Kesempatan untuk Menangis
Oleh: Fikry Ainul Bachtiar KESEMPATAN tak datang dua kali, begitulah ungkapan yang kelak selalu diingat Madri, terpatri kuat dalam benaknya. Apalagi bila ia mengingat kejadian hari ini. Malam kemarin Polisi menggerebek rumahnya, menahannya atas laporan seorang pemuda kampung sebelah lantaran Madri telah membacoknya dalam sebuah perkelahian kecil antar kelompok pemuda. Pengecut, pikir Madri. Dan saat ini ia berada dalam penahanan Polres, dijenguk Bapaknya yang nempleng Madri berkali-kali. “Goblok!” “Mereka yang duluan, ya mestinya saya balas pak!” Plak! Tangan itu menampar wajah Madri. “Mukul, lantas kamu bawa pisau, sabet sana-sini, kamu kira nyawa orang macem mainan yang bisa dibeli kalo rusak! Pikiranmu tuh Ri. Mabuk, kelayapan ndak jelas, mau jadi preman kamu?! Ingat kan ucapan bapak terakhir kali? Bapak takkan memaafkan kelakuanmu lagi bila kamu kembali berulah. Dan sekarang… bapak kecewa sama kamu Ri,” wajah dengan gurat ketuaan itu terlihat semakin meredup. Di hatinya rasa kecewa dan amarah berkecamuk, menyatu. “Entahlah bapak juga sudah capek nasihati kamu, capek juga nampar-nampar kamu, sementara kamu sendiri tetap saja begini. Bapak sudah malu sama omongan orang-orang Ri. Untuk kali ini bapak tak bisa bantu, silahkan urus hidupmu sendiri.” Madri hanya menunduk, tak ingin terlihat menangis. Dalam hatinya sedikit-sedikit ia sadari betapa ia telah banyak mengecewakan orangtuanya. Hatinya mulai luluh, hatinya benar-benar bertekad untuk berubah. “Maafkan saya pak,” diciumnya tangan bapaknya itu. Bapaknya tak menggubris, lama berdiam lantas berlalu meninggalkan ruang besuk. *** Kaki Madri tegas melangkah menapaki jalanan. Wajahnya terlihat lebih teduh dan tenang amat berbeda dengan Madri yang dulu. Malam larut, cahaya bulan menelusuk dedaunan rimbun. Telah seharian ini ia berjalan, menapaki daerah entah, menyusuri gang-gang, menyapa orang-orang yang tak dikenalnya. Tanpa tujuan. Tapi jelas ia ingin berusaha menepis ingatan lalu mungkin bila ia memulai semuanya dari awal lagi di kota yang tak seorangpun mengenalnya, kehidupannya bakal berubah. Ia ingin membuka lembaran baru karena tak sedikitpun hal yang patut dikenang dari masa lalunya. Jalanan di depannya semakin lengang, menandakan malam yang makin larut. Suara orang ngorok terdengar sayup seolah berusaha menyahuti desau angin malam. Sebuah mobil colt bangkotan pengangkut sayur melintas, asap hitamnya bersatu dengan gelap malam. Madri yang memang sudah lelah, mengisyaratkan tangannya agar ia bisa ikut menumpang colt bangkotan itu. Namun mobil berlalu begitu saja, mungkin sopir tak melihat isyarat Madri. Dalam setiap langkahnya, seringkali wajah bapak, ibu, dan saudaranya terlintas dibenak Madri. Ia benar-benar merindukan mereka. Sementara takdir bergurat lain, pagi tadi selepas udara di luar LP ia hirup dengan nikmatnya kehidupan seolah menyambutnya kembali. Jalan terhampar seperti membuka langkah baru bagi Madri. Ia bebas. Saya bebas pak, bu itulah kata yang ingin ia bagi saat nanti bersua dengan orangtuanya. Diingatnya jalan-jalan menuju rumahnya dulu, masih sama tak banyak perubahan. Nun di kejauhan asap pabrik genteng membumbung tinggi, menyesaki udara. Satu dua orang mencuci di kali yang airnya berwarna kecoklatan tepat di bawah pemukiman itu. Lurus, dua kali belokan lagi dekat sungai di sanalah rumahnya berada. “Dijual?” Madri sedikit terkejut. Di halaman rumahnya yang dulu seorang wanita paruh baya sedang menyapu. Mengaku menjadi penghuni rumahnya itu. Lantas dimana keluarganya? “Saya ndak tahu mas, yang jelas saya sudah disini sekitar setahun yang lalu,” jawab ibu itu ketika Madri bertanya perihal keluarganya. Dipersilahkannya Madri untuk masuk ke rumah, namun Madri menolaknya dengan halus. Tetangga yang mengenal Madri tampak sinis memandangnya sama seperti orang-orang di sepanjang jalan perkampungan ini. Baginya sendiri perlakuan semacam itu mestinya jadi hal yang wajar, toh sebelum Madri masuk bui warga kampung sudah mengenalnya sebagai pemuda pembuat onar. Hampir setiap hari ada saja ulah yang dibuatnya, termasuk peristiwa perkelahian antar pemuda yang membuatnya ditahan. Tetapi memang kali ini perasaan bersalah dan rasa ingin diterima itu muncul membuat batinnya selalu bertanya, sebejad itukah diri saya. Dibalasnya tatapan itu dengan senyuman kendati akhirnya Madri malu sendiri dan berlalu. Apakah memang kesempatan itu takkan ada lagi buat orang seperti dirinya? Apakah keluarganya selama ini menanggung malu lantaran kelakuannya dulu, sampai mereka tak pernah menjenguknya atau setidaknya mengabarkan kepindahan mereka. Sungguh Madri hanya ingin meminta maaf, mengulang kembali segalanya dari awal untuk memperbaiki keadaan. Bilapun orangtuanya tak menerima permintaan maafnya setidaknya Madri cuma ingin mencium kedua tangan mereka. Angin malam kencang menerpa rambut Madri, siluet kubah kecil mushala terlihat dengan latar cahaya bulan. Bagaimanapun Madri mesti istirahat dan mushala itu mungkin bisa menjadi tempatnya untuk bermalam. Dan kini, dalam ruangan yang rasanya jarang dipakai, Madri berdiam. Hatinya terus saja menggumamkan tanya, apakah kesempatan itu memang tak layak lagi didapatnya. Diusapnya wajah yang masih dibasahi air wudhu itu, rasa ingin menangis buncah begitu saja bila mengingat hal yang lalu. Kesempatan tak datang dua kali, begitulah ungkapan yang selalu diingat Madri, terpatri kuat dalam benaknya. Apalagi bila ia mengingat kejadian hari itu, bertahun-tahun lalu, ketika ia ditempleng bapaknya berkali-kali, ketika ia melihat gurat kekecewaan dalam wajah bapaknya, ketika ia menunduk lantaran tak mau terlihat menangis. Sungguh bila kesempatan untuknya dapat diterima kembali itu tak layak ia dapat bahkan hanya kesempatan untuk bertemu kembali dengan keluarganya, Madri berusaha ikhlas. Maka Tuhan, berikanlah kesempatanMu setidaknya kesempatan untuk menangisi perbuatan lalu, gumamnya. Lantas sajadah mushala itu menjadi basah oleh air mata Madri karena Madri bersujud. Sujud yang amat lama. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: