Cacat Ku Derita Ibu…
Oleh: Ade Fitriyani MALING..maling..teriakan seorang warga meneriaki ku karena tertangkap basah sedang mencuri sebuah tabung gas milik salah seorang tetanggaku. Teriakan tersebut disambut dengan teriakan warga lainnya. Mendengar teriakan mereka, aku semakin cepat berlari walaupun sulit untuk berlari cepat karena keadaan kaki ku yang tak sempurna. Kaki kanan ku lebih pendek dari kaki kiri ku sejak dilahirkan. Tapi aku tetap berusaha sekuat tenaga untuk melarikan diri dari kejaran warga. Mereka mengejarku layaknya seorang fans mengejar artis idolanya. Sesungguhnya aku tak pernah menginginkan profesi sebagai seorang maling. Tapi, keadaan memaksaku berbuat seperti ini. Untunglah kali ini aku bisa menyelamatkan diri dari kejaran dan amukan warga yang merasa kesal dengan kelakuanku. Tapi selamat dari kejaran warga tak membuatku senang. Selain itu, aku merasa khawatir mereka mengamuk di rumahku dan menjadikan keluarga ku sebagai pelampiasan emosi mereka. Sekarang aku pun bersembunyi di salah satu rumah teman seprofesiku sebagai maling. Temannku bernama Garong. Dan aku sendiri bernama Jarot. Terkadang terbesit keinginanku untuk bertobat dan berhenti dari pekerjaan tidak halal seperti mencuri. Tapi, lagi-lagi kesempatan untuk mencuri selalu datang padaku, padahal niat aku untuk berhenti mencuri sudah mulai tertanam di dalam hatiku. Mungkin benar yang diucapkan Bang Napi dalam sebuah acara berita di salah satu stasiun TV swasta bahwa “Kejahatan terjadi bukan karena ada niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan” itulah slogan bang Napi yang selalu turut andil ketika aku melakukan kejahatan. Secepat kilat, hari berlalu sangat cepat. Sudah beberapa hari aku bersembunyi di rumah Garong, yang letaknya cukup jauh dari perkampungan ku. Dan kebetulan rumah Garong lah, satu-satunya tempat yang sering aku jadikan persembunyian. Setelah keadaan di luar tampak aman, aku memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyian ku karena simpanan uangku untuk makan juga sudah habis. Aku harus segera mencari uang untuk mengganjal perutku yang terus saja memberontak untuk diisi ulang dengan sesuap nasi. Saat malam adalah waktu yang tepat untuk beroperasi menjarah barang-barang yang memiliki daya jual. Aku bersiap mengenakan baju hitam dan celana panjang, serta sebuah kedok berbahan kain seperti topi kupluk yang biasa dipakai seorang maling. Pakaian yang aku gunakan memang tak sekeren pakaian para koruptor ketika mencuri uang rakyat. Mereka selalu menggunakan kemeja dan jas merk terkenal dilengkapi dasi, menambah kewibaan mereka. Padahal profesi mereka sama dengan ku yaitu seorang “Maling” uang rakyat. Mungkin dosa mereka lebih banyak dari ku karena tindakan pencurian yang mereka lakukan merugikan jutaan rakyat Indonesia. Sedangkan aku yang dirugikan hanyalah seorang pemilik barang yang aku rampok. Akhirnya, tibalah aku di sebuah rumah berpagar hitam. Halamannya cukup besar, namun kondisi rumahnya terlihat sederhana. Aku tak pernah mengincar rumah-rumah mewah untuk menjadi target perampokanku, karena pemilik rumah-rumah mewah belum tentu harta mereka berasal dari jalan yang halal, apalagi rumah para pejabat-pejabat tinggi yang sangat rentan dengan tindakan korupsi. Aku tak ingin ikut andil dalam menanggung dosa mereka yang telah memakan uang rakyat. Tapi aku sadar betul uang yang aku dapatkan dari mencuri juga merupakan uang haram. Tapi, keadaan yang memaksaku melakukan hal ini. Setidaknya itulah alasan yang selalu diutarakan seorang pencuri seperti aku. Aku pun mulai mencongkel pintu rumah tersebut. Pintu rumah itu berhasil aku bobol dengan mudah dan aku mulai menyelinap masuk ke dalam rumah itu. Setiap sudut ruangan, aku perhatikan baik-baik dan aku pun menemukan sebuah laptop dan HP pemilik rumah yang tergeletak di meja sebuah ruang keluarga, dan aku langsung mengambilnya. “Plak..sepertinya terdengar sebuah bunyi sakelar lampu yang disusul dengan nyalanya lampu di ruangan aku berada. “Maling….” Seisi penghuni rumah lainnya ikut terbangun saat mendengar teriakan gadis remaja yang merupakan anak dari si pemilik rumah. Kali ini, aku benar-benar tertangkap basah oleh si pemilik rumah. Dan rupanya di luar rumah, ada dua orang petugas siskamling sedang berkeliling kampung. Mendengar keributan, mereka langsung mendobrak rumah yang sedang aku rampok. Akhirnya, kali ini aku tak bisa berkutik dan hanya bisa menyerah pada keadaan. Setelah itu, aku diseret ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatanku. Saat akan dibawa ke kantor polisi, kedok ku dibuka oleh pak polisi. Selanjutnya, kini statusku seorang narapidana. Ini bukanlah statusku yang pertama, karena ini adalah ketiga kalinya aku masuk penjara. Esok harinya, ibuku datang ke kantor polisi untuk mengeluarkan aku dari penjara yang menjeratku. Ini adalah sekian kalinya orang tuaku menebus kebebasanku dari jerat penjara. “Anakku, ayo kita pulang,” ajak ibuku. “Kenapa ibu selalu membebaskan aku dari penjara? Kenapa bapak selama ini tidak pernah peduli kepadaku karena aku hanya seorang anak cacat yang hidupnya selalu menyusahkan kalian, bahkan menurut kalian aku adalah anak pembawa sial?” jelasku pada ibu dengan linangan air mata. “Tolong nak jangan berbicara seperti itu pada ibu. Sungguh ibu sangat menyayangimu, sekalipun kamu dilahirkan dalam keadaan cacat. Kamu tetap anakku yang selalu ibu sayang.” “Sudahlah aku ini cuma seorang anak yang tak ada gunanya. Aku takkan bisa memberikan apa-apa buat ibu. Biarkan aku di sini, aku lebih baik tinggal di penjara karena setidaknya polisi lebih peduli untuk mengurusiku, walaupun hanya sekadar memberikan perhatiannya dengan memberikan makanan untukku. Sedangkan keluargaku sendiri tak pernah memperdulikanku.” tukas ku kepada ibu. “Kamu anak yang berharga buat ibu, ibu tak pernah sekalipun mengharapkan apa-apa darimu.” Aku pun memalingkan badan dari ibu. Beberapa menit berlalu, datang sosok wanita muda. Dia adalah adikku. Adikku pun mencoba mengajak ibuku pulang. Namun, ibu tak menghiraukannya. Beliau tidak akan pulang sebelum aku ikut dengannya. Adikku mulai merasa kesal, dan dia meluapkan kekesalannya kepadaku. Dia mengungkapkan kata-kata yang sungguh meluluhkan hatiku dan membuatku sadar bahwa ibu benar-benar menyayangiku. Ternyata setiap kali aku mencuri, ibu selalu menggantikan barang yang aku curi kepada pemilik rumah yang barangnya aku curi. Selain itu, setiap kali aku dipenjara, ibuku selalu memohon kepada pak polisi untuk membebaskanku dengan memberikan uang jaminan kepada pak polisi, dan memberikan uang ganti rugi kepada korbannya agar diselesaikan secara kekeluargaan. Bahkan, beliau menjadikan dirinya sebagai jaminan kalau anaknya tidak akan melakukan tindakan pencurian lagi. Melihat sikap ibuku seperti itu, bapakku pun merasa kesal dan menceraikan ibu karena tak tahan mempunyai anak seperti aku. Mendengar hal itu, seketika pecah air mataku. Aku pun langsung memeluk tubuh ibuku dan aku berjanji dalam hati untuk bertobat dan berjanji tak akan lagi menyusahkan dan memalukan ibuku. Sekarang aku sadar bahwa kasih sayang ibu sepanjang masa, sedangkan kasih sayang anak sepanjang galah. Dan seorang ibu rela memberikan segalanya untuk anaknya, tapi tak pernah mengharapkan balasan apapun untuk semua yang dia berikan. (*) *Cerpenis adalah pegiat PENA STAI Bunga Bangsa Cirebon
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: