Air Doa Gus Atho’

Air Doa Gus Atho’

Oleh: Roni Tabroni  KARTO dan Udin sudah kepalang yakin, hanya dengan meminum air yang telah didoakan Gus Atho’, putri sulung Pak Lurah akan segera mendapat jodoh. Marlena namanya. Wajahnya cukup muda untuk perempuan yang sudah hampir berkepala tiga. Tidak tampak sedikit pun kerutan di pinggiran matanya yang bening. Dia tertua dari empat bersaudara anak Pak Lurah. Adik-adiknya semua sudah berumah-tangga. Yang bungsu bahkan menikah ketika usianya baru lima belas tahun. “Alasan Marlena belum mendapat jodoh ya karena dia terlalu mementingkan pendidikannya, dan tidak mau minum air doa Gus Atho’,” Karto membuka obrolan di warung Mbok Simah sore itu. Marlena memang sudah menjadi bahan pergunjingan kami beberapa bulan ini. Kecantikan dan kesendiriannya terlalu sedap untuk kami acuhkan. “Aku setuju To, coba pikir, dengan pendidikannya yang sudah sarjana, mana ada lelaki desa yang berani melamarnya,” timpal Udin. “Lulusan luar negeri lagi,” tambah Karto. “Tapi Minggu kemarin Haji Baidhowi melamar Marlena,” sanggahku. “Memang, tapi langsung ditolak kan!” balas Udin cepat. “Gimana gak ditolak, masak Marlena mau dijadikan istri muda,” cetus Karto cepat. “Coba Marlena mau minum air doa Gus Atho’, pasti langsung datang jodohnya,” celetuk Udin. “Marlena gak akan mau,” jawabku lirih. Malam mengganti sore yang sekarat. Dan rembulan menampakkan kemilau cahayanya yang jatuh berloncatan di wajah jamaah zikir akbar Gus Atho’. Malam ini memang malam Jumat. Dan malam Jumat adalah jadwal zikir akbar itu akan menggema di desa kami. Aku lihat sekilas bayangan Pak Lurah dalam kumpulan jamaah. Tanpa Marlena tentunya. “Kalau niatnya untuk mendapat air doa itu, Marlena gak akan pernah ikut,” kata Pak Lurah menirukan perkataan Marlena. “Tuh kan, sudah aku bilang sampai kiamat pun Marlena gak akan mau minum air doa itu,” kata Udin padaku. “Padahal kan aku sudah membuktikan, air doa Gus Atho’ itu memang mujarab,” timpal Karto. “Dia gak mau karena katanya sih itu internasional,” tambah Udin penuh semangat. “Bukan internasional Din, tapi irasional, tidak masuk akal,” kataku. Sebenarnya Gus Atho’ tidak pernah menyuruh kami untuk membawa air untuk didoakan dalam bentuk apapun. Sampai suatu hari Karto membawa air dalam botol dan meminta Gus Atho’ mendoakan untuk kesembuhan ayahnya yang lumpuh sejak tiga tahun yang lalu. Ajaibnya, setelah meminum air doa itu kelumpuhan ayah Karto seperti menguap entah ke mana. Kemujaraban air doa itu pun menyebar cepat di desa kami dan desa-desa tetangga layaknya virus mematikan. Sekarang di setiap zikir selalu saja ada yang membawa air. Bahkan malam ini hampir semua jamaah membawa air, dengan kemasan dan macam-macam keinginan yang beraneka macam yang ada di pikiran mereka. Setelah meminta ayahnya sembuh, Karto membawa 2 botol besar air, katanya untuk kelancaran rezekinya. Udin pun tidak mau kalah, dia membawa 7 botol air besar. “Itung-itung buat persediaan satu minggu, siapa tahu dalam seminggu ini aku terserang penyakit,” katanya dengan senyum mengembang di bibirnya. Aku hanya membawa 1 botol kecil. Dan kulihat Pak Lurah membawa dua botol besar. “Pasti salah satunya untuk Marlena,” pikirku. “Percuma Gus, tadi pagi Marlena tetap tidak mau meminumnya. Sudah hampir empat kali saya ikut zikir dan membawa pulang air doa, Marlena selalu saja menghindar dan memilih memasak sendiri atau membeli air mineral untuk minumnya,” cerita Pak Lurah ketika bertemu kami di balai desa siang keesokan harinya. “Coba Bapak diam-diam mencampurnya di minuman Marlena,” usul Karto. “Atau tetesin aja ketika Marlena tidur,” Udin tidak mau ketinggalan memberi usul. Pak Lurah hanya diam mendengar usul kami. Dengan wajah yang menampakkan keputusasaan, beliau pun pergi. Sore datang melahap siang yang berkeringat, dan semburat jingga memenuhi cakrawala desa kami. “Saat yang mengasyikkan untuk duduk di beranda, menikmati kopi dan pisang goreng,” pikirku. Semilir udara sore dalam balutan wangi kopi dan hangatnya pisang goreng langsung memenuhi rongga hidungku. Belum sempat kopi aku teguk, aku lihat dalam kejauhan bersama temaram senja Marlena datang dengan tergesa. Aku lihat Marlena sangat cantik sore itu. Siluet sore benar-benar menjadi latar yang tepat untuk sosoknya yang indah. Rambutnya yang tergerai berpadu serasi dengan blus putih dan jins hitam ketat. Begitu harmonis di tubuhnya yang semampai. Tumben dia datang ke rumahku, pasti masalah air doa, gelagatku dalam hati. “Gus, ada waktu ndak,” tanya Marlena setibanya di beranda rumah. Aku lihat sekeliling, memastikan Karto dan Udin tidak melihat kejadian ini. Apa jadinya kalau mereka tahu Marlena datang ke tempatku seorang diri. “Mari masuk Len, kita bicara di dalam saja.” Magrib menjelang ketika Marlena menasihatiku dengan sangat keras untuk tidak lagi memengaruhi ayahnya mengikuti zikir Gus Atho’ dan membawa pulang air doa. “Inilah yang membuat umat Islam tidak maju-maju, apapun dikeramatkan sehingga kita malas berusaha,” katanya menahan emosi. “Seharusnya bagi seorang sarjana muslim sepertimu, kehati-hatian harus jadi pondasi dalam beragama. Air doa itu sangat dekat dengan syirik,” tambahnya ketus. Belum sempat aku menangkis kata-katanya, terlontar sebuah kalimat tegas dan terasa getir bagiku dari bibirnya yang merah.  “Oya Gus, bulan depan aku menikah!” Marlena menutup pidatonya dan aku lihat wajah kesalnya menghilang di ujung gang diiringi suara merdu azan dari musala desa kami. Teman masa kecilku itu memang sudah berubah. Marlena yang dulu sopan dengan kerudung yang selalu menghiasi kepalanya kini menjadi orang lain. Kepergiannya ke luar negeri untuk meneruskan pendidikannya ternyata telah mengubah pribadinya. Dulu jangankan memperdebatkan adanya air doa, mempertanyakan alasan dia berkerudung aja mulutnya akan terkunci rapat. “Beragama itu memakai ini,” ucapnya sambil tangannya diletakkan di dada. “jangan memakai ini,” lanjutnya sambil jari tangannya menunjuk ke kepalanya. Maka, ketika mengetahui dia pulang dari luar negeri tak berkerudung, aku cukup kaget. Walaupun dia masih cukup sopan dalam berbusana, tapi sekarang dia akan selalu mendebat apa-apa yang menurutnya tidak masuk akal. Bahkan, sebelum dia menolak mentah-mentah kemujaraban air do’a Gus Atho’, dia sudah menentang keras kebiasaan kami yang seringkali merayakan suksesnya panen dengan perayaan nasi kuning. “Gak ada gunanya seperti itu, mubazir, lebih baik simpan uangnya untuk membeli benih padi,” ujarnya ketus waktu itu. Berita pernikahan Marlena meledak dan menggegerkan semua warga desa. Tak terkecuali Karto dan Udin. “Kok bisa ya, tanpa minum air doa Gus Atho’ dia bisa menikah,” gugat Karto mengawali pagi kami di warung Mbok Simah. “improsible,” timpal Udin. Mbok Simah yang sedang menuang kopi langsung tersenyum dan berkata lirih, “Kalian itu masih aja ngomongin Marlena, gak bosen apa?” “Ah Mbok tuh, kayak gak pernah muda aja,” balas Karto dan Udin hampir bersamaan. “Udahlah, gak usah ngomongin dia lagi, la wong dia juga bulan depan menikah, dan tanpa minum air doa,” kataku tidak bersemangat. Tepat seminggu sebelum pernikahan Marlena, zikir Gus Atho’ menggema di desa kami. Saya kembali melihat bayangan Pak Lurah di antara jamaah dan yang membikin saya sangat terkejut adalah kehadiran Marlena bersamanya. Kesedihan terlihat jelas di wajahnya malam itu. Belum sempat saya mencari jawaban atas rasa penasaranku, Karto berbisik berisik di telingaku, “Dua hari yang lalu, calonnya membatalkan pernikahannya Gus.” “Tanpa alasan,” timpal Udin keras. Aku tersentak saat itu. “Kalian dapat berita dari siapa?” tanyaku. “Mbok Simah,” jawab Karto dan Udin berbarengan. Sepanjang zikir berlangsung, entah kenapa, mataku sangat awas mengawasi Marlena. Kulihat dia selalu tertunduk, muram dan sedih. Sebotol air ukuran sedang tepat di depannya. Kesedihannya membangkitkan simpatiku, entah bacaan apa yang keluar dari mulut Gus Atho’ yang pasti telingaku tidak mendengarnya. Hanya jerit tangis kesedihan Marlena yang nyaring terdengar di hatiku. Di akhir zikir aku putuskan, di setiap zikir yang akan aku ikuti, air doaku akan aku berikan pada Marlena dengan doa yang aku khususkan untuk kemudahan jodoh Marlena. “Sudah satu bulan yang lalu Marlena ikut zikir, tapi sampai sekarang dia belum menemukan jodohnya,” ucap Udin datar ketika datang ke rumahku. “Apa air doanya sudah gak mujarab ya Gus,” lanjutnya cepat. “Tidak mungkin, pasti ada sebab lain,” jawabku singkat. “Atau jangan-jangan Tuhan marah karena dulu Marlena tidak mempercayai air doa ini,” Udin kembali menduga-duga. Kali ini aku hanya diam. Tidak ada tempat buat pikiranku untuk menimpali perkataan Udin karena sekarang hatiku sudah penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Marlena. “Bagaimana kalau nanti sore kita ke rumahnya Gus Atho’, Din?” usulku cepat. “Buat apa Gus?” tanya Udin penasaran. “Ya, minta doa,” jawabku cepat. “Doa untuk apa Gus, kan tiap minggu kita ketemu,” balas Udin. “Biasanya kalau langsung ke rumahnya, dikasih doa dan wirid tambahan Din,” kataku enteng. “Ndak, ah. Aku ndak ikut. Lagian kamu mau minta doa khusus apa,” tanya Udin penasaran. Aku hanya diam. Di ujung langkahnya keluar dari rumahku, aku lihat raut penasaran menggantung hebat di mukanya. Rumah Gus Atho’ sangat jauh dari desa kami. Setelah hampir 2 jam perjalanan naik motor, barulah saya sampai. Anehnya tak terasa sedikit pun rasa lelah datang menghampiri. Keinginan untuk membantu Marlena benar-benar telah membunuh saraf letihku. Cukup mudah menemukan rumah Gus Atho’, karena orang pertama yang saya temui tepat setelah saya di kota tempat rumah Gus Atho’ berada tahu betul rumah beliau. Suatu kebetulan yang aneh. Ada begitu banyak tamu ketika saya sampai di rumah Gus Atho’. Dari ibu-ibu, bapak-bapak, muda, tua, lajang, sampai datang dengan keluarga besar juga ada. Semua tumplek blek menunggu antrian. “Kayak antri sembako aja,” pikirku. Setelah hampir menunggu satu jam, sampailah giliranku. Walaupun awalnya Gus Atho’ cukup kaget mendengar keinginanku, tapi kemudian beliau dengan sangat murah hati memberikan doa dan wirid-wirid untuk mewujudkan permintaanku itu, tapi dengan syarat adanya niat beribadah. Kegembiraan seakan meletup hebat ketika saya pulang dari rumah Gus Atho’. Permintaanku akan segera terkabul. Permintaan yang membikin Udin penasaran begitu hebat. Permintaan yang memberikan dorongan kuat padaku untuk selalu ikut zikir dan pergi ke rumah Gus Atho’. Permintaan yang bisa menyelesaikan permasalahan Pak Lurah. Sebuah permintaan sederhana untuk menjadikan Marlena sebagai jodohku. (*)   *Cerpenis tinggal di Sumedang  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: