membentak sahabatnya ini. Salwa bukan perempuann yang cukup kuat dalam keadaan seperti ini. “Iya, aku tau, Aul. Makasih udah mengingatkan,” Salwa tersenyum lembut. Senyum disertai air mata. Aulia segera mendekapnya, mencoba sedikit meringankan beban yang Salwa tanggung. *** “Ada apa? Kok tumben?” Suara Ali memecah keheningan. Salwa menarik napasnya panjang. Jantungnya memompa darahnya lebih cepat dari biasanya, bahkan sangat cepat. Bagaimana tidak, duduk berhadapan dengan orang yang sangat dicintainya setelah sekian lama menanggung rindu, tak mungkin jantungnya bisa berdetak dengan tenang. Saat ini, mereka berdua duduk berhadapan di bagian tutor di tempat bimbel mereka. Waktu masih menunjukkan satu jam lagi untuk kegiatan belajar mengajar. Salwa sengaja meminta waktu kepada Ali untuk berbicara sesuatu. “Sebelumnya maaf ya jadi ganggu waktu kamu. Aku cuma pengen minta maaf aja, selama ini aku terlalu sering ganggu waktu kamu buat hal ngga penting, aku juga sering bersikap aneh, kadang marah kadang sedih yang mengatas namakan kamu padahal kamu ngga salah,” Salwa menahan napasnya sejenak, kemudian melanjutkan kata-katanya. “Sekarang aku paham, kamu punya banyak kesibukan, jadi pantas aja kalau kamu bersikap cuek dan acuh tak acuh, aku ngga berhak buat marah dan menyalahkan kamu. Sejak awal ini kesalahan aku, dan sampai sekarang pun masih kesalahan aku, bukan kesalahan kamu. Jadi, aku minta maaf.” Salwa memberanikan diri menatap Ali di akhir kata-katanya. Ali yang semula menatapnya serius, kini menarik sudut bibirnya, mengukir sebuah senyum. Ia paham betul apa yang disampaikan perempuan di hadapannya. “Hey, aku itu ngga bermaksud cuek sama kamu. Dan satu hal yang perlu kamu tau, mencintai seseorang itu bukan suatu kesalahan, berhenti menyalahkan diri kamu teruus-terusan. Kamu cuma terlalu berlebihan. Saat kamu rindu, jujur aja. Saat kamu marah pun jujur aja. Karena kamu lebih pilih memendamnya, seolah-olah aku yang mengabaikan, bukannya gitu?” Salwa mencoba mencerna perkataan Ali sebaik mungkin. Menangkap makna di setiap kata yang terlontar dari mulut Ali. “Syukur deh kalo kamu ngga marah. Mulai saat ini, aku bakal berhenti gangguin kamu, hehe..” Salwa tersenyum kikuk, terlebih saat mengatakan kalimat terakhirnya. Ini keputusan yang sudah ia pikirkan baik-baik. “Loh, aku ngga merasa terganggu, kok.” Balas Ali. Salwa menggeleng cepat. “Aku ngerasanya ganggu. Pokoknya aku bakal berhenti, janji!” Ali hanya terdiam, sedikit merasa bersalah kepada perempuan di hadapannya. Ali tahu seberapa besar perempuan ini mencintainya, tapi ia menyesali perasaannya yang tak pernah bisa membalas cinta tulus Salwa. Ali hanya berharap Salwa bisa mendapatkan yang terbaik. “Aku ke kelas, ya. Makasih waktunya.” Salwa beranjak dari tempat duduknya. “Oh iya!” Salwa kembali menghadap ke arah Ali mengambil sesuatu dari saku seragamnya. Mainan minion yang sama seperti miliknya. “Masih suka minion, kan? Disimpen ya, buat kenang-kenangan. Jarang loh ada yang jual! Hahaha” Salwa memberikan mainan minion itu kepada Ali seraya tersenyum hambar. Ali hanya menerimanya dengan senyum samar. ‘Makasih..’ Gumam Ali dalam hati karena Salwa telah membalikkan tubuhnya dan bergegas pergi. Kemudian Salwa melangkahkan kakinya menuju ruang kelas dengan gontai. Matanya mulai memanas, membendung butiran bening bak Kristal yang siap meluncur sewaktu-waktu. Semuanya sudah berakhir.. Dan mulai detik ini, dari penghujung musim penghujan, Salwa akan membuka lembaran baru dalam catatan hidupnya. Lembaran baru yang tentu harus lebih baik dari sebelumnya. *** Mentari pagi telah mengambil posisinya, mengedarkan berkas-berkas cahaya ke sudut-sudut bumi yang mendapat giliran. Mentari akhirnya datang, menggantikan rintik hujan yang biasanya membasahi pagi. Musim telah berganti, dari penghujan menjadi kemarau.. Salwa melangkahkan kakinya menuju ruang kelas, dengan semangat baru tentunya. Ia terhenti ketika sampai di ambang pintu ruang kelasnya. Terhenti karena seseorang yang berdiri tepat di hadapannya. Fikri. Seketika suasana menjadi hening, keadaan seperti membeku. Keduanya sama-sama terdiam. Sampai sebuah senyum terukir di wajah Salwa, mencairkan suasana beku diantara mereka. Untuk beberapa saat, Fikri merasa bingung, namun pada akhirnya ia membalas senyum Salwa. ‘Tidak biasanya Salwa tersenyum setulus ini,’ gumam Fikri dalam hati. Fikri tentu saja merasa senang, mendapat sebuah senyum dari Salwa. Senyum tulus yang selalu ia rindukan. Kemudian mereka tertawa, menyadari kecanggungan yang terjadi diantara mereka saat ini. Salwa dan Fikri lebih terlihat seperti dua orang yang baru saling mengenal. “Hahaha.. Lucu ya, kita kaya orang yang udah berapa tahun ngga ketemu, canggung banget.” Salwa tertawa renyah, begitu juga dengan Fikri. “Iya jadi aneh gini deh, kangen juga, hahaha..” Fikri masih tertawa sementara Salwa menatap tajam Fikri. Membuat Fikri terpaksa mengehentikan tawanya. “Mulai lagi,” Salwa memutar bola matanya kemudian masuk ke dalam kelas, sementara Fikri masih melanjutkan tawanya. Tawa yang sebelumnya sempat hilang, terbawa bersama Salwa yang kian menjauh darinya. Tapi kini, semua harus baik-baik saja. Bagaimanapun juga, mereka adalah teman satu kelas, tidak boleh ada konflik atau semacamnya. Di dalam kelas, Nana dan Aulia menyambutnya dengan senyum yang kian mengembang. “Akhirnya, Salwa yang dulu balik lagi,” Ujar Nana menahan tawa. “Kemarin-kemarin juga kaya gini kok!” Salwa mengelak seraya menjulurkan lidahnya kepada kedua sahabatnya itu. “Apaan bohong banget deh! Salwa yang kemarin tuh ya, galau mulu! Baru datang ke sekolah, udah ngobrol sama buku, coret-coret. Engga banget! Hahaha.” Aulia menambahi. Gelak tawa di antara mereka akhirnya terpecah. Suasana kembali mencair seperti dahulu, tepat di awal musim kemarau yang cerah. Salwa telah bertekad untuk tidak lagi menikam hatinya dan terus menyiksa dirinya hanya karena hal sebodoh ‘cinta’. *** “Semusim sudah rasa itu bersarang di hatiku. Ku akui meski telah berkali-kali mencoba, rasa itu belum kunjung sirna. Di penghujung musim penghujan kala itu, aku telah berjanji padamu untuk tidak mengganggumu lagi, dan aku berhasil. Sekarang, aku hanya berusaha untuk menanggapi cinta sebagai perasaan rasional sehingga aku tidak akan lagi mengalami pembodohan. Di awal musim kemarau ini, aku ingin membagi senyumku untuk mereka yang menyayangiku. Aku ingin senyumku selalu mengembang seperti berkas-berkas sinar sang surya yang tak pernah letih menyinari bumi kemarau setiap harinya.” -END-  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: