Menyemai Politik Berkarakter

Menyemai Politik Berkarakter

Oleh: Afif Rivai* POLITIK sebagai seni kemungkinan (Art of possibility) memberi ruang remang-remang. Karenanya, dalam politik antara kawan dan lawan begitu mencair dan sulit diprediksi. Rapuhnya soliditas koalisi politik yang dibangun berdasarkan pakta integritas dan kontrak kerja, menunjukan begitu mencairnya ikatan politik. Menurut hemat saya, kepentingan politik adalah hal yang lumrah dalam dinamika kekuasaan. Persoalannya, orientasi kepentingan publik sering terdistorsi oleh kepentingan personal dan primordial, serta mengabaikan tanggung jawab kolektif kewargaan. Bahkan pada titik tertentu, terjadi upaya personifikasi politik yang mengaburkan mekanisme dan proses demokrasi. Akibatnya, nalar dan logika moral lumpuh di hadapan politik intrik dan transaksi. Menghalalkan segala cara menjadi kaidah demi merengkuh kepentingan diri, kelompok maupun golongan. Dan masyarakat secara masif dan periodik ikut dilibatkan dalam politik yang menyimpang, dibungkus dalam kontestasi (pemilu/pemilukada) sebagai bagian dari prosedur demokrasi. Tak berlebihan bila masyarakat memahami politik sebagai seremoni transaksi belaka. Celakanya, pandangan yang tadi saya dedahkan itu terus menggelayut dalam lanskap politik kita. Rakyat bukan menjadi penentu sebagaimana cita ideal demokrasi. Tapi sebagai umpan (obyek) atau bagian alat tawar untuk kuasa segelintir orang. Dan yang menjadi pemenangnya adalah para pemilik modal dan kroninya sebagai sekelompok kecil elit yang mengendalikan kuasa. Potret di atas menurut saya, mempertontonkan sepenggal perjalanan demokrasi yang terdistorsi. Demokrasi tak lebih dari dominasi, bahkan diskriminasi dan deviasi tanpa daya meminimalisasi karena aktor-aktornya terjebak dalam kepentingan diri. Inilah yang Oleh Michael Mann disebut sebagai sisi gelap demokrasi atau dalam bahasa John Keane sebagai potret hidup matinya demokrasi. Transisi adalah masa penentuan demokrasi untuk tetap hidup atau mati. Politik di tengah transisi ini melahirkan hiruk-pikuk yang cenderung involutif. Isu-isu yang muncul berputar pada tarik-menarik kepentingan elit. Mencari kelemahan lawan lebih dikedepankan sebagai strategi eksistensi daripada memupuk kualitas dan integritas diri. Dari sini praktik politik sandera dioperasikan oleh masing-masing kekuatan. Sandera politik di antara kekuatan politik terjadi karena masing-masing berlumpur problem. Problem diselesaikan dengan tukar sandera sebagai sebuah transaksi politik. Persoalan diselesaikan hanya pada permukaan (simbolik), sementara akarnya dibiarkan menjalar. Akibatnya, penyelesaian satu masalah tetap menyisakan masalah yang lain. Sisi gelap politik ini akan terus terjadi selama partai politik sebagai pilar penting demokrasi tak konsisten dengan ‘’jenis kelaminnya’’ (asasnya). Partai politik dan para kadernya bergerak hanya untuk memenuhi hasrat politik sesaat berdasarkan kehendak partikular. Padahal politik, seperti dikatakan Jean Jacques Rousseau, terkait dengan kehendak publik (general will). Dan publik menjadi ajang implementasi segala tindakan baik. Hal inilah sejatinya yang menjadi landasan politik berkarakter, yaitu tindakan yang benar untuk kepentingan publik. Politik bukan melulu retorika, tapi juga bersinergi dengan realita. Politik bukan sekadar janji, tapi konsistensi untuk menepati sebagai pertaruhan integritas diri. Dalam bahasa yang berbeda, Mahatma Gandhi menyebutnya sebagai politik terbaik (The best politics is right action). Dengan demikian, politik berkarakter merupakan sebuah kerja politik yang berpijak pada kehendak umum dan mendegradasi kepentingan politik dan individu. Hanya dengan politik berkarakter ini, demokrasi akan terawat dan kuat. Kehendak umum dalam konteks kepemimpinan siapa pun yang dipercaya publik termanifestasi dalam kontrak politik, baik yang dilakukan partai politik, para menteri, maupun oleh pejabat publik lainnya sebagai bentuk komitmen dan dukungan terhadap kontrak politik dengan rakyatnya. Tentunya, tak mudah mewujudkan kehendak umum di tengah pluralitas publik. Dinamika politik yang bermain dalam politik simbolik dan partikular memperlambat, bahkan memupus asa bagi lahirnya politisi-politisi yang berkarakter. Namun, sebagai bangsa yang beberapa kali berhasil melewati beragam ujian krisis baik politik, ekonomi, maupun lainnya, seharusnya menjadi api optimisme yang terus menyala menerangi jalan lahirnya politisi berkarakter. Semoga!   *Penulis adalah Analis Politik

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: