Asyani, Hati Nurani, dan Timpangnya Hukum Kita

Asyani, Hati Nurani, dan Timpangnya Hukum Kita

SEPEKAN ini, publik sedang diributkan dengan kasus seorang nenek bernama Asyani (63 tahun) yang didakwa melakukan pembalakan liar 38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi di Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur. Berdasarkan pengakuan Asyani, kayu-kayu itu ditebang oleh al-Marhum suaminya, Sumardi, di sekitar lahan milik sendiri di Secangan. Selama tidak kurang dari lima tahun, kayu-kayu itu disimpan di rumahnya, yang akan ia jadikan dipan (tempat tidur berbahan kayu). Awalnya pada Juli 2014 Asyani meminta menantunya, Ruslan (23 tahun) untuk menyewa mobil kepada Absus Salam (23 tahun) untuk kemudian membawanya kepada Sucipto (47), salah seorang warga yang berprofesi sebagai tukang kayu. Asyani sendiri dipenjara sejak 15 Desember 2014, ia dijerat Pasal 12 Jo Pasal 83 Ayat 1 Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Karena telah merugikan Perhutani sebesar Rp4 juta rupiah. Tidak hanya Asyani, kasus ini menyeret beberapa orang yang terlibat yakni Ruslan, Abdus Salam dan Sucipto. Berita tentang ramainya kasus Asyani, tentu saja harus diteliti dengan cermat. Kita harus mewaspadai adanya oknum yang punya banyak kepentingan. Apakah benar, solidaritas kita ini murni tertuju kepada Asyani, hanya karena ia seorang nenek dan warga kurang mampu? Hati nurani masing-masing kita yang tak akan bisa berbohong menjawabnya. Kita tentu saja menyesalkan, kalau fenomena hukum di negeri ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Terlampau banyak oknum pejabat, para pelaku korupsi dan kejahatan lainnya yang tetap bisa melenggang-kangkung, menghirup udara segar, bebas dari jeratan hukum. Apalagi kalau bukan karena uang. Hukum yang dapat dibeli dengan uang. Astaghfirullah. Ini kasus yang ke sekian kalinya, menjerat seorang nenek yang tak berdaya dan umumnya warga yang kurang mampu. Kita pun sebagai warga biasa, bukan penegak hukum tentu tak bisa berbuat banyak. Tetapi dengan kekuatan gerakan sosial, mari terus kita satukan tekad untuk dapat terus mendukung sebuah tatanan hukum yang adil. Kasus ini menjadi salah satu tantangan presiden dan wakilnya, untuk konsisten dalam melakukan revolusi mental di berbagai dimensi kehidupan, terutama dalam dimensi hukum. Sudah terlalu terpuruk negeri kita, angka kemiskinan semakin tinggi, kasus korupsi semakin merajalela, penyalahgunaan narkoba kisruh KPK versus Polri, harga sembako naik, nilai tukar rupiah anjlok, dan berbagai masalah sosial lainnya. Tak kalah pentingnya para pemimpin di daerah; bupati, walikota, gubernur dan lain sejenisnya untuk bersama menegakkan keadilan hukum. Janji-janji semasa kampanye dahulu, menjadi utang yang harus segera dibayar. Masyarakat sedang menanti uluran tangan, bukan untuk disuapi tetapi diberdayakan. Pemerintah pusat dan daerah harus fokus untuk terus dapat membuat masyarakat menjadi mandiri dan terberdayakan. Sedikitnya ada dua persoalan yang bertaut erat dengan masalah mental; pertama, untuk kelompok masyarakat kurang mampu. Dan kedua, untuk kelompok masyarakat pemodal, pengusaha dan seterusnya. Sudah saatnya, sekian banyak masyarakat kurang mampu harus diberdayakan, dengan berbagai macam cara melalui program pemberdayaan kewirausahaan masyarakat. Agar masyarakat kurang mampu tidak melakukan hal-hal yang terlarang. Karena bagaimana pun aktivitas mencuri, sedikit atau banyak, tidak dapat dibenarkan. Tetapi kemudian akan lebih berdosa, kepada mereka yang berharta, tetapi tidak mempunyai kepedulian kepada sesama. Keberadaan banyak perusahaan harus membawa kemaslahatan bagi masyarakat sekitar. Perusahaan harus mempunyai kebijakan untuk memberdayakan masyarakat sekitar secara berkelanjutan. Di luar itu semua, letupan-letupan kekecewaan semakin membuncah, kepada siapa lagi kalau bukan kepada Presiden Jokowi sebagai pihak yang mengusung gagasan revolusi mental, blusukan, dan merakyat. Di sinilah letak untuk menguji konsistensi dan menanggung konsekuensi. Konsistensi untuk terus mendukung gagasan dan gerakan revolusi mental dan bersiap menanggung konsekuensi menghadapi segala ancaman. Karena ancaman berat inilah yang sedang dihadapi oleh Presiden Jokowi. Sebagai masyarakat sipil, kita tidak boleh mudah tersulut provokasi. Pikiran dan hati nurani yang jernih harus dikedepankan. Kita harus selalu kompak untuk terus mendukung semua program pemerintah yang pro-rakyat, dan di saat yang sama mengkritik tegas jika ditemukan berbagai kebijakan yang menzalimi rakyat. Kita kawal pemerintah dengan kekuatan gerakan sosial masyarakat. Walhasil, berkenaan dengan kasus ini, kalau saja Asyani tetap ditahan, tentu saja ini menjadi salah satu penguat bahwa hukum di negeri kita semakin timpang dan tumpul. Kita berharap kepada para pemilik modal, pengusaha, dan lain sejenisnya untuk tetap dalam prinsip kemanusiaan. Menjunjung tinggi suara hati nurani. Bagaimana pun menegakkan hukum di atas landasan keadilan adalah sebuah kemuliaan. Wallahua’lam bis-Shawab. (*) *) Kandidat Master Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: