Rumahku Masih Ngontrak

Rumahku Masih Ngontrak

Oleh: Vivi Zulfiah      SEMUA orang pasti mempunyai harapan untuk bisa memiliki rumah. Tentunya rumah idaman itu adalah rumah milik sendiri, mewah dengan fasilitas yang lengkap. Namun kenyataannya tidak semua orang bisa memiliki rumah sendiri dengan fasilitas yang serba wah, karena keterbatasan harta yang dimilikinya. Bagi keluarga Pa Sayidin, rumah memang sangatlah penting namun pendidikan anak-anaknya jauh lebih penting. Untuk sementara Pak Sayidin dan anak-anaknya mengontrak rumah, sekadar untuk tempat berteduh dan beristirahat. Baginya, mengontrak ataupun milik sendiri tidak terlalu menjadi masalah, karena pada hakekatnya manusia hidup di dunia ini semuanya masih ngontrak, suatu saat semua penghuni rumah yang milik sendiri ataupun ngontrak sama-sama akan meninggalkan rumah yang ia tempati. *** Bulan Februari adalah bulan terakhir Aku dan keluargaku tinggal di rumah ini. Yah rumah yang kami tempati saat ini adalah rumah kontrakan. Kami tinggal di sini sudah 5 tahun, kebetulan kami menyewa rumah ini hanya 5 tahun saja, karena yang si empunya akan menempati kembali rumah ini dengan sebab yang punya rumah tahun ini sudah habis masa kerjanya alias pensiun. Dan mereka bilang jika pension, mereka akan kembali ke kampung halaman. Jadi, mau tidak mau aku dan keluargaku harus mencari tempat lain untuk kami tempati. Abah sudah mendapatkan rumah kontrakan yang baru, letaknya tak jauh dari rumah yang dulu pernah kami tempati. Rumahnya jadul tidak begitu luas, sederhana. Di rumah yang sederhana ini kami tinggal berempat saja. Aku (Nisa), Fardan (adik ke satu), Khanza (adik bungsuku) dan Abah. Sejak Ambu meninggal Abah tak mau lagi menikah, entah apa alasannya aku tak mengerti. Saat ini Abah lebih fokus dengan pekerjaannya dan ibadahnya. Katanya Abah ingin bekerja keras demi kesuksesan anak-anaknya, sebelum meninggal Ambu menitipkan kami kepada Abah, pesannya agar tidak menyia-nyiakan anak-anak, menikah lagi boleh asalkan anak-anak tidak telantar. Pokoknya jika aku mengingat masa-masa itu Aku sedih sesedih-sedihnya. Bagaimana tidak Ambuku adalah manusia terbaik yang ada di muka bumi ini, manusia tersabar yang ada di muka bumi ini, manusia terhebat yang pernah aku kenal. Tapi ternyata Ambu lebih dulu meninggalkan kami. Abah pun begitu sedihnya ketika Ambu tiada seakan gairah hidupnya memudar, tak ada lagi motivator di rumah ini, tak ada lagi sosok yang lemah lembut di rumah ini, pokoknya Ambu adalah segalanya bagi kami. Namun Abah bangkit kembali ketika melihat anak-anaknya. Ia tersadar bahwa mengurus anak lebih berharga dari pada meratapi taqdir yang telah terjadi. Hari mulai senja, matahari pergi berlari-lari kecil ke arah barat, kian lama kian hilang sinarnya, kini bumi yang aku pijak berubah menjadi gelap. Adzan maghrib telah berkumandang, Aku dan kedua adikku sholat berjamaah di rumah dan Abah yang menjadi imamnya. Seusai shalat kami makan malam bersama di ruang televisi, kami berbincang-bincang penuh kehangatan. “Nisa bagaimana kuliahmu Nak?” “Lancar Abah, tak ada masalah!” “Sudah bayar semester belum?” “Belum Abah, uang tabunganku belum cukup untuk membayar uang semester!” “Kurang berapa lagi?” “Ayah, semester ini kan semester terakhir jadi Nisa harus bayar semester dan bimbingan semester kira-kira kurang 2jutaan lagi Abah.” “Ya sudah tenang saja, Abah akan usahakan.” “Fardan, Khanza, sekolahmu bagaimana?” “Baik-baik saja Abah tidak ada masalah.” Jawab Fardan dan Khanza serempak. Setelah makan malam selesai masing-masing pergi ke kamar. Nisa menemani Khanza belajar di kamar, Fardan belajar sendiri di kamar dan Abah menonton televisi. “Kak Nisa mengapa Abah tidak beli rumah saja?” “Khanza Abah belum mampu untuk membeli rumah sendiri.” “Abah sedang fokus untuk menyekolahkan kita Khanza.” “Tapi kan sama saja mengontrak bayar,  beli rumah juga bayar, kan sekarang banyak rumah yang bisa dicicil Kak!” “Khanza, bersabarlah nanti kalau sudah saatnya punya rumah pasti kita akan punya ruamah sendiri, yang terpenting sekarang kita belajar, berusaha dan berdo’a, carilah ilmu setinggi-tingginya karena dengan ilmu Allah akan menganngkat derajat kita, dan dunia (harta) dengan sendirinya akan menghampiri kita” “Kak Nisa Aku tuh ngerasa terasing, aku di anggap orang pendatang, dan orang pendatang ga boleh macem-macem katanya, apalagi rumah kita masih ngontrak makin lengkap saja ocehan teman-temanku  pada keluarga kita Kak .” “Khanza sayang kamu tidak usah minder dengan status rumah yang kita tempati, karena pada hakekatnya kita semua masih ngontrak di bumi Allah ini!” “Siapapun orangnya, Apakah dia itu sudah punya rumah sendiri ataupun masih ngontrak sebenarnya statusnya sama yaitu masih ngontrak!” “Fir’aun dengan istananya yang megah, dan hartanya yang banyak, ketika ia mati ia mau tidak mau harus meninggalkan istananya yang megah itu! karena kontrak usianya sudah habis Khanza” “Jadi apa bedanya dengan kita yang masih ngontrak?” “Tapi Kak!” “Sssst jangan tapi, tapi, boleh-boleh saja kita punya rumah di dunia ini agar istirahat dan ibadah kita menjadi lebih tenang namun kalau saat ini kita belum mampu, ya sudah bersabar saja, jangan khawatir sambil kita mengumpulkan uang untuk beli rumah di dunia kita juga jangan melupakan rumah di akherat lho, rumah yang benar-benar akan kita tempati nanti.” “Ada banyak cara agar kita bisa membangun rumah di syurga mau tau? Nih caranya : 1. Membangun masjid walaupun hanya sedikit. 2. Menjaga salat dluha empat raka’at dan qobliyah dzuhur 4 raka’at. 3. Menjaga salat sunnah rawatib 12 raka’at. 4. Membaca surat al ikhlash sepuluh kali. 5. Membaca do’a masuk pasar. 6. Mengucapkan alhamdulillah dan istirja’ ketika anak kita wafat. 7. Akhlak yang mulia. 8. Iman, islam, hijrah dan jihad.” “Bagaimana Dik, mudah bukan? ” “Ia ya Kak berarti membangun rumah di syurga tidak sesulit membangun rumah di dunia, kita tidak usah jungkir balik mencari uang untuk biaya membangun rumah ya Kak? ” “Benar, tapi jangan lupa amalan yang kita kerjakan harus ikhlas hanya mengharap ridho Allah semata. ”   Malam sudah semakin larut, Abah sepertinya sudah terlelap, begitupun Fardan dan Khanza. Kini tinggal aku sendiri yang masih terjaga, aku masih sibuk dengan skripsi ku. Targetku bulan ini skripsiku harus kelar, biar aku bisa cepat mencari pekerjaan agar aku dapat membantu Abah mengumpulkan uang untuk membeli rumah.** Beberapa bulan kemudian Di teras rumah Nisa dan Abah berbincang-bincang sambil menikmati secangkir teh hangat dan ubi Cilembu. “Nisa kuliahmu kini sudah lulus, dan kamu pun sudah mulai bekerja, Abah punya rencana gaji Abah digunakan untuk mengambil rumah KPR” “Menurut Nisa, Abah sebaiknya bersabar dulu, nanti Nisa juga akan memikirkan hal itu Abah, Nisa kurang setuju kalau kita harus mengambil rumah KPR karena cicilan perbulannya  terlalu besar Abah!” “Tapi kalau beli apalagi Nis, rumah sekarang mahal-mahal dari mana kita bisa dapat uang untuk membeli rumah, kasian Fardan dan Khanza ia sangat menginginkan rumah, rumah yang benar-benar milik sendiri bukan ngontrak!” “Abah,,,,,tenang sajalah jangan terlalu terburu-buru, Nisa akan berusaha semampu Nisa untuk mengumpulkan uang agar bisa membeli rumah, Abah do’ain Nisa ya!” “Abah ini ada undian berhadiah, hadiah utamanya rumah lho!” kata Khanza “Aduh Khanza kamu ga usah mimpi deh, belajar aja yang rajin biar kamu tahun depan bisa lulus  SMA, dapet beasiswa S1 terus bekerja dan kumpulin tuh deh uangnya biar bisa beli rumah, faham ga kamu?” “Itu usaha yang nyata bukan usaha yang imajener” Kata Fardan. “Huuu…h punya kakak bukannya ngebela!” “Khanza benar apa yang di katakana kakakmu itu!” Kata Abah ** Selain bekerja Aku juga sambil melanjutkan studi S2 di Semarang.  Selama  hampir 2 tahun di Semarang Aku tak pernah pulang ke Bandung, Aku selalu ingat akan keluargaku di Bandung namun demi mewujudkan mimpi-mimpiku, Aku harus rela menahan rinduku dengan keluargaku di Bandung. Sebagai pengobat rindu kami hanya berkomunikasi via telepon dan jejaring social. Tepat di hari wisuda S2 ku, Aku di lamar Jajang teman SMA ku. Tak kusangka yang dahulu dia itu kumal, kusam ternyata sekarang dia bersih dan rapih, katanya sekarang Jajang sudah mapan, ia seorang penulis buku terkenal, ia juga dosen salah satu Universitas Swasta di Bandung. Ternyata ia sudah lebih dulu kontek-kontekan sama Abah dan mereka akhirnya membuat rencana ini. “Nisa apakah kamu teh bersedia menikah denganku?” Kata Jajang sambil tersipu malu “Ehm…gimana ya, karena Aku sudah tahu karakter mu yaaaa…okelah Insya Allah Aku siap!” Kataku sambil tersenyum riang, dan aku masih memakai baju togaku. “Baiklah Nisa, minggu depan kita akan melangsungkan akad nikah, segala sesuatunya sudah aku siapkan, termasuk rumah sudah aku siapkan, rumah yang akan kita tempati nanti setelah kita menikah, keluargamu Abah dan adik-adikmu wajib tinggal di sana!” “Benarkah? Subhanallah wal hamdulillah” “Terimakasih Ya Allah, terimakasih Kang Jajang” Setelah berfoto-foto ria, Nisa dan keluarganya meluncur menuju Bandung diantar oleh Jajang dengan mobil pribadinya. Seminggu kemudian Nisa dan Jajang melangsungkan pernikahannya di Bandung. Akhirnya Nisa dan Keluarganya menempati rumah baru tanpa status ngontrak. *   *Cerpenis adalah Mahasiswi STAI Bunga Bangsa Cirebon Fakultas Tarbiyah jurusan PAI Semester 6

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: