Memfungsikan Kembali Partai Politik
“MEMFUNGSIKAN Kembali Partai Politik”, itulah tema acara Selamat Pagi Cirebon Radar Cirebon Televisi (SPC RCTV) pada Jumat 13 Februari 2015 lalu. Pada acara yang dipandu Mas Afif Rivai ini, saya didaulat sebagai narasumber. Sebagai warga negara, saya merasa tema ini sangat penting dan mendesak untuk diperbincangkan. Hal ini disebabkan karena adanya suara sebagian publik yang mengatakan adanya kevakuman dan tidak efektifnya partai politik (parpol) dalam menjalankan fungsinya dalam dinamika politik kebangsaan akhir-akhir ini. Pertanyaan sederhana pun muncul: apakah demikian kondisinya? Lalu bagaimana semestinya parpol menjalankan fungsinya agar perjalanan politik kebangsaan di masa depan semakin produktif hingga membanggakan sekaligus bermanfaat bagi seluruh elemen bangsa? ANTARA IDEALISME DAN PRAKTIK Sudah menjadi maklum, reformasi telah membuka kran bagi munculnya kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan publik negeri ini, terutama dalam ekspresi politik. Parpol sebagai intermediasi sekaligus saluran hasrat politik pun hadir begitu rupa dengan vitalitas yang besar. Hampir tak ada kebijakan strategis negara yang tidak melalui mekanisme yang berdimensi parpol—yang tentu saja beraroma politik. Bahkan Undang-Undang No 2 Tahun 2008 maupun Undang-Undang No 2 Tahun 2011 mengamini dan menggariskan secara jelas bahwa partai politik memiliki fungsi penting yaitu fungsi komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pencegah konflik. Dari sini sangat jelas bahwa keberadaan parpol menjadi sangat vital. Vitalisasi kekuasaan parpol semacam ini tentu saja menjadi berita gembira bagi kemajuan politik Indonesia, karena dengan begitu parpol telah menegaskan dirinya secara terbuka sebagai institusi utama dalam negara yang menjemput perubahan dan kemajuan. Sederhananya, tanpa parpol maka proses perubahan dan kemajuan di Indonesia adalah nisbi dan ilutif. Namun di sisi lain, fenomena semacam ini akan menjadi kabar buruk, sekaligus menjadi ancaman bagi masa depan Indonesia. Menjadi buruk dan ancaman, tentu apabila parpol menyimpang dan gagal menjalankan fungsi intermediasinya sebagai institusi politik sebagaimana yang digariskan peraturan perundang-undangan. Sebab, kegagalan parpol dengan postur kekuasaan yang begitu kuat akan membuat proses politik mengidap kegagalan (baca: “parpol gagal”); suatu kondisi ketika postur kekuasaan dan kewenangan parpol sangat kuat, tetapi menyimpan banyak penyakit dan penyimpangan politik yang begitu kuat. Kondisi ini pada titik lanjutannya akan menjadi “biang” terjadinya rusuh politik, terutama ketika kekuasaan parpol menguat, namun tidak diimbangi dengan sistem imunitas berupa penguatan sistem dan pelembagaan internal organisasi parpol itu sendiri; di samping tidak serius dan produktifnya parpol dalam mendengar kritik publik sekaligus mengakomodasi kepentingan publik. Pandangan publik yang mengatakan bahwa parpol menjadi “biang” kerusuhan politik tentu disertai alasan yang patut didengar oleh elite parpol. Bahkan parpol dinilai gagal mengantisipasi penyakit kronis dan penyimpangan politik benar adanya. Hal ini paling tidak seperti yang pernah disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda AR empat tahun lalu. Hanta mengatakan paling tidak ada empat penyimpangan virus politik yang gagal diantisipasi partai-partai (baca: parpol gagal) secara bervariasi: pertama, virus pragmatisme yang kian menggerogoti perilaku para elite, kader, dan konstituen partai; kedua, virus kartelisme yang menyerang perekrutan dan suksesi kepengurusan di dalam partai; ketiga, virus oligarkisme yang menginternalkan model kepemimpinan dan pengambilan keputusan di dalam partai; keempat, serta virus faksionalisme yang semakin melemahkan kelekatan organisasi partai (Kompas, 27/5/2011). Apa yang disinggung Hanta, tentu mengafirmasi pendapat publik yang mengatakan bahwa menguatnya pragmatisme para politisi merupakan imbas kegagalan parpol dalam menjalankan sistem kaderisasi dan ideologisasi. Keterikatan politikus dengan ideologi parpol pun sangat lemah. Akibat kealpaan ini, kaderisasi parpol cenderung menghasilkan politikus tanpa ideologi. Karena itu pula, gejala lompat pagar para politisi belakangan ini merupakan indikasi kuat tentang kegagalan parpol menjalankan kaderisasi dan ideologisasi. Lebih jauh, sadar atau tidak disadari, pragmatisme politik tak hanya menghinggapi elite politik, tetapi juga kader, anggota, dan pemilih parpol. Gejala ini mengindikasikan kegagalan parpol menjalankan fungsi dasarnya, terutama fungsi pendidikan politik. Selanjutnya, dampak pragmatisme ini memerosotkan militansi kader sehingga mesin organisasi parpol tak berjalan optimal. Pada situasi rendahnya militansi kader dan menguatnya pragmatisme pemilih, parpol cenderung menggunakan cara instan dalam menarik simpati pemilih dengan menggunakan kekuatan politik uang (money politics) dalam berbagai pola dan nama. Bahkan sistem politik sekarang ini, akan memunculkan perburuan rente, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Di antara penyebabnya adalah pileg tahun ini hadir sebagai hajat demokrasi yang paling brutal dan penuh dengan praktik politik uang (money politics) yang nyaris tanpa pengawasan (Burhanuddin Muhtadi, 2014). Menguatnya virus kartelisme dalam seleksi kepemimpinan politik, indikasinya sederhana, kepala daerah dan anggota legislatif banyak terjerat kasus hukum (terutama korupsi) dan produktivitas kinerja lembaga negara sangat rendah. Bahkan parpol terkartelisasi juga menyebabkan terpisahnya pemimpin parpol dengan konstituennya sendiri. Lebih jauh—sebagaimana yang diungkapkan oleh Haryatmoko (2014)—perilaku parpol sudah tidak lagi mencerminkan kematangan ideologi dan adanya etika politik dalam tubuh parpol. Virus oligarki yang menjangkit parpol memang sudah menjadi gejala umum. Bahkan Robert Michels sejak lama telah memberi sinyal tentang hukum besi oligarki: bahwa setiap organisasi partai politik pada hakikatnya hanya dikuasai segelintir elite. Alih-alih menerapkan model kepemimpinan berbasis sistem untuk mengantisipasi gejala itu, partai politik justru cenderung memelihara berkembang biaknya personalisasi kekuasaan dan menyuburkan kepemimpinan oligarkis. Faksionalisasi juga sebenarnya merupakan gejala umum yang menghinggapi parpol. Namun, parpol gagal mengelola dan mengantisipasi potensi faksionalisme itu. Faksionalisme yang berkepanjangan jelas menyebabkan semakin melemahnya konsolidasi organisasi. Para elite parpol saling melemahkan dan tidak saling mendukung. Implikasi kegagalan mengelola faksionalisme ini, misalnya, faksi yang terpinggirkan cenderung membentuk parpol baru atau para politikus berpindah ke parpol lain sambil mencaci maki dan membuka kebobrokan parpol yang pernah dihinggapi. Parpol gagal menjalankan fungsinya sebagai intermediasi politik akan berimbas terhadap institusi negara (eksekutif-legislatif-yudikatif) dan perilaku elite politik (pejabat publik) yang perekrutannya melibatkan parpol. Karena itu, problem di lembaga legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif sejatinya—sangat mungkin—merupakan imbas dari parpol gagal semacam itu. Jika parpol gagal, maka tentu saja upaya maksimalisasi pelayanan publik menjadi tersendat bahkan tak pernah terwujud secara penuh. PARPOL PERLU SISTEM IMUNITAS Dalam melampaui kondisi di atas sekaligus dalam memandang masa depan politik yang lebih elok, maka saya memandang bahwa parpol perlu meningkatkan sistem imunitas melalui penguatan kelembagaan dan demokratisasi sistem internal parpol. Lebih praktis, paling tidak ada empat agenda institusionalisasi dan demokratisasi demi sistem imunitas ini. Pertama, ideologisasi kader dengan menggalakkan program pengakaran ideologi bagi kader atau anggota parpol melalui sistem kaderisasi yang melembaga (dan terevaluasi) serta gerakan pendidikan politik bagi pemilih, (baca: rakyat) sembari mengintensifkan hubungan parpol dan pemilih melalui program pengakaran parpol. Kedua, revitalisasi ideologi, gagasan, dan platform parpol melalui transformasi komunikasi politik tanpa menanti momentum pemilu. Strategi menjual popularitas tokoh dan jargon politik mulai ditransformasikan dengan menawarkan platform, gagasan, serta program yang menarik dan inovatif agar menjadi parpol berorientasi program dan kinerja yang konektif dengan kebutuhan jangka panjang negara. Ketiga, demokratisasi sistem perekrutan dan penjaringan jabatan publik (presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan anggota legislatif) di dalam parpol melalui mekanisme konvensi parpol yang terbuka, berbasis meritokrasi, dan melibatkan anggota parpol. Tentu konvensi yang demokratis dan transparan perlu didahului dengan pemilu pendahuluan yang melibatkan kader atau anggota sebagai pemilik saham terbesar di parpol. Hal ini dapat mengurangi potensi politik uang, memutuskan rantai oligarki elite di parpol, sekaligus mengelola faksionalisme secara terlembaga. Keempat, modernisasi organisasi dan demokratisasi sistem pengambilan keputusan dengan melembagakan sistem kepemimpinan kolektif-kolegial sembari perlahan memutus mata rantai oligarki dan personalisasi politik dengan melepaskan diri dari ketergantungan pada sosok personal dan segelintir elite yang kerap mengedepankan standar finansial daripada integritas dan gagasan konstruktif bagi masa depan parpol serta seluruh orientasi mulianya. Dalam konteks masa depan, keempat agenda di atas sangat penting dan terdesak untuk ditunaikan dengan segera; dan—ini yang sangat penting—tidak perlu menanti momentum atau menjelang pemilu (baca: pileg, pilpres dan pilkada) semata. Dengan begitu, parpol benar-benar menjalankan fungsi strategisnya sebagai pelaku utama proses pematangan politik rakyat, lebih dari sekadar praktik instan sebagaimana yang disuguhkan selama ini. Selanjutnya, parpol pun benar-benar menjadi rahim kaderisasi bagi terlahirnya para pemimpin yang negarawan, bukan ruang akrobasi para politisi yang nihil kualitas. Selanjutnya, dengan adanya sistem imunitas semacam ini maka akan memudahkan parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai intermediasi politik rakyat dalam segala dimensinya: komunikasi, sosialisasi, rekrutmen (kaderisasi) dan pecegah konflik. Hanya dengan begitulah suara pesimisme publik tentang kevakuman dan tidak efektifnya parpol bisa diminimalisir; serta adanya kebebasan politik di era reformasi ini benar-benar menjadi “barokah” bagi kemajuan politik negeri ini di masa depan. Mari berbenah untuk masa depan Indonesia yang semakin mempesosa dan berperadaban maju! (*) * Direktur Eksekutif Mitra Pemuda, Pegiat Komunitas, Pegiat PENA BBC dan Penulis buku POLITICS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: