Tuhan, Ku Titipkan Dia Pada-Mu

Tuhan, Ku Titipkan Dia Pada-Mu

Oleh:  Ivon Fanusah* Hari mulai senja. Sang mentari mulai kembali ke peraduan. Jam pun telah menunjukkan pukul 05.30 petang. Sore ini, langit begitu menawan dengan perpaduan warna oren kecoklatan, dilengkapi kupu-kupu cantik yang berterbangan menuju mahkota bunga. Aku duduk termangu sendiri menyaksikan betapa indahnya ciptaan Allah dzat yang Maha Pencipta. Kesempurnaan hanya milik-Nya. Adzan maghrib berkumandang. Segera aku berwudhu dan mendirikan salat maghrib berjamaah bersama keluarga. Setelah salat maghrib berjamaah, ibuku berkata kepadaku ”Hani, kamu tahu kan pria yang kadang datang ke rumah setiap malam minggu?” “Iya bu. Memangnya kenapa?” jawabku. “Dia adalah yang akan menjadi suamimu kelak. Kemarin dia datang kemari dan menemui ayahmu, kemudian melamarmu. Dan ayahmu menerima lamaran itu” jawab ibu sambil tersenyum. Hatiku kaget mendengar pernyataan itu. Tak pernah ku sangka bahwa kehadirannya berujung pada masa depanku. “Dia itu namanya nak Rusdi. Dia bekerja di salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dia juga cukup mapan orangnya. Ibu dan ayahmu berpikir, mungkin kamu bisa hidup bahagia dengannya. Nak Rusdi juga baik sikapnya. Ibu dan ayahmu sudah merestui jika kamu menikah dengannya.” Jelas ibu padaku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya merespons penjelasan ibu dengan senyum terpaksa. Aku tak tahu apakah aku bisa menerima ini atau tidak. Ya Robb, jika memang ini adalah takdirmu untukku, maka biarkan aku menerimanya dengan ikhlas karena-Mu. Tepat pukul 09.00 ku baringkan tubuh ini di atas kasur yang empuk. Otakku berfikir, mengapa bisa seperti ini? Bahkan aku tak tahu siapa Mas Rusdi itu. Malam ini aku tak bisa tidur. Entah kapan mata ini akan mengantuk, sementara otakku terus berfikir tentang perjodohan yang dilakukan oleh orangtuaku. Memang orangtuaku berniat baik melakukan ini. Mereka merasa perlu mencarikan jodoh untuk anaknya agar bisa hidup bahagia dalam rumah tangga. Dan aku tahu usiaku sudah cukup matang untuk menginjakkan kaki ke pelaminan. Tapi aku belum mendapatkan yang terbaik. Aku masih memilih, dan pilihan itu ternyata ditentukan oleh kedua orangtuaku. Satu jam kemudian aku mulai mengantuk dan mataku terpejam. Alam mimpi mulai ku masuki. Jam tiga dini hari aku terjaga dari tidur yang lelap semalam. Aku segera menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan berwudhu. Tak lama, ku pakai mukenah dan ku bentangkan sajadah menghadap kiblat. Ku dirikan salat sunnah tahajjud yang kaya akan faedah. Beberapa rka’at aku lakukan, kemudian aku berdo’a kepada Sang Khaliq. “Ya Allah yang Maha Mengetahui isi hati. Di sepertiga malam ini aku berdo’a pada-Mu, mengadukan semua urusanku. Ya Robb, sungguh Engkau telah mengetahui tentang perjodohan ini. Dan Engkau Maha Mengetahui seluruh hamba-Mu. Jika memang Mas Rusdi adalah jodohku, biarkan aku ikhlas menerimanya karna-Mu. Jika memang ia jodohku, maka biarkanlah ia menjadi perantara kecintaanku pada-Mu. Bimbing aku menjadi wanita sholihah yang bisa mencintai dia apa adanya. Yang bisa mencintai seluruh kekurangannya. Karena hanya dengan itu aku bisa hidup bersamanya dalam mahligai cinta yang Engkau ridhoi. Aamiin yaa Robbal”alamiin.” Pagi harinya. Tepat pukul tujuh. Aku berangkat menuju sekolah TK yang cukup jauh dari rumahku. Aku mengajar sebagai guru di sana. Kegiatan mengajar di sekolah TK membuat jiwaku lebih muda dan bahagia. Anak-anak kecil yang setiap hari ceria dan tertawa dapat menghibur kegundahanku tentang perjodohan ini. Tapi aku berusaha untuk bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas. Tak terasa waktu terus berlari hingga tepat pukul 11.30 aku sampai di rumah. Kedatanganku disambut hangat oleh ibuku dan ibuku berkata kepadaku, “Hani, nak Rusdi dan keluarganya akan datang ke sini ba’da ashar nanti. Sekarang kamu cepat bantu ibu memasak ya untuk hidangan tamu kita.” “Iya bu.” Jawabku patuh. Beberapa jam berlalu. Jam sudah tiba pada pukul 03.30 sore. Mas Rusdi dan keluarganya akan segera datang kerumahku. “Assalamu’alaikum!” suara terdengar dari balik pintu. Ayahku mulai menyambut. “Wa’alaikumsalam. Silahkan msuk pak!” Jawab ayahku disertai senyuman. Keluarga Mas Rusdi segera memenuhi ruang tamuku dan berbincang-bincang obrolan santai. Orangtuaku dan orangtua Mas Rusdi terlihat sangat akrab. Di sela-sela obrolan, ayahku bertanya pada Mas Rusdi. “Nak Rusdi, apakah kamu sudah siap menikah dengan putri bapak?” “Insya Allah siap pak.” Jawabnya sambil tersenyum. Ayahku melanjutkan pertanyaannya. “Nak Rusdi, jika kalian sudah menikah, bapak pesan jaga anak bapak baik-baik ya. Dan ingat jangan pernah sakiti hatinya. Hanifah ini putri kesayangan bapak dan ibu. Dari kecil kami merawat Hani dengan hati-hati, dan nanti kami akan menyerahkan anak kami kepada nak Rusdi. Ingat baik-baik ya!” pinta ayahku dengan penuh harap. “Tentu pak, saya akan menjaga dan tidak menyakiti putri bapak. Bagaimana mungkin saya menyakiti bidadari saya sendiri?” jawabnya tegas dan penuh tanggung jawab. Lanjutnya lagi, “Oh ia pak, jadi kapan pernikahan ini berlangsung?” “Insya Allah hari sabtu minggu depan. Bagaimana? Nak Rusdi setuju?” jawab ayahku. “Saya setuju pak. Pernikahan lebih baik disegerakan.” Jawab Mas Rusdi menyetujui. Tak terasa adzan maghrib berkumandang. Keluargaku dan keluarga Mas Rusdi salat berjama’ah di musala yang ada di rumahku. Setelah itu, Mas Rusdi dan keluarganya pulang ke rumah. Setelah acara silaturahim dengan Mas Rusdi dan keluarganya usai, tepat pukul 09.00 ku rebahkan tubuh ini di atas kasur yang selalu setia menjadi alas tubuhku untuk melepas lelah. Pertemuan sore tadi cukup meyakinkanku akan identitas Mas Rusdi. Menurutku Mas Rusdi memang benar orang baik seperti yang telah dikatakan oleh ibu saat lalu. Juga sepertinya, Mas Rusdi adalah pria yang sholih. Hal ini dapat terlihat dari tutur katanya yang berpengetahuan. Malam itu, aku segera tidur untuk memberikan hak istirahat pada tubuhku ini. Aku lelap dan semakin lelap. Ku awali hari ini dengan bismillah. Hari Sabtu, hari yang bersejarah buatku, karena hari ini adalah hari pernikahanku dengan Mas Rusdi. Kehidupan baru akan datang sebentar lagi. Aku cukup tegang dan bahagia saat Mas Rusdi mengucapkan qobul ”Saya terima nikahnya Hanifah Humairoh Azzahra binti Abdul Malik dengan mas kawin tersebut tunai!” serempak para tamu undangan mengucapkan kata “sah” dan berhamdalah. Akhirnya aku resmi menjadi kekasih halal Mas Rusdi. Acara pernikahan kami berlangsung dengan lancar. Dan hari ini, aku dan Mas Rusdi menjadi Raja dan Ratu seharian. Beberapa bulan setelah pernikahan, aku baru tahu bahwa Mas Rusdi terkadang bekerja keluar kota untuk beberapa bulan dan hanya pulang ke rumah dua minggu sekali. Seringkali aku kehilangan koneksi dengannya. Tapi tak mengapa, toh Mas Rusdi mencari nafkah untukku juga. Hari ini Mas Rusdi pulang ke rumah, aku berdandan secantik mungkin untuk suamiku. Pintu diketuk. Aku segera membuka. ”Mas sudah datang? Ayo masuk Mas.” Sambutku sambil bahagia dan mencium tangannya. Dalam hatiku, aku tak mendengar Mas Rusdi mengucapkan salam. Mas Rusdi juga biasanya tersenyum dan mencium keningku. Mungkin Mas Rusdi lelah. Pikirku. “Mas mau makan apa?” aku menawarinya sambil melepaskan dasi dari lehernya. “Tidak usah. Tadi Mas sudah makan.” Jawabnya agak ketus dan menjauhkan tanganku dari lehernya. Tak seperti biasanya Mas Rusdi bersikap seperti ini. Kataku dalam hati. “Hani, sekarang kamu siapkan saja air hangat untuk Mas mandi.” perintahnya. “Baik Mas.” Jawabku patuh. Malam hari setelah salat isya, aku dan Mas Rusdi menonton film bersama. Tak ada percakapan di antara kami. Hanya suara TV saja yang memecah keheningan. Sedari tadi Mas Rusdi sibuk dengan hp-nya saja. “Mas, kenapa sih setiap Hani mau hubungi Mas, pasti nomornya di luar jangakuan? Tapi saat Mas menjawab, pasti Mas bilang sibuk dan lain-lain.” Aku memulai pembicaraan. “Kamu bodoh atau apa? Sudah tahu Mas sedang kerja. Ya Mas sibuklah.” Jawab Mas Rusdi agak marah. Aku kaget mendengar jawabannya. Sebelumnya Mas Rusdi tak pernah berkata kasar padaku. Hatiku terenyuh. Aku ingin menangis, tapi ku coba untuk menahannya. “Maaf Mas, Hani tidak tahu kalau Mas benar-benar sibuk.” Jawabku. Tak ada jawaban. “Mas, Hani pengen ngasih tau sesuatu sama Mas.” Ku coba bicara lagi dan memaksakan senyum menghias wajahku. “Nanti saja. Mas capek ingin tidur.” Jawabnya sederhana. “Tapi Mas harus tahu ini.” Jawabku mencoba membuatnya penasaran. “Kamu tidak tuli kan? Mas bilang nanti ya nanti. Malam-malam bikin orang marah saja!” jawabnya benar-benar marah. Mas Rusdi pergi meninggalkanku sendiri di ruang TV. Sungguh aku sangat sedih malam ini. Tak ku sangka Mas Rusdi berubah. Perubahan yang tidak pernah aku harapkan. Aku menyusulnya. Aku lihat Mas Rusdi telah tidur. Entah sengaja atau tidak, Mas Rusdi memberi batas guling di tengah tempat tidur. Aku tidur di sebelahnya bersama kesedihan yang tak ku bayangkan. Alarm berbunyi. Tepat pukul tiga dini hari aku bangun untuk melaksanakan salat tahajjud. Ku coba membangunkan Mas Rusdi untuk tahajjud berjama’ah. “Mas..Mas, bangun. Tahajjud berjamaah yuk.” Perlahan aku membangunkannya sambil menyentuh punggungnya. Tak ada respon. Ku coba sekali lagi. “Mas, ayo bangun. Tahajjud dulu yuk sebelum adzan datang.” “Kalo kamu mau salat, ya salat aja sendiri. Gak usah ngajak-ngajak Mas!” jawaban Mas Rusdi yang tak pernah ku duga. Akhirnya aku mendirikan salat tahajjud sendiri. Biasanya aku selalu berjama’ah dengan suamiku. Dengan khusyuk, aku menyembah Sang Khaliq Yang Maha Agung. Pagi yang cerah. Ku awali pagi ini dengan memasak makanan kesukaan Mas Rusdi dengan hati yang gembira. Jam sudah tepat pada pukul tujuh. Aku menuju kamar untuk melihat apakah Mas Rusdi sudah bangun. Saat di depan pintu, ku dengar Mas Rusdi sedang bercakap lewat telpon. Ku dengar kata-kata Mas Rusdi begitu lembut dan penuh kasih. Aku tak tahu siapa yang sedang bercakap dengannya. Tapi aku tidak mau berpikir negatif. Ku ketuk pintu kamar sembari berkata “ Mas, sarapan sudah siap. Sarapan dulu yuk.” Mas Rusdi hanya diam dan tidak menjawab. Kemudian ia keluar dari kamar dengan wajah yang masam menuju meja makan. “Bagaimana masakannya Mas? Enak tidak?” tanyaku. Tiba-tiba Mas Rusdi memuntahkan makanannya ke lantai. “Kamu bisa masak nggak sih?! Kalo kamu nggak bisa masak, nggak usah masak! Masakanmu tak enak! Sangat tak enak!” jawaban Mas Rusdi menyayat hatiku. Ingin rasanya aku menangis saat ini. Tapi tak ada gunanya. Pasti Mas Rusdi akan mengatakan bahwa aku manja. “Hani minta maaf Mas. Tadi sudah Hani coba dan rasanya seperti yang Hani bikin untuk Mas. Hani minta maaf ya Mas.” Harapku padanya. Hampir setiap waktu Mas Rusdi mengatakan hal yang kasar kepadaku. Ya Allah, kuatkan hati dan kesabaranku. Jam sembilan pagi. Aku berniat pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan bulanan. Aku meminta kepada Mas Rusdi untuk menemaniku ke sana. “Mas, tolong temani Hani ke supermarket ya. Hani ingin belanja dan belanjaannya cukup banyak. Jadi Hani butuh bantuan Mas.” Pintaku dengan sopan. “Pergi aja sendiri! Jangan jadi istri manja kamu! Mas capek, kamu tau!” Mas Rusdi membentakku. ”Ya sudah Mas, Hani minta maaf ya. Hani berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Aku pamit padanya. Ku langkahkan kaki dengan penuh kesedihan. 30 menit kemudian aku sampai di supermarket. Aku belanja semua barang yang dibutuhkan. Kemudian aku mencoba untuk mengirim pesan pada suamiku untuk menjemputku. Tapi tak ada balasan. Ku coba telpon suamiku berkali-kali, tapi tak diangkat. Lalu aku memutuskan untuk pulang dengan naik angkot. Saat ingin menyeberang, aku tidak konsentrasi karena perilaku suamiku yang telah berubah. Tanpa ku sadari, dari kejauhan sepeda motor melaju dengan kencang dan menabrakku hingga aku terjatuh dan tak sadarkan diri. Aku tersadar dari pingsan yang entah berapa lama aku lalui. Tubuhku terasa sakit sekali dan aku tak dapat bergerak. Aku masih memikirkan suamiku. Tak mungkin aku menghubunginya sekarang. Tubuhku kaku dan berlumuran darah. Nafasku tak teratur. Tubuhku semakin lemas dan lemas yang bertambah. Pandanganku tiba-tiba kabur. Semakin tak jelas ku melihat. Dan…gelap. Surat cinta untuk suamiku. Mas, Hani minta maaf jika selalu membuat Mas resah, marah dan kesal. Hani hanya bermaksud membuat Mas bahagia. Kenapa Mas berubah? Apa salah Hani hingga Mas berubah? Coba katakan apa alasan Mas seperti ini. Apakah ada yang lain di hatimu Mas? Adakah calon bidadari lain yang akan Mas jadikan teman hidup selamanya? Jika jawabannya iya, ceritakan saja pada Hani. Mudah-mudahan Hani bisa menerimanya jika memang itu yang terbaik untuk Mas. Sebenarnya Hani sedih saat Mas berubah. Oh iya Mas, waktu itu Hani ingin kasih tahu sama Mas kalau Hani sedang mengandung dua minggu. Hani berencana ingin memberikan surprise kepada Mas tentang kehamilan ini. Tapi ternyata Mas berubah. Mas Rusdi, jika suatu hari nanti Hani pergi selamanya, Hani minta maaf ya Mas. Ya Allah, kutitipkan suamiku padaMu. -Hanifah- *) Penulis adalah Pelajar MAN 2 Kota Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: