14 Februari: Bukti Cinta dan Pengorbanan

14 Februari: Bukti Cinta dan Pengorbanan

UNTUK sebagian orang, melihat sepintas judul tulisan ini mungkin akan langsung menghujam mata, pikiran dan perasaannya. Ya, 14 Februari memang waktu yang selalu mengundang perdebatan. Di tanggal itu, berbagai pendapat dan kepentingan selalu beradu, antara yang mensakralkannya, dengan yang anti pensakralan terhadapnya. Untuk sebagian orang, tanggal 14 Februari adalah hari kasih sayang, yang biasa disebut Valentine. Sebagian lagi berusaha untuk menolak segala konsepsi dan manifestasi terhadap itu. Di tengah berbagai upaya penolakan dan berbagai upaya perayaan hari kasih sayang tersebut, ingat atau bahkan tahu kah kita bahwa pada tanggal 14 Februari 70 tahun silam, sekelompok pemuda dan anak bangsa lainnya telah membuktikan cinta kasih dan pengorbanannya terhadap bangsa, negara dan sesamanya, dengan berusaha untuk mengusir penjajah, mewujudkan kemerdekaan sebagai bangsa dan manusia yang berdaulat serta bermartabat. Berjihad melawan penjajah, bukan dengan cokelat atau gombalan kata, tetapi dengan nyawa lewat hantaman senjata! Itulah Pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar 14 Februari 1945. Tulisan ini memang idealnya sampai di tangan pembaca bertepatan (sesuai) dengan tanggal yang tertera, namun tentu tidak akan ada salah dan ruginya jika kita tetap mengenang, memperbincangkan serta memetik pesan-pesan positif dan inspiratif dari peristiwa ini. Sebelumnya perlu ditekankan bahwa di sini penulis tidak bermaksud secara utuh menjadikan tulisan ini sebagai teks sejarah, di mana substansial pembahasannya lebih menitikberatkan pada fakta-fakta yang telah disusun secara komprehensif dengan metode dan metodologi historiografi yang ketat. Namun di dalam tulisan ini, penulis “cuma” bermaksud untuk mengenang dan memperbincangkan “sisi lain” dari tanggal 14 Februari yang masih banyak dicampakkan oleh publik di republik ini. Dengan berbagai keter­batasan sumber referensi ilmiah tentang peristiwa ini, penulis mencoba sedikit mengulas kisah sejarah ini dari sumber yang dapat penulis akses, yang –menurut penulis- bisa dipertanggung jawabkan. Untuk itu, substansi histori (dari tulisan ini) tentu sangat terbuka untuk (jika ingin) diperdebatkan. Pemberontakan pun Dijalankan! Jika diadu ketenaran dengan perdebatan pro-kontra perayaan Valentine, kisah perjuangan ini masih tentu kalah tenar, pun dengan tataran pengaktualisasian nilai-nilai dan semangat (perjuangan) nya, -rasa-rasanya- publik di republik ini, khusunya generasi muda, lebih menjiwai semangat dan nilai-nilai “hari kasih sayang” itu. Pada intinya, Pembela Tanah Air (PETA) merupakan organisasi semi militer dan militer yang bertugas untuk mempertahankan tanah air Indonesia dari serbuan musuh. Pasukan bentukan pemerintahan pendudukan Jepang ini dibentuk tanggal 3 Oktober 1943. Tujuan Jepang membentuk PETA antara lain untuk menarik simpati rakyat Indonesia agar mau memberikan bantuan kepada pasukan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Serta membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia, khususnya para pemuda untuk (ikut) mempertahankan Indonesia dari serangan Sekutu. Pembentukan PETA ini tentu menarik minat dan semangat para pemuda untuk ikut bergabung. Para pemuda yang masuk PETA kemudian mengikuti latihan di kompleks militer Bogor, Jawa Barat. Salah satu dari sekian banyak “purnawirawan” PETA yang melegenda ialah Supriyadi. Dalam konteks peristiwa ini, seperti yang telah penulis adaptasi dari Merdeka.com: Ramadhian Fadilah, “Sibuk Valentine, Ingatkah Remaja Indonesia pada Pemberontakan PETA?” yang menjelaskan bahwa Supriyadi (yang memegang peranan penting dalam peristiwa ini), dan rekan-rekannya adalah lulusan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar. Nurani pasukan-pasukan muda itu tersayat melihat (dan merasakan) penderitaan rakyat yang diakibatkan perlakuan tentara Jepang. Kondisi yang dirasakan rakyat sangat jauh dari kata layak dan manusiawi. Tenaga diperas, harta benda dikuras. Perlakuan terhadap para wanita Indonesia banyak dilecehkan dan diperlakukan dengan sangat tidak layak oleh tentara Jepang. Selain itu, ada aturan walau sekelas Komandan Batalyon atau Daidan, tentara PETA wajib memberi hormat pada serdadu Jepang walau pangkatnya lebih rendah. Harga diri dan rasa kemanusiaan para perwira PETA (dan rakyat) pun jelas terusik. Dalam buku Tentara Gemblengan Jepang yang ditulis Joyce J Lebra dan diterjemahkan Pustaka Sinar Harapan tahun 1988, dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan Supriyadi, dan rekan-rekannya sebelum memberontak. Pertemuan rahasia digelar sejak September 1944. Supriyadi merencanakan aksi itu bukan hanya pemberontakan tetapi sebuah revolusi. Para pemberontak itu menghubungi Komandan Batalyon di wilayah lain untuk sama-sama mengangkat senjata. Mereka juga berniat menggalang kekuatan rakyat. Namun, saat persiapan belum matang benar, Kenpetai atau polisi rahasia Jepang sudah mencium aksi mereka. Supriyadi cemas, khawatir mereka keburu ditangkap sebelum aksi dimulai. Malam tanggal 13 Februari 1945, dia memutuskan pemberontakan harus dimulai. Banyak yang menilai pemberontakan ini belum siap. Tak semua anggota Daidan Blitar memberontak. Supriyadi meminta para pemberontak tak menyakiti sesama PETA walaupun tak mau memberontak. Tetapi semua orang Jepang harus dilawan. Tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.00 WIB, pasukan Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira Jepang. Namun rupanya bangunan itu sudah dikosongkan. Jepang telah mencium pemberontakan itu. Dalam salah satu aksi, salah seorang bhudancho (bintara PETA) merobek poster bertuliskan “Indonesia Akan Merdeka”, dan menggantinya dengan “Indonesia Sudah Merdeka!”. Pemberontakan tak berjalan sesuai rencana. Rencana pemberontakan ini pun terbukti sudah diketahui Jepang. Dalam waktu singkat Jepang mengirimkan pasukan untuk memadamkan pemberontakan itu. 78 Perwira dan prajurit PETA dari Blitar diseret ke penjara. Mereka lalu diadili di Jakarta. Enam divonis hukuman mati, enam dipenjara seumur hidup, sisanya dihukum sesuai tingkat kesalahan. Namun nasib Supriyadi tak diketahui. Dia menghilang tanpa ada seorang pun yang tahu kabarnya. Sebagian meyakini dia tewas di tangan tentara Jepang dalam pertempuran. Kabar tentang pemuda dan komandan pasukan yang gagah berani itu memang penuh misteri. Dipaparkan bahwa Menurut sejarawan Petrik Matanasi, Pemberontakan PETA seperti di Blitar juga terjadi di derah lain seperti di Gumilir (Cilacap), Pangalengan, Bandung. Pemberontakan Supriyadi juga telah menginspirasi anggota PETA dan Heiho yang lain untuk tidak selamanya tunduk pada Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Supriyadi diangkat menjadi Menteri Keamanan yang pertama oleh Soekarno. Namun Supriyadi tak pernah muncul. Tetapi pemerintah mengakui jasa-jasanya dan mengangkatnya sebagai salah satu pelopor kemerdekaan. Tanpa sedikit pun mengecilkan rakyat dan pejuang yang lain, Supriyadi pun diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 063/TK/Tahun 1975, tanggal 9 Agustus 1975 (lihat www.tokohindonesia.com). 14 Februari: Bukti Cinta dan Pengorbanan (Sejati) Selama ini, (sebagian) publik di republik ini telah terlalu banyak menghabiskan energi dan konsentrasi di sekitar 14 Februari ini untuk memperdebatkan, dan merayakan apa yang tenar disebut dengan Valentine Day, daripada memfokuskan energi dan konsentrasi untuk membangun negeri dengan meneladani nilai-nilai dan semangat yang telah (berusaha) disampaikan dan diwariskan oleh para pejuang yang rela memberontak untuk menegakkan martabat dan kehormatan bangsa, juga merebut dan menegakkan martabat dan kehormatan sebagai manusia. Perbedaan pendapat dan orientasi pemikiran, termasuk perbedaan dalam mengaktualisasikan pemikirannya menjadi sebuah tindakan atau hal yang halal di alam reformasi dan demokrasi ini. Bagi sebagian orang, berusaha untuk memfilter budaya asing dengan menolak eksistensi Valentine Day dalam segala konsepsi dan manifestasinya tentu juga dianggap sebagai perjuangan untuk mempertahankan martabat nilai-nilai dan semangat budaya bangsa Indonesia yang religius ini. Hal itu tentu sah selama dalam koridor kewajaran. Di sisi lain, pihak yang (telah) merayakan dan berkeyakinan akan ”Hari Kasih Sayang” itu pun tentu tak salah jika mendapatkan tempat, asalkan tentu dalam merayakannya itu tetap dalam koridor -kepantasan- dan masih dalam norma, nilai, dan semangat agama dan budaya bangsa. Lebih bermakna lagi, seharusnya kita bersama bisa sama-sama menyadari bahwa Cinta, Kasih Sayang dan Pengorbanan yang sejati bukanlah hal yang -hanya- dapat dan layak diperingati satu hari dalam setahun saja, melainkan, Cinta dan segala bentuk manifestasinya itu tentu bersifat abadi, bisa diungkapkan kapan pun, sampai kapa pun. Dalam perwujudannya pun tak elok kiranya jika hanya diwujudkan dalam bentuk benda-benda material dan kasih sayang semu semata, apalagi jika sampai membuat kita lebih konsumtif, hedonis, dan keluar dari nilai dan norma yang ada. Para pejuang, pahlawan dan para pendiri negeri telah menunjukkan kepada kita apa itu Cinta Kasih dan Pengorbanan, dan bagaimana sebaiknya hal itu diaktualisasikan. Mereka percaya bahwa Cinta Kasih dan Pengorbanan itu tidak pantas jika hanya ditujukan untuk sesaat saja, dan hanya untuk pasangan (yang terkadang semu) semata. Lebih bermakna dari itu, Cinta kasih dan pengorbanan itu ditujukan untuk masa depan, serta demi tegaknya kebaikan dan kebenaran yang ditujukan bukan hanya untuk sesama manusia, tapi juga untuk bangsa dan negaranya. Semoga kita dapat meneladai segala nilai-nilai dan semangat yang telah diwariskan para pahlawan dan para pendiri negeri ini untuk kebaikan bangsa dan negara kita ke depan. Amin. Wallahu’alam bish shawab. Penulis adalah Esais, Mahasiswa Jurusan Sejarah, FIB Undip.Demisioner Staff Ahli Kementerian Sosial-Politik BEM FIB dan PSDM HMJ Sejarah Undip

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: