Memahami Valentine’s Day lewat Cerita Panji

Memahami Valentine’s Day lewat Cerita Panji

HARI Kasih Sayang yang dirayakan di seluruh dunia berawal dari kisah hidup seorang biarawan Katolik yang wafat menjadi martir. Dia dihukum mati oleh Kaisar Claudius II karena menentang peraturan yang melarang pemuda Romawi menjalin hubungan cinta dan menikah karena mereka akan dikirim ke medan perang. Dia meninggal pada 14 Februari 269. Valentine dimakamkan di Gereja Praksedes Roma. Pada 496, Paus Gelasius I menetapkan 14 Februari sebagai hari peringatan Santo Valentine. Valentine’s Day sepantasnya tidak terbatas pada ungkapan-ungkapan kasih sayang, tema-tema serta nuansa romantis, dan lain sejenisnya. Kasih sayang dan kesetiaan adalah sepaket. Di dalamnya termasuk pengorbanan dan pengampunan atas kesalahan. Interpretasi yang berbeda dari makna cinta dan kasih sayang teramat jelas pada generasi muda kita. Ngeri. Kesan itulah yang terngiang menyikapi kabar pembunuhan dengan korban remaja dan pelaku sepasang remaja. Ade Sara Angelina Suroto, 19, tewas dibunuh sejoli Ahmad Imam Al-Hafitd, 19, dan Assyifa alias Sifa, 19. Motif pembunuhan adalah masalah cinta. Para psikolog berkomentar adanya pengaruh yang luar biasa besar dalam kehidupan modern terhadap tumbuh kembang remaja kita. Salah satunya, urusan cinta menjadi semacam industri yang kesan dan nilainya dipersempit menjadi sebatas urusan fisik, kepuasan dan konsumtif. Alhasil, pemaknaan remaja atas percintaan menjadi terdegradasi pada aspek tersebut. Di sisi lain, yang juga penting untuk diingat bersama, di balik keprihatinan dan kecemasan atas eksistensi kaum muda zaman sekarang yang semakin tidak menghargai nilai-nilai luhur kehidupan –seperti kesetiaan, kerja keras, hidup sederhana, dan kejujuran–, ada krisis jati diri sebagai bangsa yang berbudi pekerti. Krisis jati diri menyusup lewat konsumerisme dan hedonisme. Di ranah pendidikan, hal itu tampak pada disorientasi minat studi sejarah, budaya, sastra, seni, filsafat, serta ilmu humaniora lainnya. Membunuh hak hidup orang lain jelaslah bukan budaya kita. Pribadi yang rapuh dan cengeng juga bukan warisan leluhur bangsa ini. Apalagi jika dua hal tersebut disebabkan cinta, jelas ada nilai-nilai lain yang meracuni anak bangsa ini. Hasil penelitian Sekolah Tinggi Manajemen PPM terhadap pelajar SMA di 40 sekolah se-Jabotabek pada Juli–September 2004 menunjukkan, sebagian besar pelajar SMA berminat untuk studi di perguruan tinggi pada jurusan manajemen (30,1 persen). Diikuti akuntansi (19,5 persen), FISIP dan umum (16,9 persen), informatika (5,6 persen), teknik (3,5 persen), serta kedokteran (3,3 persen). Sebagian besar responden (42,1 persen) ingin menjadi profesional selepas pendidikan di universitas dan menganggap studi di perguruan tinggi sebagai modal kerja (34,6 persen) (Bisnis Indonesia, 5/4/2005, hal 4). Situasi di Jabotabek dan kota-kota besar lainnya di Indonesia juga menghampiri Bali. Sastra Bali yang terdiri atas bahasa lontar dan bahasa agama, yang mewujudkan otentisitas sebuah bangsa dan alat komunikasi antarmanusia, justru semakin ditinggalkan generasi muda. Mahasiswa di Bali menganggap kuliah sastra daerah tidak prospek ke masa depan dan kurang bergengsi (Bali Post, 6/12/2003). PANJI Antitesis atas eksistensi kaum muda zaman sekarang dapat ditemukan pada aspek humaniora. Bangsa Indonesia sudah lama memiliki kebudayaan humaniora. Dari dulu bertujuan melestarikan nilai-nilai tertinggi pada manusia dengan sastra, tari, musik, seni lukis, seni patung, dan bangunan-bangunan sejak zaman Hindu. Di Jawa Timur, salah satu sastra yang relevan mengikis kedangkalan makna percintaan ala industri cinta zaman sekarang adalah kisah Panji. Cerita Panji merupakan salah satu warisan kebudayaan bukan benda asli Jawa Timur yang kini digadang-gadang menjadi ikon populer dalam ’’persaingan budaya’’ global. SEAMEO SPAFA Regional Centre for Archaeology and Fine Arts mengadakan Panji/Inao-Southeast Asian Performance, Theatre and Dance, 2–6 Maret 2013 di Thailand Cultural Centre, Bangkok. Inisiatif masyarakat luar negeri mengeksplorasi dan mengkaji kesenian serta kebudayaan Jawa Timur terasa dilematis. Di satu sisi, kita patut berbangga karena ada perhatian serius dari masyarakat asing terhadap kebudayaan kita hingga menghadirkannya di ruang diskursus ilmiah dan pertunjukan wisata yang bernilai jual tinggi. Di sisi lain, menengok di internal kita, lebih-lebih adanya ketidakpedulian, bahkan mungkin ketidakbanggaan sebagai pemilik kebudayaan, tentu terasa ironis. Panji, cerita rakyat dari Kerajaan Daha (Kediri), mengisahkan percintaan antara Raden Inu Kertapati (Panji Asmarabangun) dari Jenggala dan Dewi Sekartaji (Galuh Candrakirana) dari Daha. Cerita rakyat yang diadopsi berbagai daerah di Nusantara, termasuk Bali, hingga Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina tersebut berbeda dengan Sampek Eng Tay, Ramayana, atau bahkan Romeo & Juliet karya William Shakespeare yang berakhir tragis dengan kematian. Roman Panji happy ending dengan perkawinan Raden Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji. Kisah Panji amat kental dengan nilai kerja keras, magis-spiritual, dan tentu saja kesetiaan. Dikisahkan, Panji yang bertunangan dengan Candrakirana terpisah oleh berbagai sebab dan intrik. Dalam kisah pengelanaannya mencari Candrakirana, Panji berolah rasa dan berolah spiritual. Hingga akhirnya, keduanya bertemu dan dipersatukan dalam perkawinan. Cerita Panji tertuang dalam relief di pendapa agung kompleks Candi Penataran, Blitar. Figur Panji yang digambarkan sesosok pria mengenakan topi pernah ditemukan di Gunung Penanggungan dan kini disimpan di Museum Seni Rupa Institut Teknologi Bandung. Selain ajaran agama, cerita sastra kita (salah satunya Panji) dan ilmu humaniora lainnya akan menjadi tameng untuk menangkal nilai-nilai destruktif/nilai kematian yang merebak subur pada zaman sekarang. Lebih-lebih, kearifan lokal itu membumikan makna Valentine’s Day. (*) *Penulis adalah Dosen Tourism Universitas Ciputra, mengajar mata kuliah Panji

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: