Asa Keadilan vs Konflik Politik KPK dan Polri

Asa Keadilan vs Konflik Politik KPK dan Polri

Oleh: Akhmad Faozi* Pemberitaan politik akhir-akhir ini yang didominasi gesekan KPK dan Polri, meresahkan publik. Posisi dua lembaga yang seharusnya berjalan pada asas keadilan, menjadi bias karena indikasi kepentingan politik nirkebangsaan. Mungkin sampai kasus ini berakhir, titik terang akan transparansi birokrasi pemerintahan tidak akan terlihat. Karena jarak antara rakyat dengan penyelenggara pemerintahan terdapat ruang rahasia yang tidak mungkin dibuka lebar. Rakyat tidak terlalu memahami strategi politik. Namun berita yang berhembus setidaknya memberikan peta kasar perjalanan pemerintahan yang sedang berlangsung. Optimisme  kinerja badan penegak hukum yang tumbuh setelah terpilihnya pemerintahan baru, terdegradasi karena impotensi soliditas dua lembaga hukum kita. KPK sebagai agen spesifik pemberantas korupsi, tidak mampu bekerja sama dengan Polri yang notabennya adalah juga pamong pengawal hukum yang lebih tua. Semoga usia tuanya, tidak memberi arti usia renta. Juga KPK yang lebih muda tidak menjadi “jiwa muda yang berfikirnya sekali saja”. MEMETAKAN KPK DAN POLRI Dalam teori Struktural-fungsional, setiap lembaga yang ada di dalam masyarakat serupa organ tubuh yang saling menyokong antara satu dengan yang lainnya. Ada penyangga serupa kaki berikut jari-jari, fleksibilitas lutut, juga paha sebagai penjaga ketahanan. Ada eksekutor aksi serupa tangan, sel-selnya, ruas-ruasnya, serta kekuatan otot-ototnta sebagai eksekutor praktis. Singkatnya, tanpa fungsi normal salah satu organ, maka tubuh masyarakat akan sakit. Lama kelamaan akan semakin parah dan destruktif jika tidak segera ditanggulangi. Bertolak dari ini, KPK dan Polri dapat dikatakan sebagai “tangan hukum”. Berfungsi sebagai pemegang dan pencengkeram pelanggar serta penyeleweng hukum. Jelas terdapat perbedaan di antara keduanya, dari spesifikasi fungsi maupun besar kecil dan tersebarnya personel juga kantor mereka. Namun perbedaan yang paling esensial, adalah lapangan kerja mereka. Polisi lebih bertugas mengawal berjalannya hukum di tengah masyarakat secara umum. Sedangkan KPK mengelaborasi secara khusus wilayah internal pamong pemerintah. Termasuk polisi, kehakiman, bahkan kalau perlu presiden sekalipun. Polisi dapat menindak secara legal, siapa pun pelanggar hukum. Tak terkecuali anggota KPK. Demikian juga dengan KPK yang mempunyai hak menyelidiki dan menindak siapapun Polisi yang terindikasi korup dalam menjalankan tugasnya. Jika proses kerja masing-masing berjalan dengan baik, maka tidak ada tumpang tindih tugas. “Baik” yang kita maksud di sini adalah kondisi sesuai dengan landasan konstitusional serta landasan keadilan. KEADILAN YANG TERBUNGKAM Saya kira tidak ada masalah dengan landasan konstitusional. Karena pemerintah dan instansi-instansinya telah terbiasa dengan penggunaan butir undang-undang untuk melegitimasi keputusan yang diambilnya. Ataupun kalau ada, itu membutuhkan space pembahasan lebih luas. Berbeda nada ketika menyoal keadilan. Sampai saat ini tanda tanya tebal masih melekati setiap lembaga pemerintah terkait kredibilitas dan kedewasaannya pada kondisi “sadar keadilan”. Dalam sila ke lima ideologi Pancasila, keadilan merupakan tanggung jawab negara. Namun keadilan yang dimaksudkan Pancasila ini, belum menemukan wujud nyata. Keberadaannya masih terpaku pada teks, sebuah dimensi mati. Tidak mampu hidup dengan tegak, menjadi penyangga keokohan bangsa. Setiap bunyi dari Pancasila merupakan sabda suci kebangsaan. Kesucian dari makna Pancasila ini menjadi keniscayaan wajib penyelenggara pemerintahan. Artinya, di dalam menyelenggarakan pemerintahan, keadilan menjadi asas utama. Hal ini terlalu sederhana untuk dipahami setiap warga Indonesia yang dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi diberi materi kepancasilaan, namun terlalu sulit untuk diimplemensikan. Konsep keadilan dengan segala derivasinya, memberi arti pada sikap berpihak pada kebenaran semata. Tidak terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan sempit parpol, pengusaha, atau siapapun yang tidak berhubungan dengan kebenaran. Pertanyaannya, sejauh mana kebenaran ini dipahami? Sejauh mana kesadaran pentingnya keadilan hadir di benak pamong negara ini? Termasuk KPK dan Polri. Biarlah untuk menjawab ini, kita butuh diam sejenak. Namun sangat ironis jika keadilan dibiarkan terbungkam terlalu lama melihat (perseteruan) KPK dan Polri yang tidak juga menunjukkan titik progres. Ataukah memang sudah tidak ada lagi, otoritas pemerintah bangsa ini yang eman pada tegaknya keadilan di negeri ini? (*) *) Penulis adalah mahasiswa jurusan Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bergiat di lingkar diskusi sosiologi agama angkatan 2012.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: