Sastra dan Politik dalam Pembacaan  Louisa Valenzuela

Sastra dan Politik dalam Pembacaan  Louisa Valenzuela

Oleh : Bakhrul Amal   DALAM sejarah perjalanan suatu bangsa, sastra selalu saja hadir. Oleh karenanya, tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa, sastra adalah bagian daripada politik. Adalah Louisa Valenzuela, putri tertua dari penulis ternama Argentina Luisa Mercedes Levinson, yang mencoba menjawab kepingan yang tampak terputus di atas. Valenzuela sendiri lahir pada tahun 1938, tahun dimana Hobsbwan menyebutnya dengan Age of Empire (termasuk juga, sastra yang terisolasi oleh bahasa karena tidak ada keseriusan secara sistematis untuk mengalih bahasakannya). Atau juga, era kesadaran, era yang dalam kacamata Foucault bahwa ‘.. nyatanya subjek manusia selalu dikendalikan oleh diluar daripada dirinya (ideologi)’. Untuk beberapa keadaan itulah, maka, Valenzuela dinilai tepat untuk dijadikan rujukan. Kehidupan sastra, menurut Valenzuela, adalah gairah. Sastra baginya benar-benar bernyawa dan sesuatu yang harus diperhitungkan, baik oleh media ataupun juga ruang publik. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, para penulis mulai dihantui penyakit individualism. Media pun lebih banyak menaruh perhatian pada politisi, aktris muda dan komedian. Pada awalnya, atas bujukan Borges, Valenzuela menjadi seorang yang begitu konservatif. Dia adalah orang yang pernah jatuh dalam lumbung angan-angan ‘seni untuk seni’. Bahkan, pada saat itu, Valenzuela mengakui bahwa dalam tulisannya dan juga di dalam pikirannya, politik tidak boleh ada. Valenzuela lambat laun sadar. Dia berusaha memulai untuk menatap segalanya dengan patuh pada realitas. “dunia bernafas politik, makan politik, perkara berak pun politik” katanya. Oleh sebab itu, menurut Valenzuela, “..tak ada satupun penulis yang menapaki jalanan yang ditinggalkan oleh Tuhan itu kebal terhadap jejaring ‘laba-laba’ politik yang mengitarinya”. (The writer in politics : William H Gass ) Žižek menilai bahwa pada beberapa dekade yang lalu, orang-orang masih membicarakan masa depan politik kemanusiaan. Setidaknya ada wacana mengenai akankah kapitalisme menang atau akan digantikan oleh komunisme atau bentuk lain dari \'totalitarianisme\'? (jalan ketiga). Namun saat ini, menyadur kegelisahan Žižek, sekalipun kehidupan di bumi ini hilang, Kapitalisme akan tetap tumbuh. Aktualisasi akan jeratan politik yang diutarakan Valenzuela, dan kenyataan merajalelanya kapitalisme yang diambil berdasar analisa Žižek, menimbulkan apa yang disebut dengan “Sastra Matre”. Jika dahulu, sastra tercipta untuk menimbulkan kesadaran (Semaun dengan Hikajat Koedirun, Pramoedya dengan Bumi Manusia, Indonesia Moeda dll), kini, sastra dihadirkan cenderung melihat keuntungan materialisme-nya semata. Yang  oleh karena itu, politik dan berbagai macam alatnya justeru kemudian mudah masuk serta mempengaruhi kemurnian tujuan daripada sastra. Meskipun serupa tapi tak sama, kematian nalar dikarenakan politik adalah kategori dari sebuah ideologi dari kejahatan global. Hipotesa Žižek mengidentifikasi bahwa akhirnya subjek manusia dianggap sebagai \'sesuatu yang dapat menyakiti\'. Beberapa sastrawan radikal menanggapi keadaan itu dengan tindakan utopis. Mereka, menurut Žižek, mengkontemplasi keadaan politik itu (political quietism) sambil menunggu aksi heroik tiba-tiba datang. Žižek sendiri mengusulkan politik penarikan untuk menghadapi hal tersebut. Politik penarikan sendiri yaitu menjauh dari aktivitas yang akan memanjakan (anti-mainstream). Lekra mungkin menjadi represntasinya, yang namun paradoks karena lambat laun jatuh pada penguasa dan juga mengangkangi Manikebu. Valenzuela memang selalu unik. Dia mencoba tetap kooperatif pada kenyataan dunia dengan tanpa meninggalkan idealismenya. Dia punya “..cara menghadapi kenyataan itu”. Cara yang ditawarkan oleh Valenzuela “..adalah dengan menghindari menulis langsung perihal politik tanpa kehilangan kontak dengannya” kata Valenzuela.  Maksudnya bagaimana? Maksudnya “...kita tembakan anak panah bahasa tanpa membebaninya dengan pesan; jika hal itu merupakan anak panah yang baik, jika tembakan tepat mengenai sasaran, ia akan menembus tanda politik dengan sendirinya, tanda yang bahkan penulisnya sendiri boleh jadi tak sadar kapan mulai menembak, kapan mulai menulis,” Memang, meskipun saran telah diberikan oleh Valenzuela, dalam persimpangan itu, pemantik sastra seringkali berada pada keadaan yang ambivalen. Mereka cenderung jatuh dalam kerubungan pragmatis yang menawarkan kemewahan. Valenzuela pun tak menampik “Di sisi lain, saya sering menyesali bahwa saya tidak menulis karena saya terlalu malas atau terlalu pengecut”. Karenanya, bagi Valenzuela, demi kemurnian pikiran “...menulis ita membutuhkan keberanian yang nyata dan komitmen.”  

  • Penulis adalah Rumah Kertasian

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: