Politik Untuk Kesejahteraan Rakyat
Oleh: Verry Wahyudi* POLITIK, siapa tak tahu politik? Dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa pastinya tahu politik. Politik agaknya selalu menarik untuk dilihat dan diperbincangkan. Mungkin karena politik hingar bingar, sering membuat heboh, atau penuh sensasi. Dari pinggir jalan sampai gedung mewah, obrolan politik acap terdengar. Tapi sebagaimana lazimnya, politik memang memiliki segi baik dan buruk. Bahkan hal ini sepertinya sudah menjadi kodrat dari politik itu sendiri. Tanpa terkecuali dengan kondisi politik di Tanah Air. Bila politik itu paradoks, ”rokok” adalah analogi yang akurat. Ia menghadirkan nikmat dan laknat dalam keserentakan. Merokok dilukiskan sebagai ”selera pemberani” di satu sisi, tetapi ”menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin” di lain sisi. Meski paradoksal, rokok tetap terjual. Elite politik sama paradoksalnya dengan rokok. Walau gagal, korup, hipokrit, serta monolitik, tetap saja menang dalam kontestasi elektoral (Boni Hargens, 2009). JIWA PANCASILA Sebagai bangsa, sejatinya memang kita harus berpolitik dalam bingkai kebajikan, khususnya Pancasila. Pancasila hakekatnya merupakan spirit pengamalan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan niat perjuangan menegakkan keadilan sosial. Dalam paradigma atau konteks semacam ini, idealnya kita mesti memaknai dan menjalankan politik sebagai arena pertarungan yang sehat dan sarat sportivitas, serta memanfaatkan taktik yang cerdas dan beradab. Seraya kita harus memainkan politik sebagai wahana untuk menampung aspirasi dan mengikhtiarkan tercapainya kemaslahatan bersama. Itulah etika politik Pancasila. Saatnya para politisi memiliki jiwa Pancasila. PERILAKU KORUPSI Tentunya, yang paling berperan besar merusak citra politik yakni perilaku korupsi tersebut. Sebagaimana sudah menjadi rahasia umum, banyak tokoh politik tergoda korupsi. Kita seperti sudah muak menghitung persis atau berapa banyaknya. Belakangan kita dikejutkan oleh terungkapnya dugaan korupsi dana penyelenggaraan ibadah haji yang melibatkan Suryadharma Ali, serta sangkaan korupsi di sektor ESDM oleh Jero Wacik. Atau berita yang amat dekat yaitu, ihwal dieksekusinya sejumlah anggota DPRD Kota Cirebon sebagai terpidana korupsi APBD Gate. Dengan demikian, korupsi juga tampaknya telah menjadi sesuatu yang lazim di daerah dan tidak sungkan lagi dipraktikkan berjamaah. Inilah sebuah ironi yang memalukan bahkan memilukan. Karenanya, ke depannya mesti dicari solusi yang lebih jitu, sembari berupaya menyelamatkan citra politik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus semakin gencar membongkar korupsi di lingkungan politik. Partai politik sejak dini wajib membina kadernya supaya cerdas, berintegritas, dan terpercaya. Pola-pola politik transaksional harus segera distop. Akuntabilitas keuangan partai politik mesti dipantau. Aktor politik seyogyanya menyadari bahwa korupsi sangat mengingkari dan mengkhianati Pancasila. Untuk menegakkan demokrasi harus didukung kekuatan moral guna menjalankan politik yang memberikan manfaat besar bagi rakyat, demi mewujudkan masyarakat madani dan pembangunan ekonomi yang menjamin kesejahteraan rakyat. Moral akan membentengi terjadinya korupsi yang bakal menyengsarakan masyarakat luas. Tetapi, dalam masyarakat demokrasi ini, korupsi tidak terpisahkan lagi dari segala aktivitas kebangsaan melalui sistem demokrasi. Ini dilema (Nur Sholikhin, 2013). Kita merindukan, pemerintahan Jokowi-JK sekiranya mempunyai visi yang paralel dengan tekad mulia tersebut. Dan seiring itu perlu memiliki terobosan baru dalam mengembangkan pembangunan. Jangan pernah berhenti mencintai Indonesia! Give and do the best! (*) *Penulis adalah Analis Politik dan Ekonomi; Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Cirebon; Program Studi Ilmu Administrasi Niaga; Mantan Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi BEM FISIP UNTAG Cirebon; Penerima penghargaan Untag Cirebon sebagai mahasiswa berbakat menulis.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: