Memahami Hakikat Radikalisme

Memahami Hakikat Radikalisme

ISTILAH radikalisme selalu menjadi momok bagi masyarakat. Apa itu radikalisme, dan faktor apa saja yang menyebabkan munculnya paham radikalisme? Radikalisme atau at-tatharruf, menurut Dr Yusuf Al-Qardhawi, dalam bukunya Al-Shawah Al-Islamiyah Bainal Juhud Wal Tatharruf, secara bahasa adalah berada di pinggir, jauh dari tempat yang berada di tengah. Jadi, at-tatharruf pada asalnya untuk membahasakan materi seperti berdiri, duduk atau berjalan di pinggir. Kemudian dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat maknawi seperti radikalisme dalam agama, pemikiran dan tingkah laku. Radikalisme adalah sikap yang jauh dari pemikiran jalan tengah dan moderat, dan selalu bersikap tekstual atas dalil-dalil yang ada tanpa berusaha memahaminya secara mendalam. Sedangkan, Islam adalah manhaj yang mengajarkan jalan tengah dalam segala hal; baik akidah, ibadah, maupun akhlak. Termasuk dalam menentukan peraturan hukum. Karenanya Islam senantiasa sesuai dengan waktu dan tempat hingga bumi ini kembali kepada Pencipta Allah. Dengan demikian, radikalisme tidak sejalan dengan karakteristik Islam dan ajaran tengah yang menjadi ciri khasnya. Juga tidak sejalan dengan pemahaman benar Alquran dan hadits dari salafus shaleh. Intelektualitas radikalisme hanya akan menghasilkan kekerasan, kekacauan, kehancuran dan bencana yang merupakan fitnah paling berbahaya (Dr Musthafa Lutfi MA dalam bukunya Melenyapkan Hantu Terorisme dari Dakwah Kontemporer). Muncul pertanyaan, apa faktor penyebab munculnya paham radikalisme tersebut? Dr Musthafa Lutfi MA dalam studi ilmiahnya memaparkan secara singkat sebab-sebab utama munculnya kelompok radikalisme yang mengatasnamakan agama. Pertama, kejahilan terhadap hakikat ajaran Islam. Kejahilan yang dimaksud di sini adalah mengetahui sesuatu secara setengah-setengah, pada saat yang sama yang bersangkutan merasa telah menguasai ilmu secara menyeluruh, padahal masih sangat banyak yang belum diketahuinya. Ia hanya mengetahui permukaan saja dan tidak memperhatikan apa yang ada di kedalamannya. Kedua, melampui batas (al-ghulu) dalam pemikiran dan beragama. Ghulu dalam beragama ini maksudnya adalah bersikap keras dan berlebihan dalam pemahaman dan pengamalan ajaran agama sehingga melampui batas. Bentuk ghulu dalam pemikiran dan beragama ini di antaranya adalah terlalu banyak mengharamkan sesuatu, mudah mengkafirkan kaum muslimin. Seperti, mudah mengkafirkan pemerintah dengan alasan tidak menjalankan hukum Allah, mengkafirkan bangsa-bangsa muslim dengan dalih mengikuti penguasa, mengkafirkan kaum muslimin karena ‘muwalaat zhahirah’ dukungan lahiriyah terhadap orang kafir, dan pengkafiran pegawai pemerintah. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guna menangkal dan mencegah laju gerakan paham radikalisme yang mengancam kehidupan dalam masyarakat. Pertama, menanamkan pendidikan agama Islam (PAI) sejak dini, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Karena dengan pemahaman pendidikan agama Islam secara baik dan benar akan memberikan pondasi keimanan yang kokoh, sehingga generasi muda tidak mudah terpengaruh oleh bujuk rayu dari orang-orang atau kelompok-kelompok yang hendak mempengaruhinya untuk dijadikan pengikutnya. Adapun upaya yang dapat dilakukan di lingkungan keluarga, di antaranya adalah dengan mengupayakan terus implementasi program Kementerian Agama (Kemenag), yaitu mengaji (membaca Alquran) bakda Maghrib sampai Isyak (Maghrib mengaji). Selain itu, tanamkan nilai-nilai agama kepada anak sedini mungkin. Untuk di sekolah perlu ditinjau kembali jumlah jam mata pelajaran (matpel) PAI yang hanya dua jam per-pekan. Matpel PAI di sekolah yang di antaranya mencakup materi akidah, fiqih, akhlak, alquran, hadits, dan SKI, jelas tidak akan cukup waktu hanya dengan dua jam per-pekan. Untuk itu, selain dengan upaya penambahan jumlah jam mata pelajaran PAI, juga dengan mengintegrasikan mata pelajaran umum dengan PAI. Sedangkan, untuk penanaman PAI di tengah masyarakat dapat diupayakan --di antaranya-- dengan merevitalisasi kurikulum materi majelis taklim yang ada di masyarakat. Sebab, disinyalir materi majelis taklim terkesan asal jalan tanpa kurikulum yang mamadai. Tentu hal ini menjadi “PR” tersendiri bagi para kyai, ajengan, ataupun ustadz sebagai tokoh masyarakat. Kedua, menghidupkan kembali organisasi kepemudaan sebagai upaya untuk memberi wadah kreativitas para pemuda agar mereka terpantau dengan baik dan agar bakat mereka pun dapat tersalurkan. Di sinilah dibutuhkan peran para tokoh-tokoh masyarakat dan para alim ulama untuk membantu dan memotivasi serta memberikan bimbingan kepada generasi muda dalam upaya menghidupkan kembali organisasi di lingkungan pemuda. Ketiga, menghidupkan budaya ilmiah di kalangan mahasiswa. Karena salah satu obyek pencucian otak adalah kalangan mahasiswa, maka upaya untuk membentengi berkembangnya paham radikalisme di tengah-tengah perguruan tinggi (PT), hendaknya pihak PT memfasilitasi mahasiswa dengan mengadakan seminar-seminar yang bertemakan bahaya radikalisme, terorisme, dan sejenisnya. Tentu, upaya mencegah paham radikalisme di atas tidak akan dapat terwujud dengan baik tanpa ada peran dan kerja sama dari semua pihak, terutama dari pemerintah. Wallahu a’lam. (*) *Penulis adalah Dosen Agama Islam Fakultas Hukum Universitas Kuningan, Jawa Barat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: