Menggugat Peran Kelas Menengah

Menggugat Peran Kelas Menengah

MEMBACA gerakan kelas menengah hari ini bukanlah perkara mudah. Terlebih jika dipertautkan dengan gerakan civil society dalam perbenturan isu demokratisasi. Definisi kelas menengah merupakan kategorisasi sosial yang dinamis dan tidak bermakna tunggal. Siapa sebenarnya “mereka” yang disebut kelas menengah? Seseorang dikelompokkan ke dalam kelas menengah bukan karena kategorisasi ekonomi semata seperti kekayaan, gaji, keterampilan bahkan jabatan. Dimensi ekonomi tidak cukup sebagai satu-satunya tolak ukur kelas menengah, terutama untuk unsur-unsur menengah yang secara politik lebih aktif. Secara sederhana, kelas menengah adalah mereka yang memiliki kepentingan-kepentingan yang berorientasi pada orang banyak, di mana memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat dan berstatus independen dari pengaruh pemerintah. Meminjam kategorisasi Richard Robison (1993) dalam struktur ekonomi politik Orba, kelas menengah adalah mereka yang terdiri dari kalangan intelektual, teknokrat, manajer profesional, pengacara, aktivis LSM, aktivis partai politik, aktivis mahasiswa, dan pengusaha menengah bawah. Hingga hari ini, perbincangan kelas menengah masih menjadi isu yang hangat. Banyak anggapan bahwa, dengan lahirnya kelas menengah akan melahirkan tatanan politik yang demokratis. Ada juga asumsi bahwa dengan terciptanya kelas menengah maka menjadi embrio terciptanya demokratisasi. Persoalannya, benarkah begitu signifikan peran kelas menengahhari ini? Dalam perkembangannya sendiri, kelas menengah identik dengan kaum yang profesional, intelektual, kaum terampil, manajer pada perusahaan swasta. Dengan kata lain, kelas menengah tidak boleh berkolaborasi dengan penguasa, tidak antidemokrasi tetapi memperjuangkan kepentingan rakyat, memperjuangkan untuk menegakkan hak-hak asasi manusia, menjunjung tinggi kemanusiaan dan moralitas. Tak heran jika kehadiran kelas menengah terutama di awal Orde Baru (kebangkitan kelas menengah) dianggap sebagai angin segar pencapaian demokrasi. Keterbukaan politik terhadap kelas menengah merupakan sebagai prospek cerah bagi demokrasi. Karena di sinilah peran kelas menengah dipertaruhkan. Jika kita telisik watak kelas menengah di era Orba akan teridentifikasi bahwa, kelas menengah adalah mereka yang independen dan kritis, yang bergerak berdasarkan kepentingan buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota, dan pegawai negeri golongan rendahan. Merekalah yang independen dari struktur kekuasaan. Sejarah telah membuktikan bahwa kelas menengah bisa menciptakan perubahan. Salah satunya gerakan reformasi yang gegap gempita adalah awal dari sebuah peristiwa politik yang bersejarah. Bukan hanya karena gelombang aksi itu berhasil menurunkan Soeharto, tetapi sekaligus menjadi momentum dari “aliansi kelas menengah” di mana sebuah koalisi antarkelompok sosial terpelajar yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan bisa bersatu melawan kekuasaan rezim Orde Baru yang sedemikian kokoh. Demonstrasi yang disusupi kelas menengah cenderung bisa memakai pola yang terpikirkan terlebih dahulu. Artinya, chaos terjadi jika sudah membeludak. Di mana kelas menengah saat itu? Kelas menengah berada di pihak oposisi akan kebijakan pemerintah. Entah dengan cara mengkritik atau mengadakan mimbar bebas seperti yang dilakukan mahasiswa 1998. Meminjam ucapan Gie “jika rakyat yang bergerak sendiri untuk menciptakan perubahan maka yang nanti terjadi hanyalah chaos, maka kita (mahasiswa) yang terlebih dahulu bergerak.” Mahasiswa di sini adalah salah satu kelompok intelektual dari kelas menengah. Di sini menunjukkan bahwa gerakan kelas menegah tentu akan berbeda dengan kelas bawah, karena mereka cenderung lebih intelektual. Itulah sedikit romantisme sejarah mengenai peran kelas menengah dalam perubahan civil society. Karena, ketika pintu gerbang reformasi terbuka lebar, sistem politik serta-merta berubah dan mengubah pula watak dari kelas menengah. Bagaimana dengan hari ini? Bersandar pada gagasan Rueschemeyer, bahwa kelas menengah hari ini memainkan peran ambigu dalam menginstalkan dan mengonsolidasikan demokrasi. Mereka terpaku pada inklusi politik mereka sendiri. Namun sikap mereka terhadap inklusi kelas yang lebih tergantung pada kebutuhan dan kemungkinan beraliansi dengan kelas pekerja. Kelas menengah memang menekankan demokrasi penuh di mana mereka berkonfrontasi dengan kelas dominan yang tidak fleksibel, sehingga mempunyai pilihan untuk melakukan aliansi dengan kelas pekerja. Namun, jika mulai merasakan adanya ancaman dari masyarakat di dalam sistem demokrasi mereka berbalik mendukung munculnya alternatif otoriterisme. Sampai saat ini dalam ranah demokrasi, kelas menengah masih menjadi kelas yang tidak mandiri. Tidak sedikit dari mereka muncul sebagai kelompok yang menikmati fasilitas yang dibagikan pemerintah dan menyebabkan mereka loyal. Idealnya, kelompok kelas menengah murni adalah mereka yang memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, yang memperjuangkan tegaknya demokrasi, yang berani menyampaikan pendapat, memiliki bargaining position terhadap pemerintah, dan yang independen. Arus demokrasi yang kian besar kini berkembang karena upaya sekolompok kecil elite yang berusaha mempertahankan status quo. Karena itu, kerap terjadi pernyataan yang mengandung upaya demokrasi yang terencana. Tentunya hal ini harus diimbangi dengan “pusat-pusat kekuasaan” baru seperti kelompok diskusi dari cendekiawan seperti ICMI, PCPP,PSCMI. Mereka sebagai kelompok kelas menengah juga diharapkan bergerak untuk sebuah usaha etatisme atau politisasi satu arah, sehinga pada akhirnya lahir yang selama ini dicita-citakan: sebuah negara demokrasi. Itu pun jika benar agen utama yang mempromosikan demokrasi adalah kelas menengah. Kelas menengah jangan hanya menjadi kelompok yang reaksioner, ber-aliansi jika terjadi krisis saja setelah itu mereka kembali menjadi kelompok yang sangat konservatif. Kembali menjadi sekelompok orang yang akhirnya sibuk dengan urusan privat masing-masing, bahkan menjadi kelompok yang oportunis. Akan seperti apa nantinya? Ketika para teknokrat, misalnya, baik yang tua maupun yang muda, kembali pada fungsi lamanya sebaga juru bicara oligarki; para aktivis partai politik tetap menempatkan dirinya sebagai tukang penyedia basis massa; para jurnalis tak lagi kritis pada struktur yang menindas; aktivis LSM sibuk dengan masalah-masalah teknis-programatik dari struktur yang ada; dan aktivis mahasiswa lebih banyak bergerak berdasarkan kebutuhan patron politik dan pengejaran nilai di kampus saja. Jika hal demikian terjadi, saya jamin dengan sendirinya kelas mengah akan mati peran. Kelas menengah akan menjadi kelompok yang mandul. Justru mereka akan beraliansi dengan kaum elite dan canggung untuk mengeluarkan pendapatnya. Kemandulan kelas menengah ini diperparah dengan langgengnya budaya patrimonial. Pejabat birokrasi tak ubahnya seperti patron; dan masyarakat adalah client. Hubungan keduanya tidak didasarkan pada rasionalitas birokrasi modern, tetapi lebih pada kedekatan hubungan personal dengan pejabat yang bersangkutan. Karena itu, eksistensi kelas menengah tidak semata-mata ditentukan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh budaya politik yang melingkupinya. (*) *) Dosen ilmu politik Universitas Muhammadiyah Cirebon Menulis esai dan puisi di halaman Rumah Kertas

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: