Sepotong Pelangi untuk Aldi
Oleh: Nindi Aulia Rahmah* ALDI tersayang, bersama surat ini aku kirimkan kepadamu sepotong pelangi ― dengan pemandangan bukit yang basah yang tampias oleh hujan, cahaya yang menari berwarna-warni. Semoga kamu menerimanya dengan lengkap. Sama seperti saat aku mengirimkan pelangi ini. Pelangi yang ada di atas bukit pinus itu, seperti yang pernah kita nikmati bersama 4 tahun yang lalu. Apakah kamu mengingatnya? Ada beberapa ekor capung yang terbang menemani kita kala itu, dan desir angin yang memercikan sisa hujan ke wajah kita. Tapi pada sepotong pelangi yang ku kirim ini, aku tidak mengeceknya dengan teliti. Aku sibuk membayangkan ekspresimu kala menerima sepotong pelangi ini, kekasih. Februari memang puncak musim penghujan. Jabodetabek saja sudah terendam hingga ada mencapai 2 meter. Mengerikan sekali. Bagaimana dengan tempat tinggalmu? Semoga aman selalu ya, supaya kamu bisa menikmati pelangi dengan suka cita. Kukirimkan sepotong pelangi ini untukmu Aldi, dalam amplop besar berwarna coklat dan bergaris biru – merah disetiap sisinya. Amplop ini tertutup rapat, aku meminta disegel kepada kurirnya, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata kepadamu. Aku ingin menyampaikan kerinduanku dengan berbeda dari cara yang biasa kusampaikan. Tak terhitung berapa banyak kata-kata yang kutulis untukmu, tapi tak pernah kau baca juga, bukan? Sebab itulah aku mengirim sepotong pelangi ini. Aku ingin kau juga mengenang kebersamaan kita dulu, empat tahun yang lalu. Semoga kau masih mengingatnya. Segala hal yang ingin aku lakukan di dunia ini bersamamu, meski aku tahu itu semua sudah jauh tertinggal dibelakang. Semua itu hanya akan tinggal kemungkinan-kemungkinan kecil yang menjadi kenyataan. Ku kirimkan sepotong pelangi ini kepadamu, Aldi. Pelangi ini aku harap dapat mewakili perasaan rinduku yang menggunung. Ribuan hari yang aku lewati tanpa kehadiranmu. Siksa yang menyenangkan, kau tahu? Aku benar-benar menjalani hariku tanpa dirimu, tanpa pesan apalagi semangat. Tanpa senyumanmu. Ku pikir duniaku akan binasa, ternyata tidak. Ku pikir aku akan membencimu yang telah pergi meninggalkanku, ternyata tidak bisa. Bahkan semenjak kepergianmu aku berkeras pada diriku sendiri, bahwa sepanjang sisa usiaku ini adalah doa untukmu, Aldi. Aku tak peduli seberapa sakit yang pernah kauberi kepadaku, seberapa dalam yang kau toreh di hatiku. Aku tidak peduli, meski sakitnya masih kurasa. Meski lukanya sulit ku lupa. Aku selalu berdoa untukmu, Aldi. Aldi yang sangat ku rindu, akan ku ceritakan sedikit bagaimana aku memperoleh pelangi ini untukmu. Kau pasti ingin tahu bukan, bagaimana gadis cengeng ini nekat mengambil pelangi di langit? Baiklah, aku akan bercerita. Sore itu, sekitar pukul 16.21 WIB aku duduk di ayunan di bukit pinus itu. Tempat yang sama saat kita menyaksikan pelangi, empat tahun yang lalu. Aku mengenang semuanya. Nampaknya angin musim penghujan memang ditakdirkan sebagai pemutar kenangan, aku tidak heran dengan itu, aku merasakannya. Aku hanya sendirian di bukit itu, melarikan diri dari rutinitas yang memuakan di kampus ku. Sore itu hujan telah usai, di sela-sela jari hujan pelangi mulai tampak. Selama 47 detik aku mematung, terpukau indahnya pelangi. Kemudian aku teringat akan kamu, Aldi. Ku ambil pisau lipat hadiah darimu, empat tahun yang lalu. Maka ku potong pelangi itu sebelum terlambat dan menghilang. Ku kerat empat sisi memanjang. Ku masukan ke dalam tas, pelangi dan sedikit potongan bukit yang tampias. Ku pikir pelangi ini akan menarik untukmu, Aldi. Dengan begitu keindahan pelangi ini akan abadi dan aku bisa memberikannya untukmu. Setelah itu aku beranjak pergi dari bukit dengan segera. Aku takut ketahuan telah ‘mencuri’ pelangi ini. Meski perasaanku sangat senang dan langkahku ringan memikirkan segala kemungkinan yang ada jika kamu menerima pelangi ini. Aku selalu membayangkan suatu saat bisa menikmati pelangi di atas bukit ini denganmu, Aldi. Duduk berdua didepan tenda dome, menikmati secangkir kopi dan memandang pelangi sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya tentang masa depan. Apakah itu akan jadi kenyataan? Pelangi ini, bisa kamu bawa kemana-mana atau kamu taruh saja di langit-langit kamarmu. Supaya kamu bisa sedikit saja mengingat kita, empat tahun yang lalu. Ketika aku meninggalkan bukit itu, ternyata beberapa orang menyadari ada yang kosong di langit sana. Aku menoleh kebelakang, melihat mereka yang berbondong-bondong menanyakan kemana hilangnya pelangi sore itu di langit? Mereka jadi gempar. Ku lihat cakrawala itu berlubang sebesar amplop ini. Semua ini telah terjadi dan kejadiannya memang seperti itu. Aku kemudian mempercepat langkahku sebelum orang-orang di sana menyadari akulah yang memotong langit. Meski aku tahu tidak ada undang-undang yang melarang memotong langit, apalagi mengambil pelangi, tapi aku tetap saja takut, Aldi. Aku terus berjalan cepat dan berlari, menuju ke hutan. Melewati banyak sungai dan rawa-rawa. Berlari terus hingga lelah. Hingga orang-orang itu berhenti mengejarku. Sampailah aku pada sebuah desa. Desa dimana setiap sudutnya ada pelangi. Aduhai, ini ajaib sekali, Aldi. Aku terperangah, lebih dari 47 detik. Desa ini tidak diguyur hujan dan tidak ditempa matahari, tapi di setiap sudutnya ada pelangi. Astaga, kamu boleh tidak mempercayainya Aldi, tapi kamu akan terus membaca ini hingga usai. Di desa itu ada penghuninya, tidak banyak tapi cukup ramai. Wajah mereka semua bercahaya. Ada anak-anak yang sedang bermain lompat tali, setiap kali melompat setiap kakinya menyentuh tanah maka keluar percikan cahaya yang maha cantik. Cahaya mejikuhibiniu seperti warna pelangi. Aku bingung, apakah di dunia ini ada kehidupan macam desa ini? Aku tidak sedang bermimpi saat itu, Aldi. Kau boleh tidak mempercayainya. Aku berjalan santai menikmati pelangi yang banyak di desa ini, desa yang kuberi nama Paradise Rainbow. Orang-orang menyapaku ramah, beberapa mengajak berbincang. Setelah aku pikir-pikir, untuk apa banyak sekali pelangi disini jika setiap orang di desa ini bisa membuat pelangi dengan tangan dan kakinya, sebanyak yang mereka mau. Wajah mereka saja sudah bercahaya bagai pelangi. Maka kudekati orang tua yang dianggap kepala suku oleh warga desa, aku memohon meminta satu pelangi yang menggantung takhzim di atas bukit desa itu. Menjelaskan bahwa di desa ini terlalu banyak pelangi, maka tak akan ada perubahan yang berarti jika diambil satu saja. Ajaibnya, kepala suku desa Paradise Rainbow itu mengangguk, menyetujui. Katanya “Ambil saja pelangi yang kamu suka, Nona. Kami selalu berbaik hati kepada gadis menyedihkan memendam rindu. Cinta yang tak pernah tersampaikan dan kisah yang tak pernah selesai”. Astaga Aldi, gadis menyedihkan yang memendam rindu? Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang dikatakan si kepala suku itu. Apakah aku terlihat begitu menyedihkan memendam rindu ini kepadamu? Ribuan hari yang kulewati tanpa hadirmu, aku berusaha hidup senormal mungkin. Tetapi setiap malam, aku selalu meratap dalam doa panjang untukmu. Sungguh. Hanya doa yang bisa kuusahakan kala rindu itu menyapa. Tak ada yang paling kurindu, selain kematian dan dirimu, Aldi. Maka ku kerat kembali pelangi dari desa itu. Ku potong dengan pisau lipat pemberianmu, empat tahun yang lalu. Pisau lipat yang selalu aku bawa kemana-mana. Sehingga tersisa di cakrawala lubang sepesar amplop yang kau terima ini. Ku masukan pelangi itu kedalam tasku. Dengan dua pelangi didalam tasku, aku melangkah pulang. Bumi seakan berhenti berputar, dan semesta berhenti beredar. Aku berjalan menuju bukit tempatku mengambil pelangi yang pertama. Dengan dua pelangi didalam, tas kecilku bercahaya memancarkan warna pelangi yang memukau. Aku simpan pelangi dari desa Paradise Rainbow, kupasang pelangi itu diatas cakrwala di bukit itu. Ternyata pas. Orang-orang sudah tidak mengkhawatirkannya. Lantas kukirimkan pelangi yang asli dari atas bukit itu. Aku ingin kamu menikmati apa yang aku lihat pertama kali. Pelangi yang pernah kita lihat juga diatas bukit yang sama, empat tahun yang lalu. Aldi yang kurindu, dan selalu kurindu. Terimalah pelangi ini. Mungkin benar apa kata si kepala suku di desa Paradise Rainbow itu. Cinta yang kupunya ini tak akan pernah tersampaikan kepadamu, tapi aku nekat mengirim ini kepadamu. Aku tidak ingin kisah kita menjadi kisah yang tak berujung, tak pernah usai. Maka dengan sepotong pelangi ini, semoga kisah kita berhenti. Aku lelah, aku ingin menemukan pelangi yang lain. Seperti kamu yang sudah berbahagia beternak senja. Dengan pelangi ini, kukirimkan seluruh rinduku yang meluruh dengan cahaya mejikuhibiniu. Untukmu, hanya untukmu. Dengan cium, peluk dan bisikan terhangat. Dengan cinta sepanjang hayat. Dari tempat yang paling menyenangkan di dunia ini. (*) *Mahasiswa semester 4 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unswagati Cirebon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: