Menerapkan Nilai Luhur Pesantren

Menerapkan Nilai Luhur Pesantren

OLEH : BAKHRUL AMAL  (Memaknai Harlah Ke-89 NU) Sejarah panjang kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dapat lepas dari pengaruh dan perjuangan pesantren. Dari mulai kesabaran melakukan edukasi yang sifatnya menggerakkan kemampuan intelektual, sampai pergolakan berdarah melawan penjajah. Adalah tragedi 10 November 1945 di Surabaya sebagai magnum opus dari pembuktian bagaimana intelektualitas dan jiwa-jiwa ke-Indonesia-an pesantren itu amatlah luhur. Dengan keyakinan yang besar, bukan hanya berhasil mengusir secara fisik, pesantren melalui perjuangan intelektual santri dan kiainya juga berhasil membuat Belanda mengucapkan “kata menyerah”. Namun, life style pesantren yang amat melegenda itu belakang ini mulai sedikit ditinggalkan masyarakat. Ciri dari ditinggalkanya spirit pesantren dalam kehidupan masyarakat dapat kita lihat melalui beberapa hal; pertama, masyarakat saat ini mulai pragmatis. Kedua, masyarakat mulai mencari dan melakukan hal yang sifatnya cepat dirasakan. Ketiga, masyarakat hampir tidak lagi secara istiqamah mendirikan bangunanya. Bahkan yang lebih parah adalah, masyarakat meminta untuk dibangunkan gedungnya itu (bangunan kehidupan). Yang terakhir disebutkan adalah strata terburuk. Artinya, masyarakat sudah mulai tidak percaya pada kemampuanya. EMPAT TAHAP PENDIDIKAN PESANTREN Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya ingin sedikit menggugah kembali ingatan kita pada perjuangan pesantren melalui tata ajarnya. Sifat sabar, istiqamahdan zuhudyang dimiliki santri dan kiainya tidak berangkat dari proses yang instan. Sebelum dinyatakan lulus, mereka harus melalui beberapa tahap pendidikan. Tahap-tahap itu dijelaskan Kiai Said Aqil Siradj sebagai empat keunggulan pesantren. Empat keunggulan itu terdiri dari ta’lim, tadris, ta’dib dan tarbiyah. Empat tahap ini adalah proses wajib yang harus dilalui seorang santri di pesantren. Yang pertama adalah ta’lim.Yaitu sistem pengajaran dimana mewajibkan kiaiharus tekun dan menguasai ilmu. Sebelum muncul model sertifikasi guru, pesantren telah memulainya jauh 60 tahun kebalakang. Pesantren yang nantinya menjadi tempat dimana santri-santri berkopiah itu belajar, harus mendapat pendidikan dari mentoryang terbaik. Proses belajar di pesantren pun mendahului sistem demokrasi. Di pesantren, budaya musyawarah dan diskusi adalah suatu hal yang sangat umum dan penting. Tujuanya untuk mengetahui semaksimal mana pesantren, melalui kiainya berhasil mendidik muridnya.Karena dengan budaya diskusilah, kiai menjadi tahu kualitas muridnya. Selanjutnya adalah tadris atau suatu upaya menyiapkan murid (mutadarris) agar dapat membaca, mempelajari serta mengkaji sendiri. Tadris juga menanamkan suatu nilai fundamental di dalamnya. Menurut Kiai Said, pengamalan ilmu. Cerita mengenai tadris ini bisa kita temukan dalam kitab Kasyful Mahjub karya Al-Hujwiri. Disitu dijelaskan, Abu Hanafi  memiliki murid bernama Dawud Tha’i yang pandai dan menjadi ulama terkenal. Dawud Tha’i kemudian pergi menghadap Abu Hanafi dan bertanya, “apa yang harus kulakukan saat ini?”. Abu Hanafi menjawab, “amalkan apa yang telah Kau pelajari, karena teori tanpa praktik ibarat tubuh tanpa ruh.” Secara berurutan, kita masuk kepada konsep ketiga, yaitu ta’dib. Ta’dib secara leterlek artinya disiplin dan mengajarkan sopan santun. Arti ini berasal dari bentuk masdar kata addaba-yuaddibu-ta’diban yang berarti mengajarkan sopan santun. Dalam hal ini, kiai adalah aktor utama yang memberikan contoh. Konsep ta’dib ini dikembangkan juga oleh Sayed Naqueb Al-Atas asal Malaysia. Dia menjelaskan, inti pokok dari ta’dib adalah menempatkan diri pada tempatnya. Yang terakhir adalah tarbiyah. Kiai Said Aqil menjelaskan, kata ini berasal dari kata rab yang memiliki arti mencipta dan murabbi yang artinya mengembangkan. Murabbi adalah guru diantara guru daripada kiai. Murabbi memiliki fungsi mengembangkan, mengelola dan meningkatkan apa yang telah dimulai Allah SWT, yaitu dengan melakukan pendidikan. Jadi tidak heran, apabila kemudian santri-santri yang telah lulus itu membangun peradabannya yang baru di desa masing-masing. Seperti mendirikan majelis taklim atau kelompok rebbana. KAITANNYA DENGAN KEHIDUPAN MASA KINI Membaca realitas kehidupan masyarakat masa kini kemudian mengaitkanya dengan kehidupan yang berkembang di pesantren, amatlah sulit. Apalagi bila kita harus melihat melalui kacamata sistem pendidikanya. Namun bila hendak dipertanyakan: Apakah masyarakat telah jauh dari nilai-nilai yang ada pesantren? Maka jawabanya adalah benar. Dan saya akan mencoba mengambil dari terminologiyang sama terkait penjelasan-penjelasan di atas dengan menganalisa masyarakat dari segi ta’lim, tadris, ta’dib dan tarbiyah secara teori perbandingan sosial (social comparation theory). NILAI PESANTREN dan MASYARAKAT Yang pertama tentu saja melalui ta’lim. Dalam pesantren, ta’lim mengedepankan kualitas keilmuan, pengetahuan yang mempuni untuk mampu melakukan semacam pendidikan di masyarakat. Saat ini, masyarakat cenderung tidak memiliki seorang tokoh yang dapat diandalkan di desanya. Oleh karenanya, hampir secara keseluruhan masing-masing pribadi merasa benar sendiri dan tingkat individualitas ala liberalisme justru menjamur. Akibatnya, hampir segala tindakan cenderung mengabaikan kedalaman rasa (compassion). Tata nilai seperti ini sepintas mirip dengan apa yang terjadi di lingkungan kelompok-kelompok militer (spartan ethics). Sehingga muncullah suatu sistem kehidupan yang doktriner yang menurut Abdurrahman Wahid hanya menggolongkan dua kelompok saja. Yaitu pihak lawan dan pihak kita. Jika sudah begini, maka yang terjadi kemudian, masyarakat melenceng jauh dari amalan ta’lim yang berciri khas pada diskusi dan musyawarah. Setelah terjadi sebuah pelencengan tata nilai, maka sistem tadris pun tidak akan bisa berjalan dengan baik. Tadris yang pada intinya memberikan kesempatan bagi santri untuk belajar dan memahami secara individu haruslah dimulai dari suatu ta’lim yang benar. Apabila diawali dengan ta’lim yang salah, jangan harap masyarakat akan mampu menilai secara objektif. Masayarakat hanya akan dibawa pada status penilaian yang subjektif dengan menganggap salah satu pihak sebagai lawan dan kawan, bukan sebagai upaya mencari suatu kebenaran. Jika diawali oleh penerapan sistem edukasi yang salah, seterusnya hampir bisa dipastikan akan membentuk pemikiran yang salah. Ta’dib adalah sistem yang mengajarkan sikap sopan dan santun, tawadhu dan bisa jadi zuhud. Jika pemaknaan akan itu kabur, maka yang terjadi adalah standar sopan santun masyarakat akan diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki. Bukan seberapa besar, individu itu mampu mengairi rasa haus intelektual seperti dulu. Dalam poin yang terakhir, saat ini, kita tidak perlu heran apabila masyarakat hanya berada pada kondisi yang stagnan. Yang terjadi saat ini tidak lebih dari bagaimana cara mind set bermain di masyarakat. Andaikata ketiga yang di atas sudah dianggap lumrah untuk dilanggar, maka tidak mungkin bisa diharapkan masyarakat yang madani. PENUTUP Menyimak bagaimana sistem pendidikan yang dijalankan di pesantren amatlah menarik. Akan tetapi, menjadikanya suatu realitas yang hidup di masyarakat adalah hal yang sangat berharga dan mendesak. Tumpuan itu kini ada pada pemimpin yang seharusnya mampu membawa nilai-nilai tersebut menjadi sebuah tatanan kehidupan di masyarakat. Mengingat, saat ini masyarakat lebih sering disuguhi aksi-aksi penzaliman, penegakan hukum yang apus-apus dan kekotoran politik. Kesemuanya itu membuat masyarakat sekadar seperti mulut yang menjadi bisu, karena suaranya telah dibeli dan semakin meninggalkan norma serta nilai kepesantrenan. (*) *) Penulis adalah asisten peneliti di Satjipto Rahardjo Institute Semarang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: