AKU INGIN MENGGENGGAM MIMPI

AKU INGIN MENGGENGGAM MIMPI

Oleh: Fz Susan      USIAKU baru menginjak lima tahun. Bila mentari pagi menyergap kulitku, aku langsung berlari ke jendela kamar. Beberapa menit kuhabiskan dengan berdiam diri menatap lekat jalanan sepi sebelum akhirnya asaku terpasung kenyataan. Namun yang terjadi tetaplah sama. Ayah selalu memanggilku setiap kali memergokiku yang tengah asik dengan lamunan dan menyuruhku untuk bergegas mandi. Dalam kamar mandi kudengar suara kenangan memanggilku. Aku bergegas menuju jendela kamar masih setengah telanjang. Ayah yang tadi memandikanku mengejarku dengan jengkel. “Nanti jatuh! Jangan lari-lari!” Teriak ayah. Kudekap kenangan dalam denyut jantungku. Sejengkal harapan kutorehkan dalam setiap putaran waktu. Di kamar ini, ditemani ocehan ayah, pergelutan dalam hati terasa begitu kental hingga suara ayah terabaikan. Hilang. Tergusur egoku yang masih mengutamakan mimpi. Aku bukan penakut apalagi pengecut. Kuterima semua kenyataan, tapi tak kan kuterima jika mimpiku terbunuh. Dua puluh lima bulan lalu kukira ibu dan ayah bertemu untuk tujuan berdamai, setidaknya merumuskan sebuah perjanjian untuk kebahagiaanku. Kebahagiaanku? Rasanya sangat konyol jika kebahagiaanku ditentukan oleh mereka. Bahagia adalah hak setiap individu. Bahagia adalah pilihanku dan kuyakin itupun menjadi pilihan semua orang. Aku akan bahagia dengan jalan hidup yang kupilih sendiri, apapun risikonya. Bila kebahagiaanku ditentukan oleh mereka, itu adalah kebahagiaan mereka, bukan kebahagiaanku. Kebahagiaanku yang ditentukan mereka adalah formalitas tanpa isi. Aku belum pernah memaksakan diriku untuk bahagia dan belum pernah memaksa kedua orang tuaku untuk tidak bahagia. Aku ingin orang tuaku bahagia dengan jalan mereka dan aku pun ingin bahagia dengan jalanku sendiri. Tapi bagaimana caranya agar benang merah di antara kebahagiaan kami didapatkan? Setidaknya tak perlu menjatuhkan korban. Di meja ini tak lagi ada pertengkaran yang biasa kulihat dan yang ada hanya kekikukan. Tak kan ada korban yang diincar, kecuali aku yang sedari tadi melumuri es krim yang mulai meleleh. Mulutku belepotan, namun nampaknya kedua orang tuaku sengaja mengacuhkan agar aku sibuk membersihkan mulut dan tangan yang terkena lelehan es krim. Mereka ingin agar aku tak menjadi penguping pandai seperti dulu ketika aku sering secara diam-diam mendengar perdebatan kedua orang tuaku. Pernah sekali waktu ayah memergokiku sedang menguping. Aku berdiri diam di depan kamar mereka. Daun telinga kubiarkan menyentuh pintu kamar. Kudengar ibu menangis. Suara ayah mengendap di kasur, bantal, dan guling. Kuletakan rapat-rapat telingaku pada pintu kamar agar suara ayah terdengar jelas, namun tetap isak tangis ibu lebih mampu menerobos pintu kamar. Tiba-tiba terdengar pecahan kaca dari dalam kamar. Ayah ke luar dengan setumpuk kemarahan. “Anjing!” Ayah setengah berlari pergi. Seolah siap menerkam mangsa yang berlari terbirit-birit menjauhinya. Entah bagaimana wujud mangsa yang akan diterkam ayah. Dekapan kegetiran ibu mengalir deras hingga tulang sumsumku. Bulir air mendobrak kuat kelopak mata ibu membasahi kulit pipi yang belum siap termakan usia. Malam ini, di meja bundar aku sengaja berpura-pura sibuk membersihkan lelehan es krim yang terjatuh di celanaku. Aku ingin menyenangkan hati ibu dan ayah. Dengan kesibukanku artinya mereka mampu mencetak keberhasilan, buah dari sebuah siasat yang telah mereka rancang sebelumnya. Tapi aku tak kalah pandai. Kupertajam pendengaranku dan kurekam baik-baik setiap kalimat yang ke luar dari bibir mereka. Tak perlu kulihat kediaman mereka, yang kuperlukan adalah informasi dan untuk mendapatkannya dengan hanya bermodalkan kedua telingaku. Di meja ini tak lagi ada saling tuding menuding, tak juga ada saling menjatuhkan, kalimat-kalimat kasar pun enggan ke luar dari mulut mereka, yang ada hanya pemborosan waktu. Padahal sejak sentuhan pertama es krim di lidahku, aku sengaja memakannya dengan sangat lambat agar habis tepat di saat kedua orang tuaku menutup pembicaraan mereka. Namun ternyata es krim di tanganku lebih dulu habis sebelum akhirmya sebuah kesimpulan dan keputusan lahir di meja ini. Kediaman mereka tak seperti pertemuan pertama kali yang membuat hati mereka serasa mengawang di udara, bukan juga seperti di malam pertama ketika mereka hendak bercumbu mesra di dalam kamar dan berangsur pada penyatuan tubuh. Kediaman mereka sekarang adalah ancaman bagi kami semua yang duduk di meja bundar ini. Jika aku sudah tidak menyusu lagi pada mereka, mungkin kediaman mereka tak kan menjadi momok yang menakutkan untukku, justru aku akan langsung sepakat dengan keputusan yang mereka ambil sebelum kalimat pahit terlontar dari bibir salah seorang di antara mereka. Seteguk air liur membasahi rongga kekeringan di tenggorokan ibu. Kulihat dua hakim mulai berlaku tak adil. “Kamu ikut ibu.” Aku terkejut. Kuhentikan segala kebohonganku. Kutaruh tisu bekas lelehan es krim di atas meja. Kutatap ibu dalam. Tak lagi ada genangan air memenuhi mata ibu. Kulihat ayah yang terdiam menatapku. Keputusan ini terlalu menghakimiku. Kini telah dua tahun kuikuti langkah ibu tanpa figur seorang ayah. Entah di mana ia sekarang. Tak pernah sekalipun menjengukku. Tak tahukah ia bahwa aku selalu mengingatnya? Ibu selalu menyeretku ke dalam sebuah permainan menarik yang dapat menghentikan ingatanku sesaat pada ayah. Seketika itu juga putaran peristiwa masa lalu mengabur. Segala cara ibu lakukan untuk menyirnakan kenangan dalam ingatanku. Padahal ibu tahu betul rangkaian kata “Siapa yang dapat membunuh kenangan?” Justru ibu yang menorehkan kalimat itu dalam ingatanku dengan mata yang mendung setelah membaca salah satu cerpen Agus Noor di hadapanku yang saat itu tengah asik bermain mobil-mobilan. Kala itu kulihat ibu memegangi gagang telepon berdiri membelakangiku yang sedang duduk minum susu. Suara ibu tak dapat tersadap olehku yang sesekali menaruh curiga. Semua pakaianku dimasukan ke dalam tas besar. Selepas menghabiskan susu, kami melangkah pergi, menjauhi pintu rumah. Ibu menggenggam tanganku erat, kami berjalan, menyebrang, dan naik turun angkot. Sesampainya di depan sebuah rumah, barulah kutahu bahwa ibu mengajakku menemui ayah di rumah nenek. Tak lagi kuberpikir seperti dua tahun lalu saat pertemuan kami di meja bundar yang kukira bertujuan untuk mengadakan perdamaian atau merumuskan sebuah perjanjian. Tidak lagi! Sudah bisa dipastikan ini akan seperti dua tahun lalu saat pertemuan kami di meja bundar, saat mereka melancarkan siasat yang sudah dirancang sebelumnya, lalu berubah menjadi keputusan yang sangat menghakimiku. Kupeluk ibu erat-erat. Bukan karena merasa asing dengan wajah di hadapan, tapi karena ketidakberdayaanku yang akan menghadapi keputusan baru yang mungkin terasa lebih pedih. Kurapatkan tubuhku pada ibu. Bukan karena aku tak ingin dekat dengan ayah, tapi karena aku merasa asing dengan rumah yang selama dua tahun tak pernah kukunjungi lagi. Kedekatanku dengan rumah yang telah dihuni olehku dan ibu selama ini menjadi istana bagiku yang haus akan sosok ayah, sekaligus menjadi penanggal kerinduanku pada rumah yang dihuni ayah sekarang. Ibu dan ayah siap dengan topeng yang telah menempel pada wajah masing-masing guna mengelabuiku. Terlihat ibu dan ayah bahagia menemaniku bermain mobil-mobilan di dalam kamar. Namun itu semua hanya kepura-puraan. Dusta! Sama seperti dulu di meja bundar aku mengelabui mereka dengan topeng yang kupakai. Topeng yang dapat menggerakan tanganku agar bertingkah sibuk sendiri membersihkan lelehan es krim. Aku mulai lupa sejenak dengan ingatan meja bundar. Kewaspadaanku perlahan berkurang. Dengan mengendap ibu pergi menjauhiku yang terus membariskan mobil-mobilan di lantai kamar. Setelah semua mobil berjajar rapi, kuingat ibu. Kucari ke luar kamar, ke semua ruangan di dalam rumah, ke dalam celah-celah sempit barangkali ada jejaknya, ke teras, bahkan gang depan rumah. Namun ibu lenyap. Seharusnya jejak langkah ibu masih ada di sepanjang gang karena hujan tak menyentuh bumi pagi ini. Semestinya wangi harum ibu masih tercium sebab angin tak terasa kencang menyetubuhi seisi bumi. Kenapa jejak ibu tak ada? Bahkan seekor burung pun tak ada yang melihat kepergiannya. Semua seolah setuju dengan penghakiman yang kuterima. Alam semesta beserta segala isinya telah sekongkol dengan ibu dan ayah. “Ibuuu....!” Teriakanku semacam jam kosong dalam otakku. Tak mampu mendatangkan sosok ibu ke hadapanku. Ibu yang berjalan seiring arah jarum jam yang terus berputar. Kuinjak-injak mobil-mobilan yang berjajar rapi dan melempar beberapa di antaranya hingga mengenai pergelangan tangan ayah yang berdiri di pintu kamar. Ayah tak bergeming sedikitpun. Sebulan sudah peristiwa memilukan itu terjadi. Masih membekas di hati dan kini ku hanya bisa menanti mimpi dari balik jendela hati. Di sini, di sebuah kaca bening di dalam kamar yang dapat menembuskan pandanganku ke arah gang dan langit-langit biru kutorehkan mimpi yang tak kan pernah mati, namun “Kematian adalah harga yang pantas untuk semua mimpi”. Seperti ucapan ibu setelah membaca sebuah cerpen karya Absurditas Malka. Jemput aku ibu. Jemput aku yang masih menunggumu. Jemput aku yang masih ingin menggenggam mimpi bertemu denganmu.(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: