Mencermati Ramalan Jayabaya
Oleh: Dudi Farid Wazdi,* SEPERTI halnya saya, saya yakin Anda pun bisa meramal. Tetapi ada peramal yang sampai saat ini banyak dijadikan rujukan orang-orang. Ia bernama Jayabaya, Raja Kerajaan Kadiri (1135-1159 M). Ia bergelar Sri Maharaja Sri Warmeswara Madhusudana Wataranindita Suhrtsingha Parakrama Digjayottunggadewanama. Gelar yang amat panjang itu tertera pada tiga prasasti batu yang ditemukan dan dikenal sebagai peninggalan sang raja, yakni Prasasti Hantang (1135 M), Prasasti Talan (1136 M), dan Prasasti dari Desa Jepun (1144 M). Di antara ramalannya adalah: ”Wolak-waliking zaman” (zaman yang sudah terbalik dan atau dibulak-balik). Ia meramal bahwa suatu saat nanti akan ada yang namanya zaman terbalik, di mana yang salah dianggap benar dan yang benar dianggap salah, ganjil, tidak populer serta ditinggalkan banyak orang. Kehidupan dan keseimbangan alam sudah tidak teratur lagi. Ini terjadi karena beberapa hal di antaranya: Pertama, akeh janji ora ditetepi (banyak orang berjanji tapi tidak ditepati). Kasus ini sering ditemukan ketika musim kampanye para kaum politikus. Janjinya kalau ia terpilih menjadi anggota dewan atau pemimpin maka: BBM tidak akan naik, TDL tetap, impor makanan dan buah-buahan dihentikan, jalan raya mulus, pendidikan gratis, kesehatan gratis dan sebagainya. Namun, ketika ia sudah terpilih janji itu terlupakan atau bahkan sengaja diabaikan. Ia pun hanya asyik dengan dirinya sendiri (memproduk rekening gendut, investasi tanah, apartemen, rumah kaca, kontrakan, selir cantik dan sebagainya). Kedua, Akeh wong wani mlanggar sumpahe dhewe (banyak orang yang berani melanggar sumpahnya sendiri). Semaraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dilakukan oleh para pejabat yang notabene sudah berjanji dan bersumpah untuk tidak melakukan itu adalah bukti nyata dari pelanggaran terhadap sumpahnya sendiri. Perlu dipahami bersama bahwa: pelanggaran terhadap sumpah ini merupakan poros dari kehancuran dan keterpurukan bangsa. Ketiga, Manungsa pada seneng nyalah (manusia senang menyalahkan dan atau hanya bisa menyalahkan orang lain saja, sementara dia sendiri berlumuran dengan dunia kejahatan).Maling teriak maling, rajin menyalahkan orang lain dilengkapi prasangka dan fitnah yang keji.Keempat, Ora nindadake hukum Allah (tidak menjalakan syari’at agama yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya). Hukum Allah hanya dijadikan sebagai pemanis bibir saja tanpa ada keinginan untuk mematuhinya. Hukum Allah dikucilkan sementara hukum manusia diagung-agungkan dengan alasan demokratisasi, hak asasi, tuntutan global dan sebagainya. Keenam, Barang jahat diangkat-angkat. Barang suci dibenci. (Kemaksiatan disukai dan diminati banyak orang sementara kesucian tidak disukai dan bahkan dianggap tidak lumrah). Pornografi, pornoaksi begitu melimpah ruah sehingga mudah ditemukan di mana-mana, di kota dan di desa sama mudahnya, di toko dan di emperan pasar tradisional sama adanya. Situasi ini diakibatkan oleh budaya hedonisme (mementingkan kesenangan semata tanpa melihat asal-usulnya materi, tanpa melihat haram dan halalnya barang dan seterusnya). Ketujuh, Wong bener thenger-thenger (orang bener termangu dan tak habis pikir karena dipersalahkan dan tidak diperhitungkan). Kenyataan ini dapat dilihat di mana-mana, di mana pada umumnya yang kena hukuman hanyalah orang-orang kecil, orang miskin, karyawan biasa sementara otak pelaku dan pengendalinya masih tetap berkeliaran. Wong salah bungah (orang yang salah menikmati kemewahan, kebebasan dan banyak temannya). Beberapa tahun yang lalu tentu kita masih ingat dengan para penikmat dana BLBI, para obligor nakal, misalnya, bertepuk tangan karena kasusnya dihentikan. Padahal pada hakekatnya mereka lebih jahat dari para teroris sekalipun. Sangat disayangkan mereka terlampau kaya sehingga dengan kekayaannya itu dapat membeli dan menjungkirbalikan hukum. Mereka kelihatannya mujur hidup di dunia ini, walaupun kekayaannya dihasilkan dari tindakan kejahatan. Kejahatan begitu banyak memakan korban, sehingga melampaui apa yang dapat dibayangkan oleh akal sehat kita sebagai bangsa yang beradab; akan tetapi, kejahatan itu dengan mudah dikemas dengan kosmetik kemanusiaan, keamanan dan demokrasi, sehingga ia menjadi semacam keharusan. Kejahatan begitu rapi direncanakan, diorganisasi dan dikontrol, sehingga ia melampaui jangkauan perangkat hukum. Ke delapan, Wong apik ditampik-tampik. Wong jahat munggah pangkat. Orang yang jujur dan baik pada umumnya mereka tidak laku. Ketika mereka menjadi pemimpin dalam satu jabatan banyak sekali yang merongrong dan berusaha menjatuhkannya karena dianggap tidak menghasilkan manfaat (materi) bagi lembaga atau unit kerjanya. Sementara bagi yang jahat dan urakan bertambah mendapat kepercayaan dari atasannya. Pendekatannya, dengan pemberian upeti, hadiah dan segala cara, sehingga benar-benar atasannya merasa nyaman. Kesembilan, Ukuman ratu ora adil. Hukum yang diterapkan oleh pemimpin/pemerintah tidak mencerminkan keadilan pada khalayak rakyat karena di dalamnya terdapat kepentingan pribadi, golongan, partai dan sebagainya. Kebalnya berbagai kejahatan terhadap sentuhan hukum (misalnya rekening gendut) menunjukan sebuah situasi yang didalamnya kejahatan itu sendiri kini telah berkembang begitu sempurna, sehingga ia telah melampaui batas-batas kemampuan hukum. Dengan perkataan lain, perangkat hukum telah kehilangan otoritasnya, sehingga tidak kuasa menghadapi kecanggihan kejahatan, dan membiarkan masyarakat di dalam ketidakpastian hukum. Kesepuluh, Akeh pangkat sing jahat lan ganjil, akeh kelakuan sing ganjil. Kasusilaan ditinggal, lali kamanungsaan, prikamanusaan diiles-iles. (Banyak pejabat yang tidak pantas menjadi pejabat, perilakunya aneh-aneh sehingga jauh dari sifat panutan. Norma kesusilaan ditinggalkan, lupa pada dasar kemanusiaan dan tidak berperikemanusiaan, nilai kemanusiaan diinjak-injak). Banyak kasus para pejabat yang berbuat tidak senonoh (konsumsi narkoba), berperilaku keji dan bahkan menjijikan layaknya orang yang tidak berpendidikan dan tidak bermoral. Kesebelas, Akeh manungsa mung ngutamake dhuwit. Luwih utama ngapusi. Wegah nyambut gawe. Kepingin urip mewah. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka. Banyak manusia yang mengutamakan uang (ada uang abang disayang tidak ada uang abang melayang). Melakukan tipu daya pada sesama. Males bekerja. Inginnya hidup mewah, memamerkan harta kekayaan, mengumbar nafsu serakah dan memperbanyak dosa belaka. Sekarang ini, fenomena ingin hidup sukses dan kaya dengan cara ’instan’ sudah menjadi tren di lingkungan masyarakat kita. Padahal itu adalah tidak normal. Astagfirullahaladzim. (*) *) Penulis adalah pejabat fungsional
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: