Islam dan Signifikansi Pendidikan Kespro Remaja

Islam dan Signifikansi Pendidikan Kespro Remaja

Oleh Mamang M. Haerudin Baru-baru ini (1/2/2015), The Foundation Kita dan Buah Hati, melalui Direkturnya Elly Risman P, melaporkan bahwa Aceh adalah provinsi terrawan untuk tingkat pelecehan seksual, disusul Jawa Timur di urutan kedua dan Jawa Barat di urutan ketiga. Miris. Mana bisa tiga provinsi yang dikenal agamanis (Islami) tetapi ternyata tingkat kejahatan seksualnya tertinggi secara berurutan. Aceh adalah provinsi yang sejak lama selalu ngotot dengan penerapan syariat Islam, sementara Jatim dan Jabar adalah dua provinsi yang banyak dihuni pesantren dan lembaga pendidikan Islam lainnya. Meningkatnya angka kekerasan seksual dengan berbagai macam bentuknya, terutama di dalam ranah pendidikan, menjadi duka nestapa tersendiri untuk bersama kita renungkan dan evaluasi. Pendidikan di sekolah formal, dalam kurun waktu dewasa ini masih terdominasi aspek pengajaran, yakni sebatas pemindahan bahan ajar guru kepada siswa an sich. Praktik pendidikan yang mengalami distorsi demikian, mau tidak mau telah menyebabkan pendidikan nasional kehilangan karakternya. Imbasnya mewabah, para siswa rentan terjangkiti perilaku destruktif. Beberapa di antara perilaku destruktif yang banyak mengemuka adalah mulai dari penyalahgunaan narkoba, tawuran, sampai kepada pornografi, seks bebas, perkosaan, pelecehan seksual, aborsi, HIV/AIDS, hamil di luar nikah, dan perilaku destruktif serupa lainnya. Di sinilah nampak betapa pendidikan kesehatan reproduksi (kespro) begitu penting untuk diilhami. Istilah reproduksi sendiri berasal dari kata re yang berarti kembali, sedangkan produksi artinya menghasilkan. Jadi dapat dipahami bahwa reproduksi berarti suatu proses melanjutkan keturunan pada manusia demi kelestarian hidup manusia. Sejalan dengan di atas, menurut tim dari Mitra INTI, bahwa kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai keadaan sejahtera secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungi, dan prosesnya. Konferensi Kependudukan dan Pembangunan Dunia atau Internasional Conference of Population and Development (ICDP) pada tahun 1994 di Kairo, Mesir telah berhasil merumuskan kesepakatan internasional mengenai kesehatan reproduksi. Chapter (nan) VII dari Plan of Action hasil ICDP memberikan definisi tentang kesehatan reproduksi, sebagai berikut: “Reproductive health is astate of complete physical, mental, and sosial well-being in all matters relating to the reproductive system and to its functions and process. It implies that people have the capability to reproduce and the freedom to divide if, when and how often to do so. Implicit in this is the right of man and women to be informed and to have access to safe, effective, affordable, and acceptable methods of familiy planning of their choice for regulation of fertility, which are not against the law, and the rights of access to health-care services that will enable women to go safety through pregnancy and child-brith. Reproductive health care also includes sexual health, the purpose of which is the enhancement of life and personal realations.” (Kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental, kelayakan sosial secara menyeluruh, dalam segala hal yang bersangkutan dengan sistem reproduksi berikut fungsi-fungsi dan proses-prosesnya. Ditekankan bahwa manusia punya kemampuan untuk bereproduksi dan punya kebebasan untuk menetukan jika, kapan, dan seberapa sering melakukannya. Secara implisit di sini adalah hak untuk laki-laki dan perempuan untuk mendapat informasi dan mendapat akses pada perencanaan keluarga yang aman, efektif, terjangkau, dan layak, atas pilihan sendiri sebagaimana juga cara-cara lain yang mengatur kesuburan, yang tidak melanggar hukum, dan hak untuk mengakses pelayanan kesehatan yang akan memungkinkan perempuan untuk mengalami kehamilan dan persalinan yang aman. Pelayanan kesehatan reproduksi juga termasuk kesehatan seksual, dengan tujuan perbaikan kehidupan dan hubungan pribadi). Berkenaan dengan pendidikan kesehatan reproduksi pada remaja, selain mereka harus diberikan asupan makanan dan gizi yang cukup untuk kesehatan fisik, juga diarahkan pada pola pergaulan yang baik untuk kematangan psikisnya. Satu di antara pola pergaulan dalam pendidikan Islam misalnya sebagaimana tertera dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, “Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa beliau mendengar baginda Nabi SAW berkhutbah dan berkata: “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan di tempat sepi, kecuali ada mahram baginya (perempuan).” Kalau coba kita gali makna hadis ini, maka kita bisa memahami bahwa pola pergaulan remaja yang sehat itu ditandai dengan larangan terhadap potensi berdua-duaan (pacaran) antara remaja laki-laki dan perempuan. KH Husein Muhammad salah seorang tokoh penting dalam bidang pembedayaan dan keadilan perempuan, ketika mengomentari hadis ini menyatakan bahwa larangan Nabi SAW ini tidak lain merupakan tindakan preventif bagi terjadinya perbuatan lain yang sangat terlarang, yaitu suatu hubungan seksual di luar perkawinan (perzinahan). Menurut saya, analisis KH Husein Muhammad dalam mengomentari hadis di atas sangat menarik dan tepat. Sebab fenomena pacaran begitu berimplikasi lurus terhadap tingkat pergaulan bebas; seks bebas, kekerasan dalam pacaran, hamil di luar nikah, aborsi, dan lain sejenisnya yang semakin tinggi dan mengkhawatirkan. Titik simpul dari kesehatan reproduksi bagi remaja adalah bahwa pihak-pihak terkait; keluarga (orang tua), sekolah, dan masyarakat serta pemerintah mesti memiliki kepekaan tinggi dalam memberikan perhatian dan perlindungan kepada remaja, sebab remaja—sebagaimana kita ketahui—adalah masa labil, masa di mana mereka melakukan proses dalam menemukan jati diri. Maka berbagai problematika seputar kesehatan reproduksi bagi remaja seperti mengenal dan merawat organ reproduksi, khitan perempuan, siklus haid (menstruasi), pubertas, bahaya HIV/AIDS, narkoba, pola pergaulan (persahabatan, pacaran, dan lain-lain), dan lain-lain harus dikomunikasikan secara jujur, terbuka, dan intensif kepada para remaja oleh orang tua, guru, dan pihak-pihak terkait lainnya. Demikian bahwa pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja merupakan sebuah keharusan dan kebutuhan. Keharusan itu merupakan kebutuhan yang tak dapat ditawar-tawar lagi, jika Indonesia menginginkan kemajuan para remaja yang berarti dan membanggakan. (*)   *) Kandidat Master Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: