Sutrisno: Dari Gelap Menuju Bandara Kertajati

Sutrisno: Dari Gelap Menuju Bandara Kertajati

CATATAN setiap orang pulang kampung berbeda-beda. Termasuk saya. Saat pulang kampung dari perantauan Nanggro Aceh Darusalam tahun 2002, catatan paling prinsip saya adalah ketercengangan karena kampung kelahiran saya, Majalengka, luar biasa pembangunannnya jalan di tempat. Keadaan kota saat saya kembali, betul-betul terbiarkan sama dengan saat saya pergi ke Nanggro Aceh Darusalam tahun 1994. Gelap, sepi, itu terbiarkan menjadi ciri khas kota pada saat itu. Soal apa penyebab eksistensi kota saat itu tetap seperti itu, tentu jawaban dan alasan bisa beragam, tergantung dari sudut mana kita memandang dan menganalisisnya. Namun tentang hal tersebut, saya tidak berkepentingan mengurai jawabannya dalam tulisan kecil ini. Yang lebih menarik untuk diungkap adalah sekitar pembangunan kota dalam durasi 2008-2014. Munculnya sosok H. Sutrisno, S.E., M.Si. sebagai pemimpin Majalengka sejak 2008, yang dalam catatan sejarah Majalengka, pemimpin ini merupakan pemimpin pertama hasil pilihan langsung rakyat Majalengka, kiranya cukup beralasan kalau saya katakan tepat momen. Terlebih karena tiga sifat kepemimpinan yang dimilikinya: sifat pendobrak, pembaharu, dan merakyat, ini kiranya merupakan modal dasar paling kuat sehingga momen untuk mengubah Majalengka menjadi kota terang-benderang dan penuh dengan kesibukan bagaimana layaknya sebuah kota, jelas makin terbuka. Melalui pewujudan ketiga sifatnya dalam memimpin Majalengka—luar biasa—Majalengka dapat diubah menjadi sebuah kota yang mulai digandrungi semua kalangan masyarakat, baik pada siang hari ataupun malam hari. Kesan gelap pada malam hari dan kesan sepi pada malam dan siang hari, itu semua telah sirna karena ditelan oleh sistem pembangunan “lari loncat” ala Sutrisno yang bertumpu pada tiga sifat kepemimpinan yang dimilikinya. Namun sedikit disayangkan, ketiga sifat kepemimpinan Sutrisno tidak serta-merta mampu dengan cepat dinalarmaksudkan oleh kita, seingga kita sering seakan terkaget-kaget ketika telur-telur kebijakannya digulirkan. Dapat dimaklumi memang, karena kita dulu lebih terbiasa menerima telur-telur kebijakan yang biasa-biasa saja. Pendobrak Membaca setiap kebijakan Bupati yang satu ini, tentu harus komperhensif dan saksama dalam menalar isinya. Jika hanya bersifat parsial, maka kita hanya akan terbiasa berakhir dengan sebuah kesimpulan yang parsial juga dan biasanya dipenuhi dengan konsep-konsep miring alias suudon yang bombastis. Konsep-konsep semacam ini justru yang akan mengganggu setiap gerak langkah regulasi pembangunan Majalengka. Itu sebabnya model membaca yang harus dilakukan adalah membaca dengan model membaca pemahaman, bukan membaca perasaan. Seandainya yang dilakukan adalah model membaca perasaan, maka yang akan timbul hanyalah perasaan was-was dan tidak mau tahu harus diapakan kebijakan yang dibacanya. Jika penomena seperti ini terus muncul, maka mau bagaimana Majalengka yang sudah penuh bermasa depan ini? Manakala kita ikhlas mau tahu isi dari setiap kebijakan Sutrisno selaku bupati, tentu kesimpulan yang akan mucul setelah membaca adalah Sutrisno seorang pendobrak. Ini paling tidak dapat kita lihat dari proses kebijakan penghematan anggaran di tahun-tahun pertama periode pertama, yang notabene jika dihitung untuk satu tahun saja penghematan anggaran lebih kurang 70 miliar, ini saya pikir merupakan langkah dobrakan yang dilakukan Sutrisno lewat pemerintahan yang dinakodainya. Pro kontra berbagai lapisan masyarakat, termasuk para kaum birokrat Majalengka sebagai pihak yang terkena langsung imbasnya, memang sempat meruak. Tapi hal tersebut tentu tak jadi soal terjadi, sebab itu semua merupakan ciri khas dari sebuah tatanan demokrasi yang dinamis dalam eksistensi masyarakat dan pemerintahan. Yang jangan adalah dari pro-kontra memunculkan sifat apatis dan selalu bersikutan dengan tanpa alasan yang jelas mengapa harus bersikutan satu sama lain dalam eksistensi birokrasi. Dobrakan di tahun ke-6 periode ke dua yang dilakukan Bupati low profile Sutrisno, ini masih dalam hal anggaran. Dalam expos anggaran setiap OPD untuk tahun anggaran 2015, sang pendobrak Sutrisno dengan santai, polos, dan penuh keyakinan, berujar: “Berapa pun anggaran yang diminta setiap OPD yang terpenting masuk akal dan diyakini akan mendongkrak kemajuan Majalengka, akan saya respon positif. Jadi jangan terikat pada PAGU tahun lalu, agar anggaran tidak terkesan dipaksakan.”. Dalam pengamatan saya, kalimat ini diyakini belum pernah diujarkan bupati mana pun. Mengingat selama ini, konsep pembuatan anggaran di manapun selalu terikat pada kebiasaan bertumpu pada PAGU tahun lalu. Sehingga anggaran untuk tahun kemudian selalu tinggal ditambah serba sedikit istilah, jumlah rupiah, dan sasarannya saja. Dan ini memang keliru kalau dipandang dari segi manajemen anggaran. Sebab anggaran memang seharusnya fleksibel, masuk akal, dan dapat mendongkrak atau mengubah sebuah keadaan ke arah kemajuan yang signifikan sebagaimana diujarkan Bupati. Pembaharu Kepembaharuan Sutrisno memang tidak perlu diragukan lagi. Walaupun memang dalam melakukan pembaharuan di sana sini—kerikil-kerikil kecil, besar dan tajam senantiasa tersebar di sekelilingnya. Dan dalam pengamatan saya, karena ketenangan dan keluesannya dalam menyikapi kerikil-kerikil trsebut, maka semua masalah dapat dirapihkan sesuai dengan kejernihan pikiran dan hati sebagai orang timur. Sekedar menyampaikan pengamatan dan untuk tidak dilupakan, pembaharuan yang dilakukan Sutrisno ternyata luar biasa banyak. Jalan K.H. Abdul Halim berikut bunderan Munjul yang kini jadi tempat yang sangat digandrungi berbagai lapisan masyarakat, bundaran Cigasong, bundaran Tonjong, pembukaan jalan poros tengah antara panglayungan-cigasong, marak bermunculannya dunia perbankan, marak bermunculannya pertokoan-pertokoan menengah, bermunculannya pembangunan perumahan rakyat, munculnya supermarket Yogya besar yang sebentar lagi disusul dengan akan munculnya Grage Mall dan Jatiwangi Square, penataan GGM yang sedang dilakukan berikut pembuatan kios-kisos jajanan berwawasan memperhatikan wong cilik, meruaknya pabrik-pabrik besar berbagai industri yang sudah dan akan menyerap ribuan pekerja, munculnya jalan tol dan bandara Kertajati yang sedang dibangun, dan banyak berbagai hal pembangunan lain yang dilakukan pemerintahan SUKA yang dinakodai Sutrisno—itulah yang saya maksudkan Sutrisno adalah pemimpin pembaharu. Terlebih kepembaharuannya amat didukung penuh oleh sosok sang Wakil Bupati bersahaja Karna Sobahi. Intinya “pas”. Dan pasangan yang “pas” seperti ini susah dicari di seantero nusantara. Merakyat Keberhasilan pembangunan Majalengka selama 6 tahun terakhir ini selama pemerintahan SUKA, tentu tidak terlepas dari kepiawaian Sutrisno sebagai Bupati yang memiliki sifat merakyat. Bayangkan, jauh-jauh hari sebelum Presiden Jokowi mengintruksikan bahwa setiap pejabat harus hidup sederhana, Sutrisno malah sudah terlebih dahulu mulai dari tahun-tahun pertamanya memimpin membiasakan hidup sederhana dalam tatanan birokrasinya. Lalawuh (hidangan) di setiap tempat dimana ia berkunjung, misalnya, itu yang ada adalah lalawuh ciri khas daerah sunda seperti: asrud (singkong yang diiris dikukus pakai kelapa parut), getuk lindri, pisang kukus, pisang mas, goreng boled, boled kukus, papais enten, nagasari, dan lainnya yang berbau kerakyatan. Dan ini merupakan bagian penting dari sifat kerakyatan Sutrisno. Keadaan sifat ini yang dalam analisis saya, ini sebagai salah satu alat ampuh sehingga Sutrisno dicintai rakyat Majalengka dan akhirnya memenangkan kembali perhelatan PILKADA periode 2 pada September 2013 lalu. Dalam bahasa paling sederhana, kemerakyatan Sutrisno tidak hanya dalam soal makanan, tapi juga tersebar juga dalam substansi lain. Unggul dalam interaksi dengan masyarakat, legowo dalam menerima kritikan siapa pun, mau turun ke desa-desa walau dalam acara-acara kecil, mau berbagi menghadiahi masyarakat yang berprestasi atau masyarakat yang perlu dikasihani, ini bagian lain sebagai ciri Sutrisno adalah pemimpin yang betul-betul merakyat dari hati. Dan ini harus kita tiru sebagai salah satu bentuk implementasi keloyalan kita pada pimpinan. Bagian penting yang harus diakui bersama, dari gelap menuju bandara Kertajati, itu sedang dilakukan oleh Sutrisno selaku Bupati melalui 3 kekuatan sifatnya dengan menggunakan kendaran bermerek Pemerintahan SUKA. Sehingga tak heran berbagai penghargaan banyak diraihnya. Puncaknya pada tahun ini, koran harian SINDO menganugrahinya sebagai “Bupati Inovatif”. Akhir kata, saya hanya bisa berbilang: Tuhan akan memberkahi terus jika rakyat bersama pemerintahan terus mempertahankan keakraban. Tuhan akan terus mengabulkan segala keinginan rakyat dan pemerintahan jika pemerintahan terus mengabulkan keinginan rakyat. Tenks. (*) Penulis adalah Ketua Forum Pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kabupaten Majalengka

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: